Mohon tunggu...
Sajid AbdillahAli
Sajid AbdillahAli Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sajid abdillah asal jasinga

Selanjutnya

Tutup

Bola

Pancasila dan tragedi kanjuruhan: Refleksi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan

17 Desember 2024   09:46 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:46 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyebut nama stadion terbesar di Malang Raya itu seketika meresap, membawa getir dalam hati. Sebuah panggung tragedi tak terduga. Memilukan, namun penuh pelajaran mendalam.

Pertandingan sepak bola, Arema FC v Persebaya, yang semestinya menjadi hiburan, malah berakhir dengan pilu. Sorak berganti isak. Tawa tenggelam dalam duka. Sebagai bagian dari mereka, duka ini terasa amat mendalam.

"Di tengah kesedihan, kita belajar merasakan kebahagiaan. Di dalam kehilangan, kita mengerti arti memiliki," kata filosof Schopenhauer.

Malam itu, bukan hanya soal kalah menang. Bukan soal rivalitas. Ini soal kemanusiaan yang tercabik. Jiwa-jiwa muda meregang. 135 nyawa melayang.

Tragedi ini memberi pelajaran bahwa kehidupan begitu rapuh, namun setiap detiknya berharga.

Kita semua, sebagai manusia, merasakan pilu ini. Sebagai warga Malang, tragedi ini seperti luka yang mencengkam hati. Setiap cerita, setiap wajah, setiap air mata mengajarkan kita tentang arti kehidupan.

Empati, kepedulian, dan kasih sayang menjadi cahaya dalam kegelapan ini. Seperti kata Albert Camus, "Di tengah musim dingin, saya menemukan invincible summer dalam diri saya." Ini adalah tentang menemukan kekuatan dan harapan di saat-saat tergelap.

Dari sudut Malang, echo tragedi Kanjuruhan terasa begitu nyata. Setiap sudut kota, setiap percakapan di warung kopi, setiap tatapan mata saling bertukar kesedihan dan pertanyaan: mengapa ini bisa terjadi?

Tragedi ini bukan hanya sebuah kejadian yang bisa kita lewatkan begitu saja. Ia menjadi refleksi kolektif bagi kita semua. Seperti kata filosof Spinoza, "Emosi yang ditekan tak pernah mati. Mereka kembali dengan kekuatan yang lebih besar."

Duka ini, jika tidak kita tangani dengan bijak, bisa membebani generasi berikutnya.

Sebagai manusia, kita diajak untuk tidak hanya berlarut dalam kesedihan, tetapi untuk bangkit. Bukan berarti melupakan, namun mengambil hikmah dan memperkuat tali persaudaraan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun