Mohon tunggu...
Sonna Aktiofan
Sonna Aktiofan Mohon Tunggu... Mahasiswa Sosiologi UNJ -

seeing the world with different perspectives.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia dan Perdamaian di Laut Cina Selatan

27 Desember 2017   14:11 Diperbarui: 14 Maret 2018   18:32 1880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika bukan Indonesia, lalu siapa? Amerika Serikat?!

Begitulah pertanyaan yang selalu saya lontarkan ketika saya dapati berita terkait konflik Laut Cina Selatan yang semakin hari semakin memanas dan belum menemukan titik ujung perdamaian dari belah pihak.

Oh ya, sebelumnya, dengan hati terbuka, tidak maksud untuk menggurui. Izinkan saya untuk memberikan opini tentang peran strategis Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, sebuah konflik yang melibatkan beberapa negara kawasan ASEAN dan Asia Timur, meliputi negara Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Tiongkok, dan Taiwan saling bercekcok untuk mengklaim kepemilikan atas Laut Cina Selatan. 

Laut yang memiliki letak strategis sebagai jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Asia dengan Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Serta menyimpan kekayaan alam yang sangat berlimpah dengan cadangan minyak, gas alam dan keanekaragaman hayati bawah laut membuat pihak yang bertikai semakin tergiur untuk tetap kukuh memperebutkan status kepemilikan berdasarkan kepentingan masing-masing negara.

Lantas, yang menjadi pertanyaan berikutnya ialah,

“Kapan konflik ini tertangani? Dan Siapa yang bisa menangani konflik ini?”

Apakah Amerika Serikat?” Jawabannya Tidak!

Justru, apabila benar-benar menangani atau menjadi “mediator” dalam konflik ini, Amerika Serikat hanya akan mengakibatkan permasalahan-permasalahan yang berkepanjangan. Karena kita tahu, Amerika Serikat memiliki 1000 strategi lebih baik dengan Smart Power Tactic sebagai alat diplomatiknya dan memiliki tujuan tersembunyi pula pada strategi tersebut. Ada udang di balik batu.

Namun yang menjadi bahasan dalam artikel ini, bukanlah untuk membahas Amerika Serikat, melainkan Indonesia.

Kenapa Indonesia?

Oke, akan saya jabarkan.

Indonesia, negara tercinta kita ini, menyimpan banyak peranan strategis dalam menangani permasalahan konflik Laut Cina Selatan.

Pertama, konteks politik Indonesia. Secara bijak, dalam mengambil keputusan untuk menangani permasalahan konflik Laut Cina Selatan sebisa mungkin Indonesia menjadi pihak yang netral. Hal ini tercermin dalam konsep politik luar negeri yang digunakan Indonesia, yakni Bebas Aktif yang berarti bebas menententukan sikap ke dalam permasalahan internasional dan lepas dari pengaruh suatu ideologi atau tidak berpihak dalam blok negara asing (blok barat maupun blok timur), dan berperan aktif dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam mengembangkan perdamaian dan kerjasama internasional.

Kedua, konteks historis Indonesia dalam menangani perdamaian dunia. Indonesia dengan tegas dan lantang telah ikut andil menciptakan perdamian dengan menjadi penyelenggara Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1995 di Bandung dalam melawan Kolonialisme atau Neokolonialisme negara adidaya dan menjalin kerjasama ekonomi-budaya, salah satu pendiri Gerakan Non Blok (GNB) pada tahun 1961 dalam bentuk gerakan tidak memihak blok barat dan blok timur, ikut aktif mendirikan Asociation of South East Asian Nation (ASEAN) dalam kerjasama dibidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, bergabung dalam forum-forum perdamaian internasional, dan ikut andil dalam menyelesaikan konflik di Kamboja, perang saudara di Bosnia, pertikaian antara pemerintah Filipina dan bangsa Moro.

Ketiga, konteks diplomasi Indonesia dalam menyelenggarakan forum-forum Internasional. Salah satunya adalah ASEAN dan forum lainnya. Peran strategis ini senada dengan yang diungkapkan oleh Menlu RI di era SBY, Merty Natalegawa, dalam menyampaikan pernyataan Pers Tahunan Menlu RI tahun 2014 di Ruang Nusantara, bahwasaya dengan cara diplomasi, kestabilan dan perdamian akan tercapai. “Tidak diragukan, perundingan yang berat di hadapan kita. Namun, Indonesia yakin bahwa dengan kemajuan politik yang kuat, suatu kemajuan dimungkinkan”[1]. Peran diplomasi memang jelas terlihat dengan tercapainya kesepakatan antara RRT dan ASEAN untuk memulai konsultasi formal mengenai tata perilaku atau Code of Conduct di Laut Cina Selatan, dan merumuskan batas teritorial kawasan ASEAN yang masih belum jelas dan berbatasan dengan Tiongkok.

Keempat, konteks geografis Indonesia yang berdekatan dengan negara-negera kawasan ASEAN dan Asia Timur. Hal ini dapat menjadi rujukan Indonesia untuk sigap dan tepat dalam menangani permasalahan konflik Laut Cina Selatan. Karena, konflik yang berlangsung pada kawasan strategis yang menyimpan banyak keuntungan dan menjadi jalur strategis perdagangan yang menghubungkan beberapa benua, apabila tidak tertangani akan mengakibatkan konflik senjata dan berdampak buruk bagi  ekosistem yang berada di Laut Cina Selatan serta terhentinya jalur perdagangan. Tanpa sadar, hal ini akan berdampak pula bagi Indonesia.

Kelima, konteks militer Indonesia. Peran strategis Indonesia yang satu ini merupakan peranan yang tidak terlalu dominan dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Namun, apabila ditinjau lebih dalam lagi, kekuatan militer Indonesia sendiri akan memberikan keuntungan yang lebih. Dikutip dari laman okezone, berdasarkan data Global Fire Power (GFP) 2017 menyebutkan Indonesia berada di urutan ke-14 daftar kekuatan tempur dunia. Dan Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang masuk dalam 15 peringkat GFP, dan tertinggi di Asia Tenggara[2]. Merujuk hal ini, peran militer Indonesia dapat dipercayakan untuk membantu meredakan konflik antar belah pihak khususnya kawasan ASEAN. Namun, yang perlu diingatkan kembali. Peran ini bukan menjadi salah satu peranan yang perlu ditingkatkan, mengingat peran Indonesia untuk tidak berperan andil dalam persenjataan. Melainkan peranan untuk fokus mendamaikan antar belah pihak yang bertikai tanpa adanya pengaruh senjata.

Berdasarkan lima peran strategis Indonesia dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, bukan menjadi hal yang mustahil apabila Indonesia memperjuangkan perdamaian konflik ini. Mengingat Indonesia sebagai pihak yang netral, dan tidak ikut andil langsung dalam memperebutkan status kepemilikan Laut Cina Selatan.

Lalu apabila kalian bertanya, “Apakah Indonesia Siap?

Dengan yakin, saya akan menjawab “Indonesia harus siap! Siap untuk memperjuangkan perdamaian dalam konflik Laut Cina Selatan

Jika bukan Indonesia, lalu siapa? Amerika Serikat?!

----------------------------

[1]Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. 2014. “Menlu RI: Yakini Kekuatan Diplomasi RI Mampu Beri Solusi Permasalahan Global”. Diakses online pada laman www.kemenlu.go.id pada tanggal 25 Desember 2017 pukul 12.44 WIB.

[2]Fahmy Fotaleno, Okezone. 2017. “Kekuatan Militer Indonesia Berada di Urutan ke-14 Dunia, Terkuat di Asean”. Diakses online pada laman news.okeozone.com tanggal 25 Desember 2017 pukul 13.11 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun