Jakarta terus merias diri. Kota yang menjadi primadona bagi para pencari nafkah ini terus memperbaiki dirinya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pembangunan yang sedang dilakukan, baik dalam hal infrastruktur maupun transportasi. Tujuannya tak lain demi kenyamanan masyarakat kota itu sendiri maupun para pendatang yang menggantungkan hidupnya di Jakarta. Meskipun pembangunan ini berdampak pada semakin parahnya kemacetan, kita harus menyadari bahwa suatu pembangunan merupakan investasi di masa yang mendatang. Ibarat peribahasa, bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Saat ini mungkin keadaan yang ada membuka kita seringkali berkeluh kesah, tetapi ketika pembangunan tersebut selesai dilakukan, kita dapat menikmatinya dengan bangga.
Bagi masyarakat Jakarta, kemacetan yang ada, terlebih pada hari kerja, merupakan hal yang lumrah untuk dirasakan. Jika tidak ingin terlambat ke tempat tujuan, ada baiknya kita berangkat pagi-pagi sekali. Hal ini karena pada saat jam sibuk, hampir di setiap sudut kota Jakarta mengalami kemacetan, yang membuat untaian garis merah di Google Maps. Kita harus pintar-pintar dalam mencari 'jalan tikus'. Â Klakson-klakson yang saling bersahutan mewakili suara-suara para pengendara yang tidak sabar dalam menghadapi kemacetan. Berbagai usaha untuk mengatasi kemacetan sudah dilakukan di kota dengan Tugu Monas ini. Â Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah adalah diciptakannya sistem transportasi yang lincah, ramah, terpercaya, dan saling berintegrasi; yang tergabung dalam Jak Lingko. Wujud dari hal tersebut yang baru-baru ini dapat kita rasakan adalah diluncurkannya MRT (Mass Rapid Transit). Moda transportasi ini menyusul moda lainnya, yaitu TransJakarta dan Commuter Line, yang telah menjadi alternatif pilihan transportasi bagi masyarakat.
Tak lama lagi, masyarakat Jakarta bersiap menyambut alternatif transportasi lainnya, yaitu LRT (Light Rapid Transit) Jakarta. Proyek yang dimulai dari tahun 2015 ini diperkirakan akan rampung pada tahun 2020. LRT Jakarta akan menghubungkan kota Jakarta dengan tiga kota penyangganya, yaitu Bogor, Depok, dan Bekasi. Pada dasarnya, LRT Jakarta merupakan kereta feeder. Oleh karena itu, jumlah penumpang yang dapat diangkut oleh LRT lebih sedikit dibandingkan jumlah penumpang yang dapat diangkut oleh MRT dan Commuter Line.
Dengan adanya LRT Jakarta, penumpukan penumpang yang selalu terjadi pada saat jam kerja dan jam pulang kerja di Commuter Line diharapkan dapat mengalami pengurangan. LRT Jakarta disasarkan untuk dapat terintegrasi dengan stasiun Commuter Line dan MRT. Berbeda dengan MRT yang memiliki jalur atas dan jalur bawah, LRT hanya akan memiliki jalur atas. Pembangunan transportasi jalur atas dan bawah ini dapat dianalogikan seperti halnya kita sedang membangun 'dunia atas dan dunia bawah'. Hal ini menjadi indikasi adanya perubahan cara dalam bertransportasi.
Dengan sistem integrasi seperti ini, konsep moving people connecting communities akan semakin mudah diwujudkan. Masyarakat tentunya akan menjadi lebih mudah ketika menuju suatu tempat atau berpindah dari suatu tempat menuju tempat lainnya. Hal ini karena depo ataupun stasiun MRT dan LRT biasanya dibangun berdekatan dengan halte TransJakarta. Pada stasiun Commuter Line juga telah tersedia bus feeder TransJakarta bagi penumpang kereta yang ingin melanjutkan perjalannannya. Bus feeder ini sangat membantu masyarakat untuk menjangkau lokasi-lokasi yang bukan di jalan utama. Sebaliknya, jika kita ingin berpindah dari bus TransJakarta di koridor utama ke bus feeder, kita cukup meminta karcis transit sehingga kita bisa menaiki bus feeder tanpa perlu membayar tiket lagi.  Selain hal tersebut, ketiganya pun memiliki jalur masing-masing sehingga para penggunanya dapat menghindari kemacetan yang biasanya terjadi.
Perubahan sistem transportasi yang seperti ini harus kita sikapi dengan positif. Kita patut mendukung perbaikan dan pengembangan sistem transportasi yang telah pemerintah lakukan ini, dimulai dari diri kita sendiri. Proses menumbuhkan kesadaran diri masih dirasa sulit bagi sebagian orang. Kita harus ‘tega’ untuk meninggalkan kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor’ di rumah dan beralih menggunakan transportasi publik. Jika depo/stasiun/halte terlalu jauh dari rumah, kita bisa mengendarai kendaraan pribadi hingga gedung atau depo/stasiun yang menyediakan fasilitas park and ride terdekat dari depo/stasiun/halte dan memarkirkan kendaraan kita di sana.
Sebagian besar masyarakat yang tidak ingin beralih ke transportasi publik beranggapan bahwa transportasi publik tidak aman dan nyaman. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Dengan berbagai fasilitas yang disediakan TransJakarta, MRT, maupun LRT, kita tidak perlu khawatir akan keamanan dan kenyamanan saat berkendara dengan transportasi publik. Sebagai contoh Stasiun MRT Lebak Bulus. Mulai dari fasilitas standar, seperti mushola dan toilet yang bersih, hingga fasilitas pendukung, seperti minimart serta tempat park and ride, dapat kita temui di sana.
Hal penting lainnya selain kesadaran diri dalam menggunakan transportasi publik adalah bagaimana cara kita dalam menjaga fasilitas yang telah disediakan. Jangan sampai, transportasi yang kita gunakan sudah modern, tetapi tingkah laku kita masih ndeso. Contoh nyata hal tersebut sudah kita lihat pada saat uji coba MRT Jakarta pada Maret kemarin. Meskpun tidak diberikan sanksi hukum, para pelanggar telah mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat lainnya melalui media sosial. Beberapa kasus pelanggaran diviralkan oleh penumpang lain di media sosial sehingga memancing kemarahan warganet. Fenomena viral yang sering terjadi di masyarakat kini seharusnya kita jadikan sebagai alarm bagi kita untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan.
Selain moda transportasi yang telah disebutkan di atas, moda transportasi pendukung lainnya adalah angkot. Mulai dari tahun 2018, angkot-angkot yang beredar di Jakarta mulai diremajakan sesuai dengan SPM (Standar Pelayanan Minimal). Angkot-angkot tersebut rencananya akan dilengkapi dengan AC (Air Conditioner). Diharapkan 10 tahun ke depan, program yang dilakukan secara berkelanjutan ini dapat membuat angkot-angkot yang ada menjadi semakin layak dan nyaman digunakan. Sebenarnya, dibandingkan fasilitas, permasalahan keamanan di angkot merupakan yang utama. Masih ada angkot yang menggunakan kaca berwarna gelap. Padahal, sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kaca gelap pada kendaran umum. Hal inilah yang menjadi pertimbangan masyarakat, terlebih para wanita, ketika ingin menaiki angkot. Program peremajaan angkot ini tentunya menjadi angin segar bagi masyarakat yang menginginkan transportasi murah yang aman dan nyaman.
Selain mengurangi kemacetan, langkah kita dalam beralih ke transportasi publik secara tidak langsung akan berdampak ke lingkungan. Polusi udara Jakarta yang semakin mengkhawatirkan ini diharapkan dapat berkurang. Hal ini karena transportasi publik yang ada cenderung lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan-kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak bumi. Stasiun LRT Jakarta yang dibangun juga telah mengusung teknologi ramah lingkungan, yaitu PSC (Panel Sandwich Citicon). Material yang dapat meminimalkan buangan bahan (low waste) ini digunakan sebagai penutup kerangka stasiun LRT.
Sistem transportasi berintegrasi antara TransJakarta, Commuter Line, MRT, LRT, angkot, bahkan mungkin ke depannya moda transportasi yang ramah lingkungan, harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Modal yang dikeluarkan pemerintah tidak sedikit dalam investasi hal tersebut. Akan sangat disayangkan jika sistem transportasi yang sudah mumpuni ini tidak dimanfaatkan dan dijaga dengan baik. Kita harus saling bekerja sama untuk mewujudkan sistem transportasi yang aman dan nyaman. Tumbuhkan rasa memiliki kota Jakarta sehingga akan terwujud kota Jakarta sebagai kota yang nyaman dan ramah lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H