“Sudah Tuan, tapi memang aku kesulitan menemukan jejaknya, mungkin sudah dibawa ke negeri M.” Boris menjawab sekenanya, meski pandangan matanya tak luput dari tubuh halus anak perempuan yang mencuat dari rekahan selimut tebal itu. Tubuh yang tegang dan kaku. Lekuk tubuhnya ringkih, dibalut luka dan lebam yang tak akan hilang meski tulang-tulangnya memutih. Tahi lalat kecil membulat jelas di bawah kantung mata kiri dan satu lagi berada tepat di atas pusarnya.
“BODOH!!! Kenapa kau tak bisa mencarinya! Aku sudah menyuruhmu dua bulan lalu! Aku juga sudah mengirimkan fotonya! Memberi wewenang seluas-luasnya untuk mencari anak perempuanku! BODOH KAU BORIS! Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus temukan Dhisty! Sekalipun mayatnya, aku bersedia membayarnya! Persetan dengan harga! Beritahu aku segera, siapa orang yang bertugas menculiknya dan kepala mucikari mana yang menahannya, SECEPATNYA BODOH!”
“Baik Tuan, besok saya kabari” Tuuut...tuuut... Boris menekan tombol merah di handphonenya. Amarah Tuan Besar Fredo dan tatapan dingin wajah dibalik selimut itu membuat nyalinya semakin ciut dan kerdil. Berkali-kali dia menghisap kreteknya dengan gugup. Selembar foto yang tak pernah disentuhnya sejak mandat dari Tuan Besar Fredo dikeluarkan 2 bulan lalu, akhirnya tersembul juga dari balik amplop cokelatnya yang lembab. Foto anak perempuan kecil, berusia 13 tahun yang memiliki tahi lalat di bawah kantung mata sebelah kirinya.
Medan, 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H