Mohon tunggu...
Sakinah Annisa Mariz
Sakinah Annisa Mariz Mohon Tunggu... Blogger - Influencer -

Wife - Blogger Literasi Universitas Negeri Medan'09

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trafficking

4 Agustus 2016   20:01 Diperbarui: 4 Agustus 2016   20:11 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Sakinah Annisa Mariz

          Di kamar yang gelap dan sempit, seorang anak perempuan menangis di sudut ranjang. Tubuh rapuhnya dibalut selimut yang tebal. Seorang lelaki berbadan tegap dan tinggi masuk ke dalam kamar, menyingkapkan selimut yang membalut tubuh perempuan itu sehingga tubuhnya yang kecil terpelanting di atas ranjang.

“Hei anak sialan! Kenapa kau tak mau melayani tamu-tamuku! Dasar tak tahu diri! Kau pikir bisa gratis hidup di sini ya! Sial! Sial! Sial!” Lelaki itu terus-terusan memukuli tubuh perempuan kecil itu dengan jari-jari dan kepalan tangannya yang kokoh. Darah kental kehitam-hitaman muncrat dari bibir mungilnya yang kering dan pucat. Anak perempuan kecil yang dipukuli itu hanya bisa bernafas lemah, tanpa berusaha membuka matanya. Sedari pagi, sudah 19 orang tamu yang dilayaninya dengan tersiksa. Hingga malam ini, tak sebutir nasi pun masuk ke mulutnya. Sejak terbangun dari tidurnya yang sebentar-sebentar terjaga, dia hanya diberikan segelas air dingin dan sebutir pil kecil, pil anti hamil. Hari ini sudah tiga kali dia pingsan ketika sedang melayani tamu-tamunya. Namun, bukan iba yang terpancar di mata lelaki-lelaki berwajah setan itu, malah perlakuan yang semakin bringas dan bernafsu yang didapatinya.

Sejenak terdengar suara rintihan yang menyayat dari kamar itu, serupa rintihan seorang tahanan yang menanti detik-detik eksekusinya. Anak kecil itu, seperti sudah kehilangan seperempat jiwanya! Salah! Bukan seperempat, malah seluruhnya! Dia sudah tak bernyawa lagi sejak lelaki besar dan hitam itu menghantamkan tinjunya tepat ke ulu hatinya.

Tanpa rasa bersalah, kemudian lelaki itu membopong tubuhnya yang ringkih menuju halaman balakang. Halaman terlarang yang hanya bisa bisa ditemukan setelah melalui lorong-lorong sempit dan lembab. Pada ujung lorong, terdapat sebuah ruangan kecil beratap terbuka yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang kepercayaan Tuan Besar Fredo. Tidak ada yang menarik dari ruangan gelap itu kecuali kloset kotor yang berada persis di tengah-tengah ruangan dan beberapa lampu pijar yang sudah putus bola lampunya.

Pintu ruang kecil itu dibukanya dan dibantingkannya keras hingga dinding-dindingnya yang kehijau-hijauan bergetar. Dia menekan sakelar lampu dengan tangan kiri, sedangkan tangan lainnya mendekap sebuah gulungan besar yang tersampir di bahu kanannya.

Dia sedikit membungkuk ketika berusaha menyurukkan gulungan manusia itu kedalam sebuah lubang raksasa yang berada persis di sudut timur ruangan. Lubang raksasa dengan kedalaman 8 meter yang sarat oleh mayat-mayat perempuan yang dulunya bekerja di rumah terkutuk itu. Ketika dia menggeser penutup lubang, yaitu berupa lempengan besi padu dengan garis tengah lingkarannya sekitar 2 meter, tiba-tiba selulernya berdering. Nama Tuan Besar Fredo muncul berkedip-kedip di layar selulernya, cahayanya menerangi kulit wajahnya yang hitam dan mulai dibubuhi bintik-bintik keringat. Dengan gugup disahutnya telepon Tuan Besar Fredo dan diletakkannya gulungan itu tepat di bawah kakinya.

***

Dari atap ruangan yang terbuka, angin berhembus begitu kencangnya. Mungkin malam ini akan turun hujan deras, seperti malam-malam sebelumnya. Biasanya jika malam hujan, pelanggan yang mendatangi rumah terkutuk itu akan bertambah banyak. Tak jarang Boris mendapat keuntungan yang berlipat ganda dari hasil pelayanan gadis-gadis yang memuaskan pelanggan. Walaupun setiap harinya ada saja gadis yang harus dilenyapkan karena penyakit kelamin akut atau meninggal secara tiba-tiba, itu tidak jadi masalah. Ada banyak stok daur-ulang yang selalu diganti tiap minggunya dengan tingkat usia yang berbeda-beda. Stok itu sebenarnya bukan “barang baru” lagi, namun perempuan-perempuan yang berasal dari rumah terkutuk lain yang disubtitusikan ke rumah terkutuk lain yang berbeda wilayahnya. Misalnya saja dari wilayah X, ditukar ke wilayah Y, begitu seterusnya.

Boris yang bertanggung jawab untuk memetakan wilayah daur-ulang itu agar tidak terjadi persinggahan rumah yang sama dalam dua kali. “Barang baru” diselipkan dalam rute perjalanan sebagai “pengganti” dari yang sudah lenyap ataupun dilenyapkan sehingga bisnis Boris tidak pernah mengalami pasang-surut. Selayaknya hukum demand dan suply dalam teori ekonomi, keberadaan suply (penyediaan) “barang-barang” itu akan terus eksis selama masih ada demand (permintaan) dari konsumennya. Boris paham sekali akan teori ekonomi itu dan selalu berupaya untuk melaksanakan tugasnya dengan cermat dan hati-hati. Sedikit saja gerak-geriknya tercium oleh pihak berwajib, maka hancur binasalah karir dan seluruh jaringannya.

Angin dingin berhembus lagi, mengelus-elus pipi dan tengkuknya yang pias. Kali ini deru angin semakin kencang sementara percakapannya dengan Tuan Besar Fredo di telepon semakin memanas. Tanpa sengaja, angin meniup gulungan selimut diletakkannya di lantai itu dengan kerasnya hingga menyibakkannya. Sebagian atas gulungan itu mulai merekah. Sebuah kepala anak perempuan berumur 13 tahun menyeruak dari dalamnya. Lampu neon berdaya 15 watt itu cukup membantu untuk mengenali wajah kecilnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun