Mohon tunggu...
@guscholis
@guscholis Mohon Tunggu... Dosen - segera mendekat, kiamat sudah dekat

abi mah jalmi ipis, pis, peace...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Saya, MOOC dan Karakter

22 Januari 2016   10:44 Diperbarui: 22 Januari 2016   11:20 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah takdirnya saya harus berkenalan dengan IndonesiaX dan menjadi peserta kursus MOOC (massive open online course). Seperti dalam situsnya, IndonesiaX adalah suatu inisiatif yang terfokus pada pengembangan edukasi dan pelatihan online berkualitas tinggi di Indonesia. Dan MOOC adalah platform yang ditawarkan IndonesiaX sebagai kursus online terbuka secara besar-besaran dengan perangkat learning management system (LMS) tercanggih. Alhamdulillah, saya dijodohkan dengan kualitas, canggih, dan focus dalam edukasi.

Adalah Kompasiana yang mempertemukan saya dengan platform dan situs tersebut, untuk kemudian segera berselancar di indonesiax.co.id. Meski saya bukan fans gratisan, kata ‘Kursus Online Gratis’ semakin memaksa saya untuk menjadi bagian di dalamnya. Apalagi, kerjasama Kompasiana dan IndonesiaX memberikan stimulan kepada netizen untuk ikut terlibat dan merasakan bagaimana sensasi belajar dengan cara baru.

Sebagai pembelajar, saya tidak boleh terjebak dengan cara lama, gaya lama, dan model lama. Segala sesuatunya harus terus diperbaharui. Saya ingin maju, dan memang harus maju. Dalam kemajuan, kita akan memenukan banyak hal yang baru. Jika IndonesiaX berjanji untuk focus dan berkualitas, kemajuan saya akan bersama dengan kualitas. Tentu, saya tidak boleh tertinggal dan harus menjadi bagian dalam kualitas tersebut. Oleh karena itu, saya sudah mengikuti dua kursus dan bersiap untuk mengikuti tiga kursus berikutnya.

Salah satu kursus yang menarik untuk diceritakan adalah belajar mengemudi (self driving course). Digawangi Prof. Rhenald Kasali, saya harus belajar menikmati di setiap detik yang terlewati. Saya harus ikut menyelam bersama perasaan, bagaimana rasanya menjadi penumpang dan bagaimana rasanya ketika menjadi supir. Apalagi, hampir jarang terjadi, supir dan penumpang bersalaman, atau bahkan berkomunikasi. Kemanusiaan kita terdepresi oleh transaksi jual beli.

Memang, kursus self driver tidak berbicara teknis antara sopir dan penumpang. Tapi pengetahuan yang disampaikan harus dihubungkan dengan kenyataan. Ada banyak orang yang sulit memahami karakter yang dibahas (terkait sopir dan penumpang) jika tidak dengan perumpamaan. Saya merasakan bagaimana emosinya seorang sopir yang mendapatkan sedikit penumpang. Saya juga pernah menjadi bagian dari ketamakan sopir, meski kendaraannya sudah dipenuhi penumpang. Karakter yang dibahas Prof. Rhenald semakin legitimate dengan pengalaman keseharian.

Melalui kursus ini, kita diajak menyelam ke palung terdalam dari diri sendiri. Saya tersenyum sendiri ketika ada karakter bad (driver/passenger) yang terkuak, sambil bergumam: “Masa sih saya begitu!”. Saya yakin tidak ada manusia yang mau jadi looser, karena semuanya ingin menjadi winner. Tapi dalam refleksi, banyak sekali manusia yang terjebak dalam posisi looser, dan tak bersungguh-sungguh membuang karakter itu. Ironinya, bukannya mereka tidak bisa, tapi mereka “tidak” mau.

Oleh karena itu, selama 4 sesi yang terlewati, Prof. Rhenald selalu berusaha untuk meyakinkan bahwa kita semua adalah winner. Kita tidak perlu berubah karena orang lain, apalagi dipaksa-paksa. Rasanya pahit jika disiplin itu muncul karena paksaan orang lain. Kita harus berubah karena diri kita sendiri. Rasanya malu jika manusia tak disiplin, kalah oleh ayam yang berkokok sesuai jadual, atau oleh burung yang disiplin terbang mencari makanan. Rasanya tak berharga jika kesempurnaan akal terkalahkan oleh insting binatang.

Kursus ini semakin menarik karena para peserta bergabung dalam forum dialog. Melalui Whatsapp, 39 peserta bergabung dalam diskusi Self Driver - Indonesia. Perjodohan antara inisiasi dan respon memberikan daya tarik tersendiri. Topic diskusi dipertajam dengan aksi. Kita tidak hanya berwacana dalam teori, tapi saling berbagi dalam pengalaman. Bahkan, terencana sebuah aksi untuk membantu membangun negeri.

Sungguh, pernikahan segi empat (dialog-inisiasi-respon-aksi) ini memberikan keindahan, seperti pelangi yang menawan hati. Masing-masing pribadi menyumbang karakternya untuk diikat dalam kemajuan. Tentu saja, karakter yang dibagi adalah karakter kebaikan. Jika muncul bad character, mayoritas akan memberikan pertolongan. Setidaknya, saling mengingatkan untuk tidak menyumbangkan karakter yang tidak baik. Karakter yang tidak baik hanya menjadi perusak, tidak hanya bagi pribadinya, tapi juga menghancurkan jamaahnya.

Sebagai contoh, pertanyaan yang terlontar dalam grup WA adalah permintaan pendapat tentang Gafatar. Meskipun tidak mutlak bahwa Gafatar tersebut tidak baik, tidak ada anggota grup yang memberikan respon. Mungkin saja para anggota merasa bingung untuk memberikan respon. Yang terjadi kemudian, inisiasi (respon) dari anggota untuk mengingatkan: “Sebaiknya kita tidak membicarakan kontrovensi yang hanya akan menghabiskan energy secara sia-sia”.

Pada sesi dialog sebelumnya, ada anggota yang “menyalahkan” pemerintah dalam sebuah kasus. Padahal di sesi course Prof. Rhenald ada himbauan untuk tidak saling menyalahkan. Jika perilaku itu terus dipelihara, bukan winner yang diperolehnya, tapi ia menjadi looser yang berpenyakitan. Sebelum teman-teman mengingatkan, ia sendiri sudah menyadarinya. Sambil tersenyum ia pasti berkata: “Saya adalah orang yang salah jika hanya bisa menyalahkan”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun