Mohon tunggu...
@guscholis
@guscholis Mohon Tunggu... Dosen - segera mendekat, kiamat sudah dekat

abi mah jalmi ipis, pis, peace...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengamati dan Belajar Menyaksikan

13 November 2018   11:38 Diperbarui: 13 November 2018   11:40 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Selamat datang di *****, selamat ber****” Kalau tidak mendapatkan ucapan salam, bonus gula pasir 1 kilogram. Saat dahulu penulis penasaran, sampai berapa lama akan bertahan. Ternyata, kenyataan membuktikan. Tidak perlu repot dengan penjelasan. Tak ada lagi sambutan. Tak juga ada pengumuman hukuman. Semua sudah selesai dengan pemasukan yang mengalami peningkatan. Kalau uang menjadi pendahululan, runtuh sudah ketulusan.

Di sebuah ruang tunggu, banyak orang berdampingan, laki-laki dan perempuan. Mereka sendirian dalam keramaian. Tidak tengok kiri dan kanan. Langsung duduk tanpa permisi. Tak lama dari duduk, sebuah benda dikeluarkan. Meskipun berdampingan, tak merasa harus menyapa, apalagi menjadi saudara. Entah siapa, entah apa, entah kabar, entah berita, ia tertawa menikmati kesakitannya. Bukan badan, atau sedikit pikiran, yang sakit adalah jiwanya.

Penulis hanya pihak ketiga. Agak gimana ya, saat seorang memberikan senyuman, sementara lawannya dingin memaku. Penulis ikut terbawa suasana, merasakan indahnya senyuman, dan sakit sekali orang yang membeku. Teori tidak langsung berlaku, karena syarafnya lama terbelenggu. Sayang sekali, telah lama pergi kesempurnaan itu. Pandangan yang tersisa adalah muramnya dunia, karena kabut tak segera berlalu. Wahai pak tua, kenapa menjadi begitu?

Dalam perjalanan, mayoritas kegiatan hanya dua macam: tidur dan menghidupkan alat permainan. Sama saja, baik di kereta atau di bis. Demikian juga di pesawat terbang. Oleh pembuatnya, alat itu diberi status smart phone. Sayang, alat itu tidak mencerdaskan. Yang jelas adalah menghambur-hamburkan waktu dan kesempatan. Plus uang. Kecuali mereka yang menjadikan piranti pintar itu untuk sebuah kebutuhan dan perenungan. Tapi berapa banyak yang demikian?

Hari ini, media sosial menjadi tren baru yang menyibukkan. Sosmed menjadi tuhan baru yang menyingkirkan kemanusiaan. Rasanya, mereka tidak perlu lagi didampingi malaikat pencatat. Video mereka saja yang disetorkan kepada malaikat. Hanya saja, yang tidak eye catching tidak akan ditampilkan. Mereka ingin menampilkan kegembiraan, kesenangan, perbedaan, dan keunggulan. Jadilah malaikat tetap merekam kesedihan dan penganiayaan.

Hari ini, logika yang sehat sedang diacak-acak. Anak membunuh bapak. Ibu membunuh anak-anaknya. Ayah memperkosa anak tirinya. Dosen mengajak kencan mahasiswa. Kyai mencabuli santrinya. Siswa menganiaya gurunya. Entah kemana perginya “jiwa yang sehat di badan yang kuat”. Semua bingung dengan pemberitaan. Apakah kejadian itu mewakili masyarakat secara keseluruhan? Yang jelas, masyarakat kita sudah tidak sehat.

Untuk mengujinya, sederhana sekali. Minta teman untuk mengambil foto kita, kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Ambillah 50 foto dalam sehari, dan pajang di dinding. Hitung berapa yang tersenyum dan berapa foto yang tidak tersenyum. Prosentasekan dengan skala, sebanyak foto yang ditampilkan. Wajah tanpa senyuman, jiwa kita sedang tertekan. Dalam al-Qur’an, senyuman adalah tanda yang sederhana bagi para penghuni surga.

Hari ini, kemanusiaan telah tergadaikan. Ada uang, abang disayang. Tanpa uang, abang ditendang. Di sebuah perkotaan, untuk tahlilan harus mendatangkan santri bayaran. Di perkampungan, amplop menjadi pemanis shalat jenazah. Gotong royong sebentar lagi hilang. Makan bancakan hanya di permukaan. Status kekayaan meruntuhkan kemanusiaan. Hanya sedikit yang masih bertahan, mereka yang berlindung dalam kasih sayang Tuhan.

Rumah sakit banyak didirikan, akibat manusia salah memperlakukan. Banyaknya rumah sakit tidak membuat manusia sehat kembali. Dari namanya saja sudah salah. Diagnosanya pun terbawa salah, perlakuannya semakin salah kaprah. Komponen manusia itu ada tiga, tapi rumah sakit tidak mampu menjamahnya.  Dokter yang bertugas pun tergantung yang menaunginya. Sementara perawat, tidak ada yang benar-benar mencapai hakikat.

Ada ustadz kondang, pintar ceramahi jama’ah. Jadwalnya dimana-mana. Tapi dengan istrinya seperti dengan musuhnya. Sangat tidak pandai membawa diri. Ini belum dikonfirmasi kepada ustadznya. Biarlah waktu yang mengilhamkan kepadanya. Kesannya arogan, meskipun sesekali dihadiri senyuman. Ingin selalu dilayani, kata-katanya seringkali menyakiti. Di depan khalayak menjaga diri, kepada diri sendiri tidak menyayangi.

Ada seorang pesohor negeri, meskipun masih di level provinsi. Namanya dihormati, ceramahnya diminati. Beberapa saat terlindungi, hingga suatu waktu lisannya membanggakan diri. “Peliharalah lisan, suatu saat menjerumuskan. Kalau tidak bisa berkata baik, diam adalah keuntungan.” Bisa jadi, maksudnya menyemangati, tapi harga dirinya tak tertahankan lagi. Ketika uang menjadi panutan, ilmu dan nama baiknya berhamburan.

Zaman sekarang zaman edan. Kalau tidak ikut edan, terpojok di pinggir gelanggang. Sedikit yang bertahan di dalam kewarasan, yaitu mereka-mereka yang sangat konsisten memelihara perasaan. Orang dan zaman saling berhubungan. Siapa kuat dia tetap sehat. Kalau orangnya sehat, zamannya terbawa sehat. Kalau zamannya sehat, pemainnya pun menjadi sehat. Sungguh, enak sekali menjadi sehat. Tapi uang telah memaksa banyak orang untuk menjadi edan.

Ada banyak pengajian diadakan. Ibu atau bapak, semangatnya sama. Tidak pagi tidak sore, siang malam tidak jadi halangan. Materinya tentang agama, ada perintah ada larangan. Bajunya kompak berwarna putih, menjadi symbol dari suci dan bersih. Selesai pengajian, ada saja kehilangan. Mengobrol dengan rekan-rekan, tidak lupa membicarakan kejelekan. Bukan untuk memperbaiki diri, tapi sedang konsisten merusak hati.

Ada seseorang yang sangat berilmu. Apa yang ditanyakan tak lama disampaikan. Maksudnya, tidak perlu lama untuk memikirkan jawaban. Sumbernya pun disebutkan, lengkap dengan berbagai pandangan. Dari sejarah hingga tasawwuf, tentang fiqh atau tauhid. Sayang, keilmuannya tidak dimanfaatkan. Kalau lisan dijadikan pimpinan, berkeluh kesah menjadi kebiasaan. Tak butuh lama untuk pembuktian, diantaranya berselisih dengan teman-teman.

Kalau di jalan, dibutuhkan kesadaran. Kemacetan adalah ujian. Klakson tandanya tak sabaran. Banyaknya mobil pribadi adalah indikasi sulit memberi. Seseorang yang berniat baik, belum tentu mendapatkan dukungan. Kebiasaan menjadi kencenderungan, meskipun secara akal sehat bertentangan. “Di sini mah sudah begini. Kamu dari mana?” Orang waras dipersalahkan. Ingin sehat ditertawakan. Andai malaikat diberi nafsu, tak ada manusia tersisa lagi.

Ada anak memakai kerudung, ibunya sendiri tanpa kerudung. Ada anak sedang merokok, bapaknya datang menyalakan rokok. Anak sekolah ingin bermotor, tak peduli ayahnya berbaju kotor. Dititipi anak perempuan yang cantik, tak malu menawarkan anak untuk menjadi gundik. Ada anak, statusnya PSK, ayahnya ‘bangga’ dan mengundang tetangga. Undangan itu berupa pengajian dan yasinan. Sebelum dimulai, dengan bangga diumumkan.

Dunia hari ini diramaikan dengan ironi. Dan terjadi hampir setiap hari. Kalau tidak ada, ironi itu dibuat sendiri. Ada sutradara, ada pembuat skenario, dan ada pasarnya sendiri. Ketika dibuat, sudah pasti ada pembeli. Kalau ada pesanan, menjadi korban pun tetap dijalankan. Bisnis ini cukup menjanjikan. Urusan etika disimpan ke belakang. Urusan agama, bonusnya diberikan kepada ulama. Semakin banyak yang gila, semakin sukses dalam usaha.

Suatu waktu yang tidak terlupakan. Ada seorang pujaan memberikan putusan. “Sampai di sini dulu ya, wassalam. Tidak perlu ada yang dipertahankan. Kesempatan sudah diberikan, tapi kepercayaan disia-siakan.” Putusan itu menghempaskan, meskipun disertai senyuman. “Bukankah dahulu telah mengizinkan? Ya, tapi mohon izin untuk meninggalkan.” Perlu waktu yang lama untuk pemulihan, sampai pada kesimpulan yang saling membahagiakan.

Sejak itulah awal penulis mulai mendalami senyuman. Menengok ke kiri dan ke kanan, senyuman menjadi barang yang unik, dan tak lama lagi akan diawetkan. Semoga museum berkenan menerimanya. Secara nyata, ia barang yang langka. Tapi tidak bisa diproduksi di pabrik-pabrik biasa. Hanya Allah yang berkuasa, dan dihancurkan oleh manusia. Senyuman itu titipan Allah, tapi kenapa senyumannya karena uang? Itulah manusia yang kerasan dalam ketersesatan. Woi salah jalan!!

Seorang guru ingin digugu, tapi sikapnya tak menentu. Seorang kyai ingin ditaati tapi ucapannya tidak layak diikuti. Seorang kakak ingin dihormati, ke adiknya tak menyayangi. Manusia tidak perlu diceramahi untuk jujur, hiasilah dirinya dengan kejujuran. Tidak perlu lagi minta dido’akan, sering-seringlah berdo’a untuk teman dan handai tolan. Kalau tidak mau dibohongi, jangan pernah membohongi. Suatu hari nanti, apa yang telah ditanam akan segera berbuah.

Kalau tidak sampai pada hakikat, kyai pun menjadi ahli hikmat. Syari’at pun segera dilipat. Tak ada shalat, tak ada zakat, cukup guru yang mewadahi infaq. Orang jujur ditampilkan, orang sakit dihadirkan, penguburan didekatkan, tetap sulit menggetarkan. Kalau Allah sudah mengunci, tak ada lagi hati nurani. Sekolah hanya unggul di status. Kehormatan hanya ada dalam panggilan. Dalam senyuman, luar dalam merasakan kebahagiaan.

* Tenaga Pengajar di Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah Universitas Mathla’ul Anwar Banten

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun