Dari sana di sudut tempat yang hanya sedikit penerangan disekitarnya, juga jauh didalam hatinya. Pemuda yang tengah terluka hatinya terduduk lemah bukan karna lelah, terdiam lesu bukan karna bisu, tak bergerak bukan karna terikat, hanya saja saat ini semuanya menjadi semakin berat. Sudah satu jam lebih ia duduk disana berputar dengan fikirannya, berdialog sunyi dengan jiwanya. Ada jalan yang harus ia pilih, ada hal yang harus ia putuskan, meski hatinya terkorbankan. Pemuda itu berdiri lantas berjalan, masih dengan kehampaan tanpa tujuan, yang ia tahu ia harus segera tinggalkan rumah ini.
Langkahnya semakin tegas, langkahnya semakin pasti. Terus melangkah meski masih tanpa arah. Tiba-tiba langkahnya terhenti di depan sebuah kedai kecil pinggir jalan, tirai kayu yang menutupinya bertuliskan “cari solusi? Minum dulu kopi” senyum kecil tergambar di bibirnya entah karna ia percaya dengan tulisan itu atau sedikit demi sedikit saraf kewarasannya mulai hilang. Segera pemuda itu menghampiri kedai.
Tak lama ibu paruh baya itu datang membawa secangkir kopi panas, sambil tersenyum ibu itu menyajikan “kopi solusi ne mas, monggo” lantas berlalu sambil masih menahan senyum.
Sekarang, dengannya satu cangkir kopi menjadi teman, satu cangkir kopi menjadi keyakinan. Jelas menyedihkan manusia, ketika masalah menghampiri berbagai cara dilakukan tuk berlari, jelas semua tanpa solusi. Tiara, hanya itu yang berat ia tinggalkan, buah cinta yang lama ia perjuangkan, penolakan, penghinaan, hingga pengharaman yang ia terima hanya untuk sebuah kata sakral cinta, dan pada akhirnya berbalik menyeret jauh, jatuh terkalahkan.
“harusnya sejak dulu aku tak izinkan teroris ini masuk ke keluarga kita”
Kata-kata yang jelas terekam dalam memori dan berbekas di hati. Ucapan yang keluar dari seseorang yang seharusnya menjadi orang tua ke duanya, menjadi ibu barunya, namun yang terjadi kini menjadi orang terdepan yang menentang kisah cintanya bersama putrinya, terlebih penolakan terhadap Tiara, mutiara yang lahir dari kisah cinta penuh perbedaan, dalam pertentangan keyakinan.
Kecerdasan manusia menghasilkan bermacam tuhan, bermacam cara untuk mengenal tuhan juga bermacam cara untuk meninggalkannya. Yakinku satu menurutnya tiga, yakinku khusu menurutnya lagu, dan berjubel permasalahan yang lahir dan sejak awal sudah terbayangkan akan terjadi, seperti menyalakan bom waktu yang pada waktunya akan segera meledak, menghancurkan tanpa pandang bulu entah ia beriman atau tidak. Dan tepat saat bom waktu itu meledak segera ia melangkah pergi meninggalkan rumah, tepat setelah putrinya berniat mengucap dua kalimat syahadat.
Kini kedua orang yang ia cintai terkurung di rumah itu, dan yang bisa ia lakukan hanya menunggu. Berharap semu terbukanya hati ibu, namun ia lebih memilih melupakan harapan itu, jika saja ada jalan yang dapat mengembalikan semuanya, ada jalan yang dapat meleburkan hitam dalam putih, menyamarkan gelap dalam terang, hingga raga melangkah tanpa kepala. Jelas semua ini tidak mungkin, aku yakini satu dan dia memilih tiga, hukum ini mutlak bukan sekedar teori.
Tanpa terasa satu jam lebih ia menikmati secangkir kopi, namun yang terasa masih tanpa solusi. Fikirannya hanya berputar dalam warna-warna dalam secangkir kopi masih terlalu kurang untuk sebuah solusi.
“mba, kopi ne siji meneh” pemuda itu memesan cangkir kopi yang kedua
Fikirannya masih berputar dengan warna-warna dalam secangkir kopi pertama. Terhukumi seperti pelangi dalam secangkir kopi. Dan kini ia kembali dengan cangkir kopi yang kedua, cangkir kopi yang kedua menjadi teman, cangkir kopi yang kedua menjadi keyakinan, sebuah keraguan dalam kemurnian keyakinan. Ya, cangkir kopi yang kedua, keraguan!. Keraguan terhadap tuhan dan menuntun menuju kesesatan. Manusia terlalu kotor, banyak cara mengenal tuhan dan banyak juga cara meninggalkannya. Tepat ketika keyakinan tercampuri hawa nafsu, terkotori kecintaan terhadap dunia. Lama terbelenggu tanpa rantai namun terikat, jelas tersesat.