Mohon tunggu...
Salahuddin
Salahuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Perangkat Desa

Mahasiswa ITB AD Jakarta Jurusan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Waktu " Kisah Masa Lalu Yang Menginspirasi "

24 Desember 2024   18:05 Diperbarui: 24 Desember 2024   16:36 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Nenek (Bersumber : Dari Penulis Artikel ini)

Senja mulai merangkak di ujung cakrawala ketika aku menemukan sebuah kotak tua di loteng rumah nenek. Debu tebal yang menyelimuti permukaannya menjadi saksi bisu berapa lama kotak itu terdiam di sana. Dengan tangan gemetar, kubuka perlahan tutupnya yang sudah menguning dimakan usia. Aroma masa lalu seketika menyeruak, membawa serpihan memori yang telah lama terkubur.


Di dalamnya, tergeletak sebuah buku harian lusuh dengan sampul kulit berwarna cokelat tua. Halaman-halamannya yang menguning berisi tulisan tangan yang rapi, menceritakan kisah seorang gadis muda di tahun 1945. Dia adalah nenekku di masa mudanya, sosok yang selama ini kukenal sebagai perempuan tua yang lembut dan penuh kasih. Namun, dari catatan-catatan ini, aku menemukan sisi lain dari dirinya – seorang pejuang yang tak kenal lelah.


Setiap lembar yang kubaca membawaku pada perjalanan yang menakjubkan. Nenek ternyata adalah seorang guru di sebuah sekolah darurat di masa revolusi. Di tengah dentuman meriam dan kepulan asap perang, dia tetap teguh mengajar anak-anak dengan segala keterbatasan. Terkadang kelas harus diadakan di bawah pohon rindang, atau bahkan di dalam gua saat situasi memaksa mereka bersembunyi. Tekadnya untuk memberikan pendidikan tak pernah goyah meski bayangan maut selalu mengintai.


Yang paling mengharukan adalah kisah tentang bagaimana dia menggunakan kreativitasnya untuk membuat alat peraga dari apa pun yang tersedia. Daun-daun kering menjadi media belajar matematika, ranting pohon digunakan untuk menulis di tanah, dan nyanyian-nyanyian perjuangan dijadikan metode untuk mengajar bahasa. Semua ini dilakukannya dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah senjata terkuat untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik.


Seiring berjalannya waktu, perjuangannya mulai membuahkan hasil. Beberapa muridnya berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan menjadi tokoh-tokoh penting dalam pembangunan daerah. Ada yang menjadi dokter, insinyur, bahkan ada yang mengikuti jejaknya menjadi pendidik. Keberhasilan mereka adalah bukti nyata bahwa pengabdian tulus seorang guru bisa mengubah nasib banyak orang.


Di halaman terakhir buku hariannya, nenek menulis sebuah pesan yang sangat menyentuh: "Dalam hidup, kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita selalu bisa membangun masa depan yang lebih baik. Setiap tetes keringat dan air mata yang kita curahkan hari ini adalah investasi untuk generasi mendatang. Percayalah, tidak ada perjuangan yang sia-sia."
Membaca kisah nenek membuatku tersadar bahwa setiap orang memiliki cerita yang luar biasa untuk dibagikan. Jejak-jejak masa lalu yang tertinggal bukanlah sekadar kenangan, melainkan pembelajaran berharga yang bisa menginspirasi generasi sekarang untuk terus melangkah maju. Di balik setiap keriput dan uban yang menghiasi wajah para tetua, tersimpan kisah perjuangan yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya.


Kini, setiap kali aku memandang foto nenek yang terpajang di ruang tamu, ada perasaan bangga dan haru yang membuncah. Sosoknya yang sederhana menyimpan keberanian dan kebijaksanaan yang luar biasa. Kisahnya mengajarkanku bahwa kepahlawanan tidak selalu tentang pertempuran di medan perang, tapi juga tentang keteguhan hati untuk terus berbuat baik dan memberi manfaat bagi sesama, meski dalam situasi yang paling sulit sekalipun.

Setelah menutup buku harian itu, aku menemukan sebuah amplop usang yang terselip di antara halaman-halaman terakhir. Di dalamnya terdapat beberapa lembar foto hitam putih yang sudah menguning. Salah satunya memperlihatkan nenek bersama sekelompok anak-anak yang duduk melingkar di bawah pohon besar. Wajah-wajah polos mereka memancarkan semangat belajar yang menggetarkan, seolah melupakan situasi perang yang mengancam di sekitar mereka.


Ada juga foto yang menggambarkan nenek sedang mengajar di dalam sebuah gudang tua. Cahaya matahari yang menerobos celah-celah dinding kayu menciptakan bias cahaya yang dramatis, menerangi wajah-wajah penuh tekad para muridnya. Di sudut foto itu, tertulis tanggal dan catatan singkat: "Kelas darurat setelah sekolah kami dibom. Semangat anak-anak tidak pernah padam."
Semakin dalam aku menyelami kisah nenek, semakin banyak detail mengejutkan yang kutemukan. Ternyata, selain mengajar, dia juga aktif dalam gerakan bawah tanah yang membantu mendistribusikan obat-obatan dan makanan kepada para pejuang. Seringkali, dia menyembunyikan surat-surat rahasia di dalam buku-buku pelajaran, menggunakan perannya sebagai guru untuk mengelabui penjajah.


Yang lebih mengagumkan lagi, nenek ternyata juga mendirikan perpustakaan kecil dari buku-buku sumbangan yang dia kumpulkan dari berbagai sumber. Perpustakaan ini menjadi tempat berkumpul anak-anak untuk membaca dan bermimpi tentang Indonesia yang merdeka. Di malam hari, tempat yang sama berubah menjadi pos koordinasi para pejuang yang merencanakan strategi pertahanan wilayah.


Dalam salah satu catatannya, nenek menceritakan bagaimana dia hampir tertangkap tentara Belanda saat sedang mengajar. Berkat kecerdikannya dan bantuan penduduk setempat, dia berhasil menyelamatkan diri dan murid-muridnya dengan berpura-pura sedang mengadakan upacara pemakaman. Para murid yang ketakutan disembunyikan di dalam peti mati kosong, sementara nenek dan beberapa warga memimpin prosesi palsu tersebut hingga tentara Belanda pergi.


Kisah-kisah ini membuatku semakin memahami mengapa nenek selalu menekankan pentingnya pendidikan dan keberanian dalam hidup. Bahkan di usia senjanya, dia tidak pernah berhenti belajar dan mengajar. Rumahnya selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin menimba ilmu, dari anak-anak yang kesulitan mengerjakan PR hingga mahasiswa yang sedang meneliti sejarah kemerdekaan.


Warisan terbesar yang ditinggalkan nenek bukanlah harta benda, melainkan semangat juang dan cinta akan ilmu pengetahuan yang ditanamkannya kepada semua orang di sekitarnya. Melalui buku hariannya, aku belajar bahwa keberanian terbesar adalah tetap memilih untuk berbuat baik dan memberi manfaat, bahkan ketika dunia di sekitar kita dipenuhi kegelapan. Dan bahwa setiap orang, tidak peduli seberapa sederhana penampilannya, bisa menjadi cahaya yang menerangi jalan bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun