[caption caption="Para pembicara "Nangkring: Indonesia Juara Film" tengah ditanyai moderator seputar keberhasilan mereka"][/caption]kompasianival 2015 “Indonesia Juara” telah usai. Sederet acara dan beragam tantangan seru, games, doorprize dari berbagai stand yang meramaikan acara tersebut menjadikan kompasianival 2015 berbeda dan menarik. Tidak hanya itu, ada sekitar 100 kompasianer diundang makan bareng bersama Presiden RI, Joko Widodo, di Istana, tepat di hari pertama Kompasianival 2015. Tidak tanggung-tanggung, bapak Presiden sampai berkicau di Twitter, ada banyak hal baru yang didapatkan ketika berdiskusi dengan para netizen. Lalu, kabarnya bapak presiden, akan selalu membawa beberapa netizen untuk melawat ke daerah-daerah. Wah, luar biasa guys!!!
Terlepas dari itu, bagiku yang hanya diam di tempat acara utama Kompasianival 2015, aku juga mendapat berbagai hal yang menyadarkan, memahamkan, dan menstimulasi untuk melakukan perubahan umat menuju mental kuat sekuat mental juara. Bahkan, seandainya ada mental di atas mental juara, hal tersebut mesti dilakukan untuk mengubah bangsa menuju kemajuan pemikiran dan mental.
Dari beragam pembicara yang hadir dan mengisi acara, ada satu hal yang menurutku sama, hal ini dipaparkan oleh kebanyakan pembicara; yaitu kaitannya dengan permasalahan bangsa Indonesia; permasalahannya adalah memang sesuai dengan apa yang menjadi keinginan Presiden Republik Indonesia “Revolusi Mental”.
Indonesia tidak memiliki masalah dengan sumber daya alam, wilayah yang terbentang dari sabang sampai merauke adalah tambang-tambang ekonomi yang bisa mendatangkan kemakmuran. Pun begitu dengan sumber daya manusianya, sekalipun banyak yang masih rendah, tapi itu bisa tertutupi dengan para tokoh, anak muda, dan warga lainnya yang memiliki intelektualitas tinggi.
Namun, pertanyaannya? Kenapa dengan SDA yang begitu banyak, dan dengan manusia yang memiliki kualitas kecerdasan yang baik, toh tidak mampu menjadikan Indonesia sejahtera? Semua itu tidak lain karena permasalahan mental bangsa. Banyak dari kita cenderung untuk menunjukkan mental rendah apresiasi, mental pencela, mental korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Karena itu tidak salah dengan apa yang disampaikan Anies Baswedan, bahwa orientasi kompetisi perlu diubah, dari orientasi klasemen (mencari juara) menjadi orientasi semangat untuk terus memperbaiki bangsa. Cara paling mudah disarankan pak Anies, bahwa apa salahnya memberikan juara kepada seluruh peserta, karena hal itu dapat memberikan pengaruh kepada mental peserta untuk terus percaya diri, sehingga mental-mental juara menjadi milik negeri ini. Nah, dari apa yang disampaikan pak Anies, kita tahu betapa besarnya pengaruh apresiasi, sayangnya, kita rendah dalam mengapresiasi.
Apa yang dialami Yayan Ruhiyan aktor Indonesia yang sekarang berakting di dunia Hollywood menjadi bukti begitu rendahnya mental apresiasi dari bangsa kita. Kalau kita telusuri, bagaimana Yayan Ruhiyan sukses saat ini, ada banyak ironi. Yayan Ruhiyan dan Iko Uwais yang bermain dalam film “Merantau” harus mendapatkan remehan, bahkan direndahkan, bahwa film merantau bisa dibilang tidak bermutu, judul film Merantau, tapi isinya silat. (ini sebelum terkenal di luar negeri). Sama hal juga dengan film The Raid yang adegan silatnya dikatakan oleh orang sama saja dengan boxer. Sungguh film-film mereka sebelum dikenal di luar negeri mendapat opini rendahan dari bangsa sendiri, bukannya memberikan dukungan untuk memperbaiki kalau memang tidak berkualitas, malah merendahkan.
Lalu, sangat berbeda ketika film-film itu malah tenar di luar negeri dan mendapat apresiasi dari bangsa lain. Waoooow, barulah kemudian berbondong-bondong penduduk negeri memuji film yang telah direndahkan sendiri. Satu hal lagi kita dapatkan, bahwa mental kita mental menilai produk negeri dari kacamata asing, seakan-akan kita tidak percaya dengan kacamata bangsa sendiri. Kita tahu, dua film tersebut kaitannya dengan silat yang merupakan budaya dan produk asli negeri kita ini.
Kembali ke awal, bahwa kita memang kurang mengapresiasi, kita sangat berbeda sekali dengan orang luar yang lebih banyak memberikan apresiasi. Simak saja, bagaimana pengalaman Maulana M. Syuhada, Ia bisa hidup dengan anak-anak pemain angklung di negeri orang meskipun tidak memiliki uang sepeser pun.
Lalu, luar biasa sekali! Setiap festival yang ia datangi, ia bersama anak-anak pemain angklung mendapatkan apresiasi yang sangat besar, bahkan pertunjukan angklung mereka harus diberhentikan oleh pemilik gedung tempat tampil, karena pertunjukan mereka diminta untuk diulang beberapa kali oleh para penonton. Itu membuktikan sekali lagi, orang luar lebih mengapresiasi dan menghargai produk negeri kita daripada bangsa kita sendiri. Ini adalah masalah terbesar, yaitu masalah mental bangsa ini.
Sama halnya juga dengan apa yang dialami Ismael Basbeth, ia butuh waktu 10 tahun untuk mendapatkan apresiasi dari bangsa sendiri. Hanya karena filmnya “Mencari Hilal” barulah berhamburan orang-orang berkepentingan mendatanginya dan mengalir apresiasi untuknya. Miris, 10 tahun ini kemana aja? Inilah mental bangsa kita saat ini, kondisi mental yang sangat ironi.
Jadi, memang benar, revolusi mental adalah hal yang terus selalu digalakan, dikumandangkan, disebarkan, ditanamkan kepada seluruh warga Indonesia ini. Semua pihak harus turut serta mendukung hal ini, karena tidak lain permasalahan besar kita, adalah pada mental bangsa ini.
Terakhir, saya akhiri paragraf tulisan ini dengan apa yang telah disampaikan oleh Ismael Basbeth, “Jujur, jujur, jujur, jujur, jujur, jujur, dan jujur”. Lalu, perkataan bapak Rizal Ramli, “berani mengungkapkan kebenaran”, kemudian perkataaan Yayan Ruhiyan “ Bangga dan tetap support apa yang kita punya”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H