Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gaung Pembebasan Palestina dan Orang yang Buang Sampah Sembarangan

21 Mei 2021   15:12 Diperbarui: 21 Mei 2021   16:52 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Palestina dan Indonesia. Sumber Foto: ASPAC (Asia Pacific For Palestine)

Semangat anti penjajahan dan penindasan manusia atas manusia ataupun bangsa atas bangsa telah menjadi suatu semangat bangsa Indonesia untuk tidak hanya memerdekakan dirinya sendiri atas penjajahan dan penindasan secara fisik tetapi juga hal tersebut menjadi sebuah pengalaman yang membentuk bangsa dan negara Indonesia menjadi memiliki cita-cita meniadakan penjajahan di atas dunia.

Gaung memerdekakan bangsa Palestina telah diteriakkan sejak era Presiden Sukarno. Sikap dan perkataan Soekarno beberapa kali menunjukkan keberpihakannnya kepada Palestina dan mengutuk kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh Israel. "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel", begitulah sedikit perkataan Soekarno terkait sikapnya yang menentang penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.

Sikap tersebut pun diejawantahkan pada hubungan atau pergaulan Internasional, seperti dalam dunia olahraga. Indonesia yang pada tahun 1962 menjadi tuan rumah Asian Games IV tidak memberikan visa kepada Israel dan juga Taiwan merupakan wujud dari sikap politik Soekarno ketika itu. Walaupun alasan resmi yang dikeluarkan oleh Indonesia adalah karena Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan dua negara tersebut. Namun secara politik hal tersebut dapat dilihat sebagai sikap konsisten Indonesia terkait anti-imperialisme.

Sikap anti-imperialisme tersebut yang kemudian terpelihara hingga kini. Namun mungkin karena dari era Sukarno hingga kini Indonesia telah melangsungkan berkali-kali pemilu, maka tak ayal sikap anti-imperialisme ini seringkali menjadi jargon pengeruk suara kelompok Islam yang merupakan kelompok mayoritas di Indonesia. Tentu saja hal tersebut mendatangkan sebuah konsekuensi, yaitu pendangkalan pemahaman bangsa Indonesia terkait isu konflik Israel-Palestina.

Kejadian unik pada beberapa hari lalu baru saja saya alami. Ketika rutinitas olahraga pagi sedang saya lakukan, tanpa sengaja pandangan saya mengarah pada seorang pemuda menggunakan pakaian berwarna hitam dan bertuliskan "Free Palestine" menghentikan motornya tepat di tepi sungai kecil, dalam hitungan detik pemuda tersebut membuang sampah berupa bungkusan plastik berwarna merah ke sungai yang berada di samping pemuda tersebut. Mungkin bagi beberapa orang yang membaca tulisan ini akan bertanya-tanya, lalu apa hubungannya dan apa masalahnya gaung free Palestine yang oleh pemuda tersebut tunjukkan dengan pakaiannya, dengan tindakan pemuda tersebut membuang sampah ke aliran sungai ? 

Bagi saya, kejadian unik yang saya lihat tersebut adalah simbol alam pikir yang hampir umum dari masyarakat Indonesia dalam menyikapi eskalasi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.

Bagi saya terdapat ketidakkonsistenan yang ditunjukkan dalam peristiwa yang saya lihat tersebut. Kita berteriak "merdekakan Palestina !" tetapi abai pada sekeliling kita. Tulisan ini bukan untuk memprioritaskan isu tertentu dan menutup mata pada isu lainnya. Bagi saya, tindakan solidaritas anti-imperialisme penting untuk dilakukan. Tetapi dalam diri pemuda tersebut terdapat sebuah kontradiksi bahwa meneriakkan anti-imperialisme tetapi tidak sadar bahwa ikut menghancurkan kehidupan dan tidak bersolidaritas untuk menciptakan sebuah kehidupan bersama yang nyaman bagi semua dengan tidak membuang sampah pada tempatnya.

Banyak orang yang membela Palestina karena sebuah solidaritas keagamaan (bukan solidaritas kemanusiaan untuk menciptakan tempat hidup bersama yang damai). Mungkin sebagian dari kalian yang membaca tulisan ini beralasan hanya karena Palestina mayoritas Muslim dan penindasan dilakukan oleh negara dengan mayoritas penganut Yahudi, maka semangat keagamaan lebih dikedepankan. Sikap yang dilandasi oleh sebuah pikiran yang demikian akan sangat beresiko menimbulkan penindasan baru. Di sisi lain pengkategorian tersebut (Palestina vs Israel = Islam vs Yahudi) akan cendurung menciptakan manusia yang serba kaget dan mudah bingung, dampaknya akan membuat permasalahan lain muncul di kemudian hari yang sebenarnya sudah dapat diterka sebelum peristiwa tersebut muncul.

Nasim Nicholas Taleb dalam bukunya yang berjudul The Black Swan telah memperingatkan bahwa sebenarnya banyak tragedi yang terjadi sebagai sebuah akibat dari kegagalan manusia memahami gejala yang terjadi dan pengkategorisasian atau pengotakan yang dilakukan sehingga seringkali kita gagal memahami hal-ihwal yang membentuk dunia (Nasim Nicholas Taleb, 2009:22). Nasim Nicholas Taleb mencontohkan salah satunya dalam bukunya tersebut adalah bagaimana orang Amerika terkaget-kaget terkait tragadi 9/11, karena sudah sejak lama sebelumnya Amerika menggandeng kelompok Islam Radikal untuk berkoalisi (tidak secara terbuka) untuk membumi hanguskan kekuatan Komunisme di dunia.

Bukan tidak mungkin orang yang membaca konflik Palestina dengan Israel sebagai konflik antara Yahudi dengan Islam akan terkaget-kaget dengan misalnya di kemudian hari ketika kondisi Palestina dan Israel sudah dalam kondisi damai, Palestina menjadi negara penganut prinsip Komunisme. Mungkin kalian yang membaca tulisan ini akan mengira hal tersebut sama sekali tidak mungkin. Namun bagi saya, kemungkinan Palestina nantinya menjadi negara yang memegang prinsip Komunisme adalah ada. Hal ini dikarenakan terdapat 2 dua kondisi yang menurut saya telah ada sejak saat ini, yaitu kondisi dalam negeri dan luar negeri Palestina.

Kondisi dalam negeri sendiri menunjukan begitu majemuknya pandangan politik masyarakat dari negara dengan mayoritas Islam tersebut. Pandangan politik yang majemuk tersebut terlihat dari begitu majemuknya partai politik dan asas yang dianutnya. Tidak hanya Hammas dengan asas Islamnya, tetapi juga terdapat Fatah/ Harakat at-Tahrir al-Wathani al-Filasthini dengan Yaser Arafat sebagai tokoh pendiri, partai ini memegang asas Nasionalis-Kiri. 

Selain itu, bahkan terdapat PFLP/Popular Front for the Liberation of Palestine/Al-Jabhah al-Sha'biyyah li-Tahrir Filasthin dengan George Habash sebagai tokoh pendiri, partai ini berasaskan Komunisme, yang mana sebagaimana Hammas, PFLP pun memiliki sayap paramiliter yang bernama Brigade Abu Ali Mustapha. Sedangkan kondisi luar negeri atau hubungan luar negeri Palestina menunjukkan bahwa Palestina mendapatkan banyak dukungan yang tidak hanya datang dari negara Islam tetapi juga datang dari negara yang banyak disebut oleh kalangan Islam sebagai negara Atheis, yaitu Negara Republik Kuba dan Korea Utara. 

Bahkan mendiang Fidel Castro sebagai seorang Komunis dan mantan Presiden Republik Kuba, semasa hidupnya secara tegas pernah menyatakan dukungan terhadap Palestina dengan menandatangani manifesto internasional yang menuntut Israel untuk menghormati resolusi PBB yang telah disepakati tahun 1967. Dengan 2 dasar tersebut masyarakat Palestina tidak alergi dengan para komunis yang ikut berjuang. Namun pengakategorisasian yang dibuat oleh mayoritas kelompok Islam di Indonesia menutup mata fakta kedekatan Komunisme dengan perjuangan rakyat Palestina. Pengkategorisasian ini yang oleh Nassim Nicholas Taleb akan membuat orang dikagetkan dengan kejadian yang nantinya terjadi. Di sisi lain fakta-fakta tersebut menyatakan bahwa monopoli isu agama dalam isu kemanusiaan Palestina hanya akan menyesatkan ke depannya.

 Di sisi lain bukan tidak mungkin akan mengakibatkan munculnya tragedi kemanusiaan yang baru dengan monopoli isu agama dalam isu kemanusiaan Palestina, sebagaimana tragedi kemanusiaan yang bersifat rasial seperti pada Perang Dunia Kedua terhadap etnis Yahudi. Hal tersebut dapat terjadi karena pengkategorisasian isu Palestina sebagai isu agama.

Semangat keagamaan (tentu bukan dalam arti positif) yang menyempitkan isu kemanusiaan Palestina sebagai isu Islam vs Yahudi merupakan wujud dari keberagamaan di Indonesia yang menglorifikasikan simbol agama tetapi malah memisahkan dan membuat semakin jauh dari realitas sosial. Hal ini sebenarnya akibat gagalnya sebagian orang Islam di Indonesia, menurut saya, dalam memahami manusia sebagai mahluk sosio-historis, yaitu pembuat sejarah dan penggerak zaman.

Video yang sempat viral pada musim mudik tahun ini yang menunjukkan rombongan orang berjubah putih yang mengendarai mobil mini bus sedang dicegat oleh tim dari pos penyegatan mudik 2021. Alih-alih berkomunikasi dengan petugas untuk mencari jalan keluar atau mengetahui persyaratan untuk melintasi batas wilayah ketika musim mudik 2021, sekelompok orang tersebut malah berdoa dengan bersuara lantang, seperti menyuruh Tuhan untuk turun dan menyelesaikan masalah yang ia buat sendiri. Bagi saya itu merupakan penghinaan terhadap Tuhan, karena merendahkan Tuhan dengan menyuruhNya menyelesaikan masalah yang dibuat oleh mahluk ciptaanNya.

Eko P Darmawan dalam bukunya yang berjudul Agama Itu Bukan Candu,dengan didahului penjelasan gagasan dari Feuerbach seorang filsuf Jerman mengenai hakekat manusia, menjelaskan bahwa Akal Budi, Perasaan dan Kehendak sebagai daya atau kekuatan ilahiah yang berada pada masing-masing individu, dalam kehidupan dunia ini ditujukan untuk dikembangkan hingga menyatu dengan ketakterbatasan atau mensemesta (Eko P Darmawan, 2005:186). Artinya bahwa dalam kehidupan beragama (mengaktifkan daya ilahiah tersebut) harus dibenturkan dengan realitas kehidupan untuk menciptakan kondisi dunia yang nyaman dan damai agar dapat ditinggali oleh semua suku bangsa, oleh karena itu, Eko P Darmawan menyebutkan individu manusia menyatu dengan ketaktebatasan.   

Manusia yang mensemesta berarti telah beragama dengan sejatinya. Karena menciptakan dunia untuk bersama. Bukan untuk kelompoknya, sehingga menyikirkan yang lain, ataupun peduli dengan keberlangsungan kehidupan bersama dengan memperhatikan keberlangsungan Bumi. Karena menurut Ulil Abshar Abdalla sebagaimana mengutip dari gagasan Ibn 'Arabi menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat unsur ilahiah atau Nafkhah, tiupan Tuhan (Ulil Abshar Abdalla, 2020:57)

Pemuda yang mengenakan pakaian bertuliskan "Free Palestine" tetapi membuang sampah di aliran sungai merupakan wujud dari manusia yang menggaungkan Free Palestine tetapi mengakategorisasikan perjuangan Palestina sebagai wujud dari bagian perjuangan kelompoknya saja, agamanya (identitas) saja. 

Mengapa ? Karena kontradiksi dalam diri si Pemuda tersebut disebabkan oleh kehidupan keberagamaan yang menjauhkan diri dari realitas sosial sehingga unsur ilahiah dalam diri manusia (Akal Budi, Perasaan, dan Kehendak) tidak aktif yang tergambar dari bagaimana si pemuda tersebut dengan tanpa bersalah membuang sampah pada aliran sungai. 

Ketika unsur ilahiah tersebut tidak aktif maka keberagamaan yang tersisa hanya dogma, maka pembebasan Palestina diarahkan pada sebuah semangat dogma agama, mempersempit atau mengkategorisasikan konflik kemanusiaan Palestina sebagai konflik agama. Dampaknya akan sangat besar, dapat berupa bentuk penindasan yang baru. Agama sebagai Dogma tidak ubahnya membesarkan anak macan dalam keluarga domba ! Ketika anak macan belum tumbuh dewasa mungkin dia bukanlah ancaman, tetapi ketika tumbuh besar, maka dia adalah ancaman bagi lingkungan keluarga domba.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun