Mohon tunggu...
sakila anggi kusuma
sakila anggi kusuma Mohon Tunggu... -

hidup adalah tantang buat hidupmu menjadi menantang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Reog diakui Malaysia

2 Desember 2015   10:16 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:41 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ilustrasi (dok.qolbunhadi)"][/caption]

 

[caption caption="ilustrasi (dok.kisahasalusul)"]

[/caption]

Apakah kau tau budayamu?

Indonesia dikarunai oleh tuhan memiliki budaya yang beragam dan sangat menarik. Budaya di Indonesia sangatlah banyak, kita sebagai warga Indonesia haruslah berbangga atas apa yang kita miliki ini. Sudah semestinya kita melestarikan budaya-budaya yang ada diderah kita, memperkenalkan budaya kita pada seluruh dunia paling tidak kita memperkenalkan kepada anak cucu kita nanti. Menurut Pak Anies Baswedan kekayaan budaya Indonesia adalah saran diplomasi luar biasa, hanya saja selama ini belum dioptimalkan. “padahal jarang sekali ada bangsa didunia ini yang memiliki kebudayaan seperti Indonesia,” ujar Pak Anies Baswedan pada teropong senayan minggu (29/11/2015)

Kali ini saya akan mengulik sejarah Reog Ponorogo

Reog Ponorogo

Kebudayaan Indonesia ini sempat diakui oleh negara Malaysia sebagai kebudayaan Malaysia. Miris sekali bila hal itu sampai terjadi. Kita sebagai warga negara pasti tidak akan terima bila kebudayaan kita diakui oleh negara lain. Maka dari itu kita harus melestarikan budaya-budaya kita agar tidak di akui oleh negara lain.

Reog ponorogo adalah salah satu kebudayaan dari jawa timur bagian barat laut. Reog Ponorogo salah satu budaya Indonesia yang sangat kental dengan hal hal mistis. Awal mula Reog Ponorogo ini yaitu pemberontakan ki ageng kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Tiongkok, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang karu, ia pun melihat bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu menggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar seni bela diri kepada anak anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalu pertunjukan seni Reog, yang merupakan sindiran kepada raja Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala siang yang dikenal sebagai “singa barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingg menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan cinanya yang mengatur dari segala gerak geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemplak yang menunggangi kuda kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singa barong yang mencapai 50kg lebih hanya dengan menggunakan giginya.

Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid ki ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter karekter dari cerita rakyat Ponorogoro yaitu Kenolo Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun