Sedari kemarin ada niatan untuk melenggang pagi-pagi menuju arena Car Free Day Jakarta, di seputaran Jalan Sudirman, Bundaran HI, dan sekitarnya. Niatan itu tidak terealisasi, sebagai gantinya, saya jalan-jalan menuju jalanan kata-kata padat makna, namun tak membuat tersendat, karena arus tatanan kalimat yang lancar.
Adalah buku "Saring Sebelum Sharing" karya Gus Nadirsyah Hosen menjadi sarapan pagi yang lezat. Sebagai cicipan awal, sebagaimana buku yang sudah-sudah. Saya selalu mengamati buku sebelum membacanya  secara keseluruhan.
Testimoni para tokoh, luar biasa atas buku ini. Kesan yagn menunjukkan buku ini kece dan penting untuk dibaca khalayak. Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan, tetapi padat makna dan referensi. Tak salah Jimly Assidiqie menyebut buku ini laksana buku teks, padat. Tetapi ringan seperti novel.
Sedikit saya mengintip ke dalam barisan-barisan tulisan dalam buku, menemukan ungkapan-ungkapan penulis terhadap Nabi Muhammad saw. Karena itu testimoni Husen Ja'far al- Hadar, kalau Gus Nadir menulis buku ini karena pengetahuan dan cintanya terhadap Nabi Muhammad Saw.
Di bagian belakang buku, pembaca sedikit diberikan gambaran akan isi pokok buku, mengenai pentingnya memahami teks melibatkan konteks. Mempelajari sesuatu tidak secara instan. Kemudian, tidak mudah menjustifikasi, hanya karena satu penggalan ayat dan hadits.Â
Jika dipahami lebih jauh, kehadiran buku ini, bisa jadi akibat fenomena atau realitas sekarang, dimana banyak orang yang memahami teks tidak melibatkan konteks, tekstual, elektik, dan harfiah. Belajar dalam waktu singkat, instan, tidak berproses lama, dan mudah menjustifikasi hanya karena bertumpu pada satu, dua penggalan ayat atau hadits.
Sementara, pada cover buku ini, tertuliskan beberapa kalimat "pilihlah hadis shahih, teladani kisah Nabi Muhammad Saw, dan lawan berita hoax" ajakan-ajakan agar tidak terjebak pada fenomena-fenomena kebodohan dan kecerobohan abad ini, menyerap pengetahun sedikit, dari sumber yang tak jelas, tapi kemudian bertingkah melewati batas serapan pengetahuannya, ujung-ujungnya hanya mengabarkan kebohongan yang memantik perselisihan. Demikian, sumber yang shahih, keteladanan nabi, perlu untuk menangkal berbagai hoax yang muncul.
Aku lalu membuka sembarangan judul-judul bahasan. Kemudian, aku sampai pada judul "Mihrab Nabi Sejarah dan Isu Bid'ah". Hal pokok yang aku dapatkan di sini, bahwa problem saat ini ada pada saling salah-menyalahkan.Â
Dipandang dari contoh mihrab, mihrab dimaknai dua: ada yang berbentuk bilik, ruangan yang ada di dalam masjid, ada sejak sebelum Islam datang. Kemudian, ceruk kecil untuk tempat Imam dalam masjid, ada atau muncul pada peradaban Islam. Faktanya, makna kedua, di zaman nabi pun tidak ada. Karena ia ada sejak zaman khalifah muawiyah, menurut satu pendapat.
Para ulama satu golongan tertentu berbeda pendapat terkait hal ini. ada yang bilang mihrab bid'ah, dan ada yang bilang tidak bid'ah selama tidak menggunakan mihrab dalam pengertian yang pertama.
Para ulama satu golongan yang lain pun, yang kebanyakan menyatakan mihrab itu tidak bid'ah, pun ada ulamanya yang membid'ahkan. Jadi, kembali kepada poin penting yang saya sebutkan di atas. Pesan pokoknya jangan saling salah menyalahkan, karena perbedaan pendapat adalah hal yang wajar.
Saya mendapat terangan, bahwa bidh`ah itu kaitannya dengan Ibadah Mahdah, bukan ghairu mahdah. Relasinya dengan mihrab, mihrab itu mengenai teknis beribadah, bukan bagian dari ibadah ritualnya.
Alla kulli hal....Saring Sebelum Sharing, sebuah buku yang mengajak untuk melakukan filterisasi atas berbagai hal yang kita dapatkan, sebelum kita membaginya kepada yang lain. filterisasi dilakukan dengan cara, pemahaman mendalam teks dengan mengakomodir konteks, pembelajaran yang tak instan.
#mengikatmakna #saringsebelumsharing #literasi #bookworm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H