Mohon tunggu...
Sakinah Annisa Mariz
Sakinah Annisa Mariz Mohon Tunggu... Blogger - Influencer -

Wife - Blogger Literasi Universitas Negeri Medan'09

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trafficking

4 Agustus 2016   20:01 Diperbarui: 4 Agustus 2016   20:11 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wajah itu membeku tengadah ke langit hitam pekat. Angin dingin semakin terasa dingin menusuk tulang-tulang dan persendian, terlebih darah yang mengental kehitam-hitaman di sepanjang bibir mungil itu! Aih! Wajah itu terlihat begitu tegang dan kaku, seolah ingin menunjukkan dendam yang selama ini menggumpal di dada, bibir dan kemaluannya.

Sekejap, anyir darah mulai merebak di ruangan. Angin menolong wajah kecil kaku senandungkan lagu kematian. Bola matanya masih bening terbuka, menceritakan kesakitan dan kepedihan yang mendera-dera jiwa dan raganya selama dua bulan ini. Dari hidungnya yang bangir, menyembul noda biru kehitam-hitaman yang tak sempat tertangkap cahaya remang-remang di kamar pengap itu. Pada wajahnya yang tirus, melekat garis-garis kelabu meninggalkan jejak, serupa coretan yang mewarnai pipi putih mulusnya. Jejak-jejak yang bersumber dari lidah-lidah kotor lelaki berperangai iblis.

            Malam ini, semua terasa lain. Aroma kretek yang sengaja disulut Boris saat Tuan Besar Fredo memulai pembicaraan tak dapat menghangatkan dadanya dari degup angin dan tatapan dingin anak perempuan yang terbungkus selimut itu. Tiba-tiba saja rasa gugup menggerilya jantungnya, menyulitkan bibirnya menghisap kretek itu lebih dalam. Dia hanya mencicipi sedikit asap dari filternya lalu buru-buru menghembuskannya keluar.

Tatapan mata anak kecil itu lagi-lagi menyurutkan semangatnya untuk berbicara dengan Tuan Besar Fredo. Wajah anak perempuan yang pasi dengan ekspressinya dinginnya, seolah-olah mencekik semua nafas Boris yang tersisa. Boris terengah-engah dalam kepulan kreteknya sendiri. Dia hanya mengatakan “ya” pada setiap pertanyaan yang di lontarkan Tuan Besar Fredo tanpa sedikitpun memikirkannya. Matanya tak bisa lepas dari wajah mungil yang membujur dibalik selimut itu. Anyir darah merebak lagi, membaur dengan desau angin yang kadang-kadang berbunyi seperti tangisan anak kecil yang menyedihkan.

Jalanan memerah, langkah menyerah

Nafas dan nyawa mengepul seperti asap rokok lelaki dewasa

Hari-hari memekat di ruangan pengap, terali kematian

Simpang jalan merah tempatku berteduh

Dari  malam yang selalu berujung pada kesakitan panjang

Boris tersentak dari lamunannya, sekilas dia melihat wajah itu seperti berpuisi padanya. Boris, lelaki bertubuh tegap dan berpostur tinggi dengan kulit hitam berkilat menghirup kreteknya dengan jantung yang berdegup tak karuan. Sekali lagi terdengar makian Tuan Besar Fredo membentak.

“Bagaimana? Sudah kau cari ke tiap rumah-rumah bordil berengsek itu!!! Bodoh! Bodoh! Kenapa kalian bisa kecolongan!” Tuan Besar Fredo memaki Boris, tak sabar dengan jawabannya yang lamban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun