Pagi-pagi sekali, di sebuah SMK Negeri ternama di salah satu ibukota provinsi Kalimantan, di hari senin itu mereka yang seharusnya mengikuti upacara hari senin, tak menjalankan acara rutin itu kali ini karena ibu pertiwi tengah menangis, hujan turun dengan deras, membuat para siswa memiliki waktu luang selama satu jam yang mereka habiskan dengan cara mereka sendiri. Ada yang pergi ke kantin, ada yang mendekam di perpustakaan, juga ada yang bercanda tawa dengan teman mereka di dalam kelas.Â
Salah satunya adalah Malika, yang hanya diam menatap keluar jendela setelah melihat sekeliling, tak ada siapapun di kelas selain ia dan Wahyu, si kutu buku yang hanya diam, membaca buku sambil mendengarkan musik via headset. Tiba-tiba, telapak tangan seseorang menepuk punggungnya, cukup keras sampai Malika pun menatap tajam si empunya tangan " Sakit tao?! ". Ayu, si empunya tangan hanya tertawa dengan sedikit rasa bersalah " maaf, maaf... habisan elo ngelamun aja, mau kerasukan apa? ada apaan, sih? cerita dong sama kakak~ ".
Malika mencibir Ayu yang menyebut dirinya sendiri kakak, lalu tertawa " nggak usah ngarep aku bakal manggil kamu kakak, deh... kita kan cuma beda setahun 8 hari, masa manggil kakak? ". " nah, akhirnya senyum juga... ". Malika kembali tertawa mendengar ucapan sahabatnya, sudah 5 tahun mereka bersama sejak kelas 1 SMP sehingga di kelas 2 SMK ini, wajar jika Ayu sudah hapal mati gerak-gerik dirinya, seperti dirinya mengenal Ayu. Malika menceritakan apa yang membuatnya gundah di kamar Ayu yang rumahnya hanya 5 meter dari rumah Malika " hari minggu kemarin, aku nemenin ayahku ke tempat pamanku buat ngelayat, sepupuku, anak pamanku yang ke-4 meninggal karena komplikasi penyakit saluran pencernaan... ". " paman lo yang mana, nih? best? good? bad? or... ". " the worst!? " sahut Malika lantang. " Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un... terus terus? ".
Ayu tahu, kalau yang dimaksud Malika adalah paman Malika dari pihak Ayah, saudara Ayahnya yang memiliki hutang pada ibu Malika. Bagaimana Ayu bisa lupa? Saat mereka hendak masuk ke jenjang SMK, keluarga Malika tengah mengalami kesulitan keuangan. Hal ini pun baru diketahui oleh Ayu saat Malika datang ke rumahnya dengan kepala seperti siap meledak karena amarah. Malika bercerita padanya dengan penuh emosi, bahwa ibunya yang memiliki tabungan rahasia, uangnya diambil oleh ayahnya untuk dipinjamkan kepada paman mereka tanpa bilang pada ibu Malika. Alasan paman Malika saat itu adalah untuk membayar biaya rumah sakit anaknya, tapi dari ibu-ibu arisan langganan cathering usaha ibunya Malika, semuanya ketahuan. " yang bikin sakit hati, ternyata apa? paman itu pinjam uang bukan buat bayar biaya rumah sakit anaknya, tapi buat istrinya foya-foya!? " keluh Malika pada Ayu.
Sudah 7 tahun berlalu, dan saat ibu Malika menagih hutang pamannya agar bisa membayar biaya masuk sekolah Malika, ibu Malika malah dicaci maki habis-habisan oleh 'the worst' paman Malika, yang membuat Malika sakit hati pada pamannya sampai sekarang (wajar aja, kan?). " okay, Malika, sayang~ gue tahu, elo yang lengket banget sama ibumu, sayang banget sama ibumu, pasti marah kalau ibumu dicaci dengan kata-kata dari kebun binatang bahkan disumpahi setelah paman lo bilang ke ibu lo, itu bukan duit lo karena kakak gue yang punya, apa yang dimiliki kakak gue ya punya gue, buat apa gue balikin? sampai lebaran monyet juga nggak bakal gue balikin tu duit... kalau gue jadi elo, jangankan datengin orang itu meski itu buat ngelayat kematian anaknya, denger bokap gue minta gue buat nganterin ke rumahnya gue ogah, mah... males banget lihat mukanya, denger namanya aja ngacir duluan, ya kan? ".
Malika mengangguk dengan wajah cemberut " itu yang kurasakan saat malam minggu, moodku lagi happy setelah diajakin kak Zainal jalan keluar, pas pulang malah langsung down gara-gara dengar permintaan ayahku buat nganter ke rumah pamanku... okay, aku nggak ada dendam sama anaknya, aku justru kasihan sama anaknya, dia masih kecil, baru 9 tahun tapi sudah harus menghadap yang Maha Kuasa karena sakit... kalau bukan karena ibuku yang minta aku buat nemenin ayahku, amit-amit dah, masalahnya yang bisa bawa motor di rumah cuma aku dan ayahku nggak bisa pake motor matic ". Ayu menahan tawa, tak tahu apa yang harus ia katakan melihat wajah sahabatnya yang masih masam sampai sekarang. Setelah meminta Malika menghentikan ceritanya sebentar, Ayu turun ke bawah dan kembali bersama sebuah nampan berisi setoples kue macaron, setoples roti gandum dan  2 cangkir coklat panas, minuman yang pas untuk cuaca yang dingin di tengah hujan deras yang kembali mengguyur di luar rumah.
Ayu menyodorkan toples toples cemilan manis itu pada Malika " noh, makan yang manis-manis biar manis dikit, daripada muka lo cemberut mulu, asemnya kalo diukur mungkin pH sekian kali saking asamnya ". " asem lo " ujar Malika menyambar salah satu macaron rasa coklat, diiringi rasa terima kasih. " terus, elo bete gara-gara apa? ". Malika melanjutkan ceritanya, saat sampai di rumah pamannya, ia dan ayahnya menghadapi kejadian tak terduga. Paman Malika yang (kalau kata Malika 'the worst' itu) langsung minta maaf sambil menangis histeris dan berlutut di depan ayah Malika. " katanya anaknya meninggal karena terlambat ditangani dokter, orang itu sempat kebingungan karena nggak ada biaya, tapi akhirnya menantunya yang kerja di batu bara yang nalangin biaya rumah sakit anaknya ". " sudah jelas, paman lo kena karmanya sekarang, kan? masalah selesai, terus kenapa lo masih cemberut? ngerasa bersalah? ".
Malika mengacungkan tangannya " NO WAY!? Ayu sayang, yang salah memang pamanku dan dia sudah minta maaf, tapi dia minta maaf sama ayahku, yang harusnya nerima permintaan maaf atas perlakuannya siapa? ". " ibu lo " tunjuk Ayu sambil menyantap macaron strawberry. " nah pintar, itu tahu... bukannya aku ngerasa bersalah, atau apa, cuma... rasanya rumit dah, susah buat kujelaskan, perasaan ini... yang jelas, aku maunya ibuku yang nerima permintaan maaf itu, tapi kalau kupikir baik-baik pakai logika, ayahku memang pantas menerima permohonan maaf paman, soalnya meski uang itu milik ibuku hasil dari usahanya catheringan, tapi ayahku itu orangnya terlalu loyal pada keluarganya, saking baiknya sama keluarganya sampai dimanfaatkan, nggak cuma sekali dua kali... ayah yang seperti itu, membuatku tak bisa membencinya meski perlakuannya pada ibu dan anak-anaknya dibandingkan perlakuannya pada keluarganya yang tak adil, karena seorang ayah tetaplah seorang ayah...".
Ayu memegang wajah Malika, setelah menepuk pipi Malika keras-keras, Ayu menyundul kepala Malika " sudah keluar semua keluhan lo? ". Setelah Malika mengangguk, Ayu duduk bersila di depan Malika sambil memegang bahu Malika " okay, sekarang... dengerin gue baik-baik... lo itu ya, kebanyakan mikir seperti biasa... okay, yang pantas menerima maaf adalah ibumu, karena memang ibumu yang mendapat perlakuan itu, TAPI!? yang namanya suami istri itu, ibarat sebuah koin, mereka saling melengkapi, menutupi kekurangan masing-masing... jadi kita anggap aja paman lo udah minta maaf ke ibu lo lewat ayah lo sebagai perantara, karena nggak mungkin kan, ayah lo nggak cerita sama ibu lo? kita sebagai anak, dalam masalah ini cuma bisa diam dan ngelihat gimana para orang tua kita nyelesaiin masalah di antara mereka, meski masalah ini menggantung sampai beberapa tahun, kan? ".
Awal mula masalahnya memang bermula sejak 8 tahun yang lalu, setelah masalah peminjaman uang tanpa konfirmasi pada ibu Malika, tentu saja ibu dan ayah Malika bertengkar hebat, bukan hanya karena jumlah uang yang cukup besar (sepuluh juta bos!?) tapi juga karena ibu Malika merasa sakit hati dengan perlakuan ayah Malika yang seolah tak percaya pada ibu Malika. Masalah ini baru diketahui oleh Malika saat mereka mudik ke kampung halaman, ibu Malika yang memang dianggap buruk di mata keluarga ayahnya, kembali dijatuhkan karena dianggap 'kikir' setelah bibi Malika, istri dari 'the worst' paman Malika  yang menyebarkan masalah pinjam uang itu dengan bumbu penyedap. Jika Malika ingat bagaimana ibunya sampai menangis diam-diam di kamarnya tanpa bisa memberikan perlawanan, Malika mengukir betapa ketidakadilan yang dirasakan ibunya harus ia mintai balasannya pada Allah di setiap lantunan doa Malika.
Melihat sahabatnya menangis tanpa suara, Ayu menghela napas dan memeluk Malika " udah, lo udah sering cerita soal gimana beratnya perlakuan yang harus diterima ibumu. Tapi ingat, kesabaran ibumu pasti berbuah, kalau Allah nggak ngasih balasannya di dunia, ntar di akhirat... lagipula, ingat, KARMA PASTI BERLAKU... gue malah lebih khawatir sama elo, lo mungkin nggak nyadar, tapi lo tuh mirip banget, pinang dibelah dua ama tante, luar dalam sama aja kaya ibu lo... kalau lo jatuh ke tangan laki-laki yang nggak bener, gue nggak rela?! ". Malika spontan tertawa mendengar celotehan sahabatnya dan menyapu air matanya " yee, emangnya elo orang tua gue yang ngasih restu? ". " aku kan kakakmu~, lupa? " ujar Ayu. " iya, kakak bergolongan darah AB, lo selalu bijaksana meski rada aneh " ujar Malika memeluk Ayu. " lah, daripada elo? adikku sayang yang bergolongan darah A, dijahatin sama orang diem aja, nggak mau ngelawan balik, kalau gue jadi elo, gue bakal bales dengan cara yang kejam dan brilian, karena balas dendam itu harus dengan indah " ujar Ayu tertawa dengan nada yang mengerikan. " oi oi, katanya nggak boleh balas dendam, gimana, sih!? ". Ayu berbalik dan menyentil dahi Malika " udah, ya... masalah keluarga lo, stop dulu mikirnya sampai disini, mulai malam ini isi otak lo sama pelajaran kita karena minggu depan kita ujian kenaikan kelas, okay? ". Malika tersenyum dan menyambut toss dari Ayu " okay!? ".