[caption caption="Pemberian Plakat kompasiana Kepada Menteri Pendidikan Anies Baswedan oleh Director of Elex Digital "][/caption]
Perhelatan Akbar Kopi Darat terbesar, Kompasianival 2015 dengan semangat “Indonesia Juara” menghadirkan langsung Menteri Pendidikan, Anies Baswedan. Bapak Anies Baswedan ditunjuk sebagai pembicara mengenai dunianya sebagai menteri pendidikan dalam menumbuhkan semangat mental juara bagi anak bangsa.
Penyampaian materi selama kurang lebih 20 menit itu tidak disia-siakan Bapak Menteri Pendidikan; ada banyak hal yang disampaikan terkait bagaimana mendidik anak bangsa, mendisiplinkan, bahkan menyangkut masalah besar yang dihadapi bangsa kita ini yaitu masalah bahasa kita yang semakin hari diperlukan penjagaan ketat ditengah goncangan bahasa lain; selain dipengaruhi kesadaran warga Negara Indonesia yang cenderung menganggap bahasa bangsa lain lebih keren daripada bangsa Indonesia sendiri. Selain itu, perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang sangat lambat.
Ini bisa dibilang ironi, di tengah kemajemukan bangsa, keragaman suku dan bahasa, atau lebih detailnya ada 719 bahasa daerah, toh tidak dapat mendongkrak perkembangan bahasa Indonesia.
Namun, karena sebenarnya yang harus dibicarakan adalah mengenai mental juara anak didik bangsa, maka mendahulukannya lebih dulu adalah suatu keharusan. Permasalahan kebahasaan yang tengah membelit bumi pertiwi perlu diakhirkan pada paragra-paragaraf terakhir.
Berbicara mengenai mental juara anak didik bangsa, Anies Baswedan langsung memberikan kritik terhadap fenomena-fenomena yang terjadi saat ini. Terutama dalam hal menjaga dan menumbuhkan mental atau semangat juara anak didik bangsa.
Hal yang disoroti adalah fenomena kompetisi-kompetisi yang diadakan oleh pemerintah maupun pihak-pihak akademisi yang hanya berorientasi pada klasemen; sementara menurut Anies Baswedan hal itu memberikan dampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan mental juara anak didik bangsa. Seharusnya, orientasi juara yang diharapkan bapak menteri adalah orientasi lomba dalam semangat untuk memperbaiki terus-menerus.
Ketika orientasi lomba adalah klasemen, dampak buruknya adalah akan ada anak didik yang merasa diri memang tidak pantas menjadi juara, dan menciptakan perasaan gagal yang malah akan semakin melemahkan mental juara anak didik bangsa.
Berbeda sekali, ketika misalnya seluruh peserta diberikan juara, apa salahnya? Tanya Anies Baswedan, baginya dengan seperti itu maka rasa percaya bahwa bisa menjadi juara pada anak didik bangsa akan terus terpompa sehingga mental juara itu akan selalu ada. Hasilnya, prestasi-prestasi akan terus diraih karena mental juara sudah tertanam pada diri anak bangsa.
Adapun ketika kondisinya harus mengikuti kompetisi lomba di kancah internasional, maka memang perlu dilakukan pemilihan siapa yang pantas berlomba, karena tidak mungkin yang dikirim semuanya. Kondisi seperti itu adalah kondisi berbeda jika kita kaitkan dengan kondisi dalam negeri kita sendiri yang memang mental juara anak didik bangsa perlu digenjot terus menerus.
Tidak ketinggalan untuk menguatkan pendapatnya, Bapak menteri mengajak untuk mengingat kembali ingatan-ingatan kita, di era pak Tino Sidin yang mengajarkan bergambar di televisi. Bagaimana pun keadaan hasil gambaran anak didiknya, pak Tino Sidin selalu memberikan ucapan, “bagusssss” hal ini bisa menumbuhkan mental juara anak didik. Bagi Anies Baswedan cara atau sikap yang ditunjukkan pak Tino Sidin perlu ditiru ditumbuhkan, itu karena pak Tino Sidin tidak memangkas percaya diri anak didiknya dengan sikapnya itu. Karena perlu ditekankan, jika pemangkasan rasa percaya diri anak didik, hal itu berpengaruh kepada mental lebih jauh kepada prestasi anak didik kita.
Kemudian, fenomena yang terjadi saat ini, dimana kita cenderung mendahulukan keluh kesah, ketahuilah bahwa keluh kesah itulah yang kemudian bisa menimbulkan efek negative terhadap mental atau rasa percaya diri kita.
Kalau melirik kepada sejarah, bagaimana penderitaan yang dialami oleh mereka di zaman yang keras, para seniman kita seperti Chairil Anwar ataupun Affandi. Namun, apa yang mereka tonjolkan, mereka bukan menonjolkan apa yang mereka deritakan, keluh-kesah mereka, tetapi semangat kemajuan yang ditonjolkan, itu bisa dilihat dari puisi-puisinya. Begitu juga dengan Affandi, itu bisa dilihat dari lukisan-lukisannya.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kemajuan atau membangun bangsa, yaitu sepenuhnya pro terhadap pemerintah, mendukung pemerintah boleh tetapi jangan sampai menghilangkan daya kritis. Karena pemerintah perlu dikritisi “tolong positif tentang bangsa, tetapi kritis terhadap pemerintah”, ungkap Anies Baswedan.
Kita juga mengenal, bagaimana pendidikan yang sering diterapkan, perintah dan hukuman, bagi Anies Baswedan itu adalah hal kuno, baginya, yang terpenting adalah bagaimana mendisiplinkan. Bukan malah melakukan penghukuman.
Terakhir, mengenai bagaimana menumbuhkan mental juara anak didik bangsa, menurut beliau dengan membiarkan mereka berkembang, jangan malah memangkas rasa percaya diri mereka, karena itu bisa memperlemah mereka.
Kemudiann, pesan untuk para pendidik untuk menganggap anak didik seperti biji yang akan terus berkembang dan tubuh bukan menganggapnya hanya sebagai kertas kosong.
Lalu, kita kembali kepada permasalahan bahasa yang dialami Indonesia saat ini. Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa cenderung perkembangan bahasa Indonesia lambat. Padahal, ia memiliki sumber kosakata bahasa yang sangat banyak; yaitu bahasa daerah. Mengapa itu terjadi? Itu tidak lain karena kesadaran untuk menggunakan bahasa sendiri yang masih kurang. Tidak dipungkiri memang,kita harus menguasai tiga bahasa; bahasa daerah, nasional, dan internasional.
Mungkin kita tahu, bahwa memang keinginan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional bukan keinginan baru. Hal tersebut mungkin seringkali didiskusikan oleh para ahli di bidang itu. Sayangnya, itu bisa terkendala, karena ternyata perkembangan kosakata bahasa Indonesia yang lambat, padahal bahasa internasional butuh kepada kosakata yang banyak.
Kita bisa lihat bagaimana keterlambatan tersebut dari data yang telah disodorkan Bapak Anies Baswedan,tahun 1953 kamus bahasa Indonesia tercetak, saat itu kosakatanya berjumlah 23.000 kata, sementara sekarang kosakata bahasa Indonesia sudah mencapai 92.000 kata. Ini sangat lambat, karena ternyata untuk mencapai 92.000 kata dibutuhkan waktu 62 tahun. Ini sangat berbeda kalau kita melihat inggris yang berhasil menambah kosakatanya sebanyak 8500 per tahun.
Karena itu sebuah solusi untuk meningkatkan hal tersebut adalah hal yang sangat dibutuhkan. Tidak muluk-muluk, menurut Bapak Anies Baswedan, peningkatan tersebut bisa dicapai dengan cara memperkaya kosakata dengan bahasa daerah. Karena bahasa daerah adalah sumber yang sangat jelas dalam wilayah kita. Bisa dilihat bagaimana bahasa sunda, untuk menyatakan jatuh saja ada 24 jenis kosakata tergantung konteksnya.
Namun, di sinilah kemudian dibutuhkan peran oleh semua pihak, karena penggunaan bahasa daerah sendiri kurang digandrungi. Masyarakat kita lebih suka mengambil bahasa orang lain. Lihat saja bagaimana kata Tsunami menjadi bahasa Indonesia. Padahal. Kata tersebut berasal dari jepang, sementara di Indonesia sendiri atau lebih khususnya di Aceh, penyebutan untuk tsunami memiliki bahasa tersendiri yang disebut dengan smong.
Terakhir, bahwa memang dua permasalahan yang disampaikan oleh Bapak Anies Baswedann, pertama mengenai bagaimana menumbuhkan mental juara . Kedua , bagaimana mendongkrak perkembangan kosakata bahasa Indonesia.
Maka, tidak lain penulis-penulis dari kompasianer sangat dibutuhkan untuk menyiarkan, meyakinkan, seluruh publik mengenai hal ini. Atau sama halnya dengan orang-orang yang memiliki kesempatan untuk berbicara di depan umum, atau kesempatan untuk menyampaikan materi, lewat-lewat media tersebut.
Peran seperti itu sangat dibutuhkan. Semisal pembaca berita dengan menggunakan satu atau dua kosakata menengenai hal tersebut. Atau juga dengan pewarta melaporkan berita dengan bahasa medannya. Pada awalnya, publik mungkin akan bingung, tetapi mereka juga akan tahu makna kata tersebut setelah melakukan pencarian dan mendengarkan penjelasan lebih lanjut. Tapi setidaknya itu ada, meskipun benar ataupun salahnya belakangan, artinya jangan memperhitungkan benar –salah dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H