Mohon tunggu...
Saifun Arif Kojeh
Saifun Arif Kojeh Mohon Tunggu... -

Saifun Arif Kojeh adalah nama pena dari Raden Sarifudin, lahir di Durian Sebatang, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 8 Desember 1977. Anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Raden Koman Sahar dan ibunya bernama Utin Jetiah Bujang Saheran menyenangi membaca, menulis, dan berjalan ke tempat-tempat yang unik dan menarik. Dia mengawali pendidikannya di SDN 20 Durian Sebatang yang sekarang berganti nama menjadi SDN 09 Durian Sebatang (1991). Tamat dari SMPN 2 Simpang Hilir sekarang berganti nama menjadi SMPN 1 Seponti (1994), dia melanjutkan sekolahnya di SMAN 2 Pontianak (1997) dan meraih gelar Sarjana Pendidikan di FKIP Universitas Tanjung Pura (Juni 2001). Pada tahun 2009, dia menikahi seorang gadis asal Balai Berkuak yang bernama Setevani dan saat ini dikarunia seorang anak, Ayatul Husna (18 Juni 2010). Dia senang menulis karya sastra sejak masih Sekolah Menengah Umum kelas tiga sampai sekarang. Karyanya berupa puisi, cerpen, cerber, novel mini, novel, Diari Seorang Penulis, Prosa Kehidupan, Prosa Mimpi, Cerita rakyat, bahkan kini merambah menulis artikel populer di berbagai media massa. Dalam dunia kepenulisan dia mempunyai semboyan: “Suatu coretan kreatif sependek apapun dalam menuangkan impresi atau ekspresi jiwa akan melahirkan keindahan rasa yang terasa bagi orang yang merasa.” Cerpennya bertajuk Mutiara dalam Lumpur jadi Juara III dalam penulisan cerpen Islami yang diadakan Forpi-Al Ikhwan (sekarang At-Tarbawi) FKIP Untan. Cerpennya dipublikasikan di Ketapang Pers, Majalah Umum Tanjungpura Post, Pontianak Post, Pelita, cybersastra.net, Warta Lipan, Barometer, Ketapang Pers, Equator, Borneo Tribune, Bela, fordisastra.com, esastera.com, sanggarkiprah.blogspot.com, Andyady.multiply.com, dapunta.com, cerpen.net. Cerpennya juga masuk nominasi Hadiah HESCOM 2008 dan cerpen “Kempunan” memenangkan Hadiah HESCOM 2009 kategori ACAS (Anugerah Cerpenis Alam Siber, sebesar RM 200). Cerpen tunggalnya adalah Kembalinya Tarian Sang Waktu (Literer Khatulistiwa, Januari 2010) Lalu puisinya dipublikasikan di Jurnal Edukatif, Majalah Selasar, Pontianak Post, Kapuas Post, Tanjungpura Post, Ketapang Pers, Equator, cybersastra.net, kampung.8m.net, Borneo Tribune, fordisastra.com, esastera.com, sanggarkiprah.blogspot.com, blogscope.com, mywritingblogs.com, puitika.net, Minggu Pagi Yogyakarta, dapunta.com serta antologi bersama Bianglala terbitan BKK Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak edisi 2001, Antologi Ketika Penyair Bercinta berupa e-book disiarkan di evolitera.com, Antologi Kun Payakun Cinta (Puisi Reliji Lintas Negara) berupa e-book disiarkan di evolitera.com. Puisinya juga masuk nominasi Hadiah HESCOM 2008. Puisi tunggalnya adalah Tafakur Cinta (Pijar Publishing, 2006), Sembahyang Puisi.Menerjemahkan Rindu (Literer Khatulistiwa, Januari 2010). Artikelnya dipublikasikan di Majalah Pelita, Tanjungpura Post, Borneo Tribune, Equator. Cerita rakyat dipublikasikan di Borneo Tribune dan dapunta.com. Naskah teater yang sudah ditulisnya adalah Siluet Biru, Titik Merah, Monolog Merah Putih, Pentingnya Pendidikan, Putri Dipanah Rembulan, Selembut Kasih Ibu, Kawin atau Pendidikan, dan Kemuliaan Kasih Ibu. Kalau ingin melihat lebih jelas lagi hasil karya sastra dan tulisannya bisa dilihat di weblognya: msaifunsalakim.blogspot.com dan kemuliaancintasakim.blogspot.com Selain berproses kreatif, dia juga menjadi juri dalam berbagai kegiatan sastra, seperti puisi, berbalas pantun, dan lain-lain. Kegiatan yang pernah diikutinya adalah Pertemuan Mahasiswa Sastra Tingkat Nasional di Pontianak (1999) dan di Yogyakarta (2000). Pernah diundang untuk mengikuti Lokakarya Apresiasi Sastra Daerah di Cipayung, Bandung yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Nasional dengan pembicaranya dari Dinas Pendidikan Nasional dan Sastrawan Horison (Agustus, 2006) dan di Cipayung, Bogor, Jawa Barat (Desember, 2007). Diundang sebagai peserta Mastera Cerpen di Bogor (28 Juli – 2 Agustus, 2008). Penulis juga anggota IPSKH (Ikatan Pencinta Sastra Kota Hantu), mantan Ketua Sanggar KIPRAH FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak (1999-2000). Kini penulis aktif melatih anak didiknya menulis puisi, prosa, cerpen, dan teater. Dia juga menjabat sebagai Ketua SAKENI (SAnggar KEpenulisan dan seNI) dan Kompenkat (Kelompok Penulis Berbakat). Alumnus SMA Negeri 2 Pontianak dan FKIP Untan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah ini sekarang mengabdikan dirinya sebagai guru di SMA Negeri 1 Simpang Hilir, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat. Kontak person: Jalan Atot Ahmad Nomor 05, Perumnas 2, Pontianak Barat 78113. Nomor HP:085252411358

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bercinta dengan Laut

10 Januari 2012   06:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:05 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subuh baru saja usai di ranting waktu. Deritan senyumannya mendorong tanganku melipat sajadah yang bergambar masjid dan berwarna coklat. Sajadah yang kugunakan dalam salat subuh barusan. Sajadah itu kuletakkan di meja belajar dengan penuh kerapian. Seterusnya kutinggalkan kebisuan kamar. Tak ingin sedetik pun tertinggal untuk menikmati lautan.

Derap langkahku yang kasar terbaca oleh ibu. Sama. Ibu juga sudah selesai melaksanakan salat subuh. Agar tidak kepergok oleh ibu, kutambah kecepatan langkahku.

Aku tak ingin ibu bertanya macam-macam. Mengapa subuh ini aku keluar? Apa yang kucari di subuh ini? Mengapa aku tidak membantunya bekerja di dapur? Membantunya menyiapkan peralatan untuk membuat kue yang akan dititipkan di kantin Ibu Makrifah. Menambah penghasilan setiap harinya. Tak ingin.... capek aku menjawabnya. Nantinya....

Aku juga heran pada diriku sendiri. Mengapa subuh ini aku bersemangat untuk pergi ke lautan. Ingin melihatnya. Ingin memandangnya. Seakan jiwaku dituntun oleh kekuatan tak terlihat. Kekuatan apa ya? Kekuatan siluman atau kekuatan malaikat? Sepertinya aku ceria saja menuju ke sana. Seakan tidak ada beban penderitaan yang kubawa. Seakan-akan aku juga akan mendapati kekasihku yang lama kunantikan dalam seribu kerinduan. Kerinduan untuk menyatukan perasaan yang sudah lama membeku biar mencair lagi.

Subuh ini. Sungguh. Aku tak pernah bisa memahami maknanya. Aku diikat rasa indah mendalam. Dengan menyaksikan riak air lautan yang tenang tak beriak. Riak air lautan yang mendayung bahteranya dengan damai ke pantai. Memerciknya pelan-pelan. Seperti jatuhnya butiran embun di dedaunan hijau pagi hari. Dia membongkar muatannya berupa kedamaian dan kesegaran yang meruakkan jiwaku ke langit kayangan. Aku semakin terhanyut dibuai perasaan damai. Apalagi senandung angin bernyanyi dengan merdunya. Mengajakku untuk bernyanyi. Aku mengikutinya tanpa protes apapun. Tanpa aku ketahui bahwa waktu terus saja dimakan peredarannya. Sehingga ia mulai pamit diri. Dia ingin beristirahat sebentar di peraduannya. Melemaskan sendi-sendi tubuhnya yang pegal linu biar pulih kembali seperti semula.

Aku merasa kecewa. Sungguh kecewa. Karena terlalu singkat subuh indah ini berlalu dari kenanganku. Coba saja tiap daur waktu yang ada selalu menampilkan subuh indah begini dengan suasana panorama lautan juga seperti ini. Sudah dipastikan aku tak akan kemana-mana. Aku akan terus berdiam diri di sini. Berkeluarga. Beranak pinak.

Padahal sebenarnya sebelum aku berjumpa panorama lautan yang begitu indah di subuh ini. Aku paling membencinya. Aku paling alergi dengannya. Aku mual dan muak setiap kali teman-temanku menceritakan keindahannya. Karena pemikiranku waktu itu bahwa lautan tak pernah memberi kenikmatan apa-apa padaku. Lebih enaknya aku menikmati daratan dan menaklukan keperkasaannya yang selalu menantang adrenalinku. Menggelutinya. Sampai daratan menyatakan menyerah setelah kutaklukan. Karena aku lebih perkasa darinya.

Kalau teman-temanku ingin mengajakku rekreasi laut atau rekreasi untuk menikmati keindahan pantai, aku selalu menolaknya secara tegas. Aku sungguh membencinya. Sampai mati pun aku tak akan sudi menikmatinya.

Mengapa aku terlalu membencinya?

Mungkin jawaban yang dapat kuberikan adalah lautan bagiku begitu angkuh dengan keluasannya. Lautan terlalu rakus dengan kedalamannya. Lautan terlalu beringas dengan kekuasaannya. Secara otoriter memaksa manusia untuk mengidolakannya. Pokoknya lautan begitu terlalu....

Teman-temanku hanya mengurut dadanya dan memberikan aku sebuah gelar, manusia abnormal. Antipati pada keindahan lautan yang lebih yahut daripada daratan.

Aku akan marah kalau mereka berani membandingkan keindahan lautan dengan keindahan daratan. Apalagi menjelek-jelekkan daratan yang selalu kupuja-puja seperti pangeran yang selalu memuja-muja putri nirwana.

Teman-temanku memintaku berpikiran bijak. Jangan terlalu fanatik buta. Dengan hanya mengidolakan keindahan daratan. Teman-temanku memberikan argumennya bahwa keindahan di dunia ini terdiri dari dua keindahan, yaitu keindahan lautan dan keindahan daratan. Dua keindahan itu selalu berjalan beriringan tapi tak pernah bertemu. Kapan ya dua keindahan itu akan bertemu?

Karena tak bisa meruntuhkan keteguhan imanku yang selalu setia memegang prinsipku yang hanya mengidolakan keindahan daratan. Akhirnya, teman-temanku menambahkan satu gelar lagi buatku adalah manusia mati suri. Badanku yang sebelahnya mati. Badanku yang sebelahnya lagi hidup. Seharusnya, dua badan itu selalu hidup dan terus hidup. Itu baru dikatakan normal atau wajar. Aku tak pernah mau peduli dengan gelar baru yang mereka tambahkan padaku. Karena hanya aku yang mengetahui badanku sendiri. Aku tetap manusia normal. Pedulikah dengan gelar semacam itu.

***

Aku selalu memperhatikannya. Dua minggu ini. Pemuda setia yang setiap subuh selalu duduk antik di batu dengan tenangnya. Dengan sejuknya batu yang didudukinya memberikan kehangatan pada suasana hatinya menjadi bertambah damai. Dia selalu memperhatikan keadaanku. Tak jemu-jemunya. Tak bosan-bosannya. Saat menatapnya seperti inilah membuat hatiku berdebar-debar. Ada gemuruh rindu di dada kalau sekali saja tak melihat pemuda itu. Ada getar asing bercokol di perasaan kalau setiap saat memandangnya. Membawakan imajinasiku ingin selalu bersamanya. Menyatu dengannya, bila perlu. Mungkinkah yang kualami ini yang dinamakan orang dengan jatuh cinta pada pandangan pertama... entahlah, aku tak bisa menerka sejauh itu. Apakah aku betul-betul jatuh cinta atau tidak? Yang terpenting suasana perasaan seperti ini selalu kunikmati.

Semakin sering aku menikmati suasana perasaan seperti itu. Semakin aku dihantam perasaan ganjil yang setiap saat menghantuiku. Membayang-bayangi hidupku. Betulkah pemuda itu bayangan hidupku untuk masa depan?

Ah... aku selalu membayangkan wajahnya yang begitu senangnya melihat penampilanku. Setianya dia menatapku setiap subuh berlalu. Sehinggga mengeraskan perasaan ganjil yang semakin kuat memberontak dari dalam tubuhku. Menyuruhku untuk menjumpainya. Tapi aku masih berusaha untuk meredamnya. Agar aku tak menjumpainya. Akan naif sekali kalau aku menjumpainya. Murahan.

Seberapa lama aku akan mampu membendung perasaan ganjil ini? Setiap detik. Setiap menit. Setiap jam. Perasaan ganjil yang terus merajam-rajam tubuhku habis-habisan. Agar aku menjumpainya dan menghilangkan kenaifan itu.

Hingga akhirnya aku tak mampu membendung lagi serbuan perasaan ganjil itu yang begitu gencarnya dan bertubi-tubinya menghantam kekokohan hatiku. Membuat dinding pertahanan hatiku jebol dihancurkannya. Serpihan-serpihannya berserakan dan berkeping-keping terhampar sepanjang aliran darahku. Menimbulkan sebuah keberanian padaku untuk mendatanginya. Menyapanya dan ingin bersenda gurau setiap saat untuk menghabiskan masa yang terus bergulir menurut perputaran nasibnya.

Aku berjalan anggun menuju ke arahnya. Aku menebarkan pesona yang kumiliki. Aku mendekati dia yang masih setia duduk tenang dan manis di sebuah batu datar di subuh ini. Riakku yang berirama menembangkan nyanyian suling anak gembala. Mendayu-dayu menusuk kalbu. Agar orang-orang dapat iIkut terbawa alunan suka kepadaku. Pakaianku yang sederhana berwarna hijau berlumut kukibarkan sepanjang-panjangnya. Agar dia dapat melihatku secepatnya. Mataku yang biru seperti mata orang barat, kupamerkan padanya. Agar dia bisa melihat dengan jelas dari mataku bahwa saat ini aku sangat senang. Sehelai selendang melingkari leher jenjangku. Kubentangkan luas sepanjang aliran pantai. Aku akan mengenalkan namaku padanya yangpertama kalinya sebelum dia menanyakannya.

Namaku Ami yang diikuti panggilan kekerabatan Tsuna. Kalau digabungkan namaku menjadi Tsunami. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua orang tuaku tak kuketahui siapa mereka. Karena saat aku muncul ke dunia, aku sudah tak pernah melihat mereka. Kami hanya diasuh samudera hijau sampai tumbuh dewasa seperti ini. Aku memiliki dua kakak lagi.

Kakakku yang pertama atau tertua namanya Longnami. Orangnya penyabar dan berpembawaan tenang. Dialah yang sering menjadi kepala keluarga dari kami bertiga. Dia jarang memunculkan dirinya ke permukaan bumi. Sebab dia lebih suka menyucikan dirinya. Dia lebih menyenangi dunia spiritual. Karena dia ingin jadi katarsis. Kalis dan suci tak beralis. Bersih dari noda dan dosa. Dia ingin dengan dunianya itu, dia dapat mencapai kebahagiaan hidup sejati. Kebahagiaan hidup sejati yang selalu damai dan penuh kesejahteraan. Tak ada percekcokan. Semua berjalan sesuai dengan kodratnya.

Kakakku yang kedua, Ngahnami namanya. Dia lain dengan kakakku yang pertama. Kakakku yang kedua ini lebih suka berdakwah dan mengajak orang-orang untuk menuju jalan kebenaran dan kebaikan melalui fatwa yang diberikannya. Dia pintar berdakwah. Sehingga pengikutnya banyak sekali. Lumut, karang, terumbu, ikan, kepiting, dan hewan laut yang sejenisnya adalah pengikut setianya. Pengikut setianya yang selalu tak bosan-bosan mendengarkan dakwah dan fatwanya. Walaupun ada juga yang tak mengindahkannya. Itu biasa.

Mereka tetap asyik saja mendengarkan fatwa kakakku. Katanya suara kakakku sungguh sejuk mengalir dalam jiwa. Mendamaikan perasaan yang ada. Sehingga pengikutnya begitu akrab menjalin persahabatan dan persatuan antarsesama mereka. Damai. Tenang. Tak lupa mereka beramai-ramai mengucapkan syukur pada Yang Maha Kuasa.

Hanya aku saja yang bergerak bebas. Bebas bergerak kemana-mana. Sesuka hatiku. Karena aku tidak mau terikat seperti kedua kakakku oleh aturan keinginan mereka. Karena sejujurnya, aku memang suka bebas. Selain bebas, aku orangnya pemanas. Jujur saja itu kukatakan pada kalian. Agar kalian bisa mempertimbangkannya. Jangan sampai membuat aku sampai manas. Jangan sampai membuat aku terusik. Karena kalau aku sudah terusik dan manas. Semua orang akan kulabrak. Kutendang. Kuterajang. Kutinju. Bahkan kubonyokan biar jadi tapai sekalian. Walaupun orang itu besar atau kecil, aku tak peduli. Aku akan puas kalau dia sudah kumatikan. Lemas napasnya.

Sejak memandang pemuda yang begitu sabar, telaten, dan bersahaja itu, aku jadi banyak merenung. Seakan-akan magnet matanya menyuruh aku melakukan perenungan. Padahal alam perenungan adalah hal yang paling kubenci. Mengapa aku harus melakukannya? Kenapa aku tertarik untuk melakukan perenungan itu? Apakah urat takutku sudah putus? Entahlah aku tak bisa menjawabnya. Yang kutahu pandangan pemuda itulah yang telah memotivasiku untuk melakukan perenungan. Aku mulai memahami bahwa dalam kehidupan juga diperlukan kesabaran untuk memuluskan jalan dalam menjalaninya. Ketelatenan harus juga ada. Kebersahajaan juga harus dimiliki. Tak lupa, aku juga memikirkannya. Sungguh sabar, telaten, dan bersahajanya pemuda itu duduk manis di atas batu memperhatikanku. Sebenarnya mengapa pemuda itu selalu sendirian? Apakah yang dicarinya di sini? Apakah yang diinginkannya dariku? Mengapa pemuda itu selalu ceria setiap memandangku? Mungkinkah pemuda itu betul-betul mencari dan ingin memiliku? Ah… hingga…

Pemuda kesepian, aku siap menjadi teman sepimu dan mungkin lebih jauh lagi aku siap menjadi kekasih hatimu.

***

Aku tersentak dari keceriaanku. Karena, ada seorang bidadari mendatangiku. Mengapa kukatakan bidadari? Karena kecantikannya setara dengan bidadari walau gambaran bidadari hanya kudapatkan dari membaca buku. Aku seketika ingin berlari atau menjauh darinya. Bila perlu aku menghilang seketika dengan jurus sulap sim salabim. Tapi ternyata itu tak sanggup aku lakukan. Kakiku tak mau beranjak dari dudukku yang rapi. Mungkin dia telah memberikan lem pada seluruh tubuhku sehingga aku tak bisa bergerak. Aku hanya bisa menatapnya saja. Bidadari itu terus mendekat. Aku semakin gemetar. Gemetar yang menggigilkan seluruh tubuhku. Bukan karena demam tetapi lebih banyak disebabkan keterkejutanku dapat bertemu seorang bidadari dalam wujud yang nyata, bukan dalam dunia angan-angan. Bidadari itu sudah tepat di depan mataku. Dia mulai menyapaku.

“Jangan takut. Aku bukan hantu.” Suaranya merdu mengalun. Menepis keraguan dalam hatiku kalau dia bukan jelmaan hantu. Memupus kegemetaranku.

“Kalau kamu bukan hantu, lantas kamu siapa?” tanyaku masih tergeragap.

Kesadaranku mulai pulih. Walaupun sudah sadar, aku bicara masih saja terbata-bata. Maklum baru kali ini aku menjumpai gadis seperti bidadari. Pendaran keringat tubuhku turun ke pasir. Meniris pelan-pelan seperti tetesan hujan melumat air. Keringatku hilang tak berbekas di telan pasir pantai.

Bidadari itu tersenyum. Senyumannya indah, membuat aku terpesona. Sebab aku melihat lengkungan pelangi yang muncul dari dalam bola matanya. Indah menawan.

“Aku, Tsunami,” katanya mengenalkan namanya. Tanpa kaku. Lancar saja dia bicara. Penuh keramahan.

Semulanya aku tak ingin mengenalkan namaku. Tapi hatiku menyuruhku agar segera mengenalkan namaku juga. Akhirnya bibirku tak bisa diajak kompromi lagi. Secara refleks bibirku mengenalkan namaku.

“Tirta.”

Selanjutnya keakraban terjalin. Keramahtamahan menyatukan kami. Aku merasa damai di sampingnya. Kedamaian yang alamiah.

Setiap subuh aku sering menemuinya. Menghabiskan sari hidup dengannya. Mereguk kedamaian lewat kesenangan yang dipampangkannya. Di atas bening-bening bulir tubuhnya yang mulus, tak ada cela sedikit pun. Di genggaman erat cintanya yang hangat dan mesra. Selalu diberikannya padaku. Seakan tak pernah habis-habisnya. Menghadirkan surga dalam hatiku saat ini. Penuh gumpalan kenikmatan yang tak akan pudar untuk selama-lamanya. Tanpa aku memahaminya bahwa aku telah mendalam melakukan percintaan dengannya. Berulang-ulang kali setiap subuh yang kulalui. Tak pernah bosan-bosannya. Dengan pasir dan pantai jadi saksinya dan pengawal pribadi kami. Menjaga kami setiap saat dari gangguan-gangguan yang dilancarkan oleh orang-orang yang iri dengan kebahagiaan kami.

***

“Tirta, mengapa kamu selalu menghindar dariku? Padahalkan kamu telah berjanji akan menjagaku selamanya. Sekarang mana janjimu itu?” depak Virna.

Virna adalah orang yang pernah menciptakan pelangi dalam hatiku. Orang yang sering menghiasi jantungku dengan senjanya yang alamiah dan indah. Orang yang pernah menjadikan sanubariku sebuah taman bunga beraneka warna. Yang bunga-bunga tersebut tak pernah layu dan terus memekar sepanjang masa yang selalu menebarkan keharuman. Orang yang pernah membuat aku merasakan betul-betul menjadi manusia. Orang yang mampu membuatku bahagia. Hal itu terjadi saat aku belum mengenal Tsunami. Kini hal itu tak ada lagi. Hilang tak berbekas. Sirna entah kemana. Yang ada hanyalah Tsunami. Wajar saja Virna menagih janjinya. Karena gelagatku telah menunjukkan perubahan yang signifikan, tak mau berdekatan dengan Virna. Membuat Virna harus bersikap tegas dalam meminta ketegasanku.

“Virna, janji itu sudah tak ada lagi dalam hatiku. Janji itu telah kubuang jauh-jauh. Sekarang janji itu sudah kukikis bersih dalam hatiku bahkan dalam memori otakku. Untuk itulah, aku tak bisa memberikan janji itu. Karena janji itu sudah tak ada lagi dalam diriku. Sekarang pun aku ingin berterus padamu bahwa aku tak bisa melanjutkan hubungan kita. Jadi maafkan aku, Vir,” tandasku.

Virna kaget. Dia tak menyangka bahwa aku bisa berbicara semacam itu.

Di manakah kasih sayangnya selama ini padaku? Betulkah cintanya sudah pupus seperti apa yang telah diucapkannya. Betulkah dia menyirna dalam jiwaku. Pengaruh apa yang telah mampu menghilangkan rasa cintanya padaku? Aku menatap matanya mencari kebenaran itu. Karena aku tahu dari ibuku bahwa indera mata jarang berbohong. Walaupun berbohong, hal itu dilakukan mata karena terpaksa.

“Apa maksud ucapanmu barusan. Bagaimana dengan cinta kita, Tirta?”

“Vir, aku tak bisa lagi mendampingimu. Aku tak bisa lagi sebagai teman seperjalananmu untuk merengkuh bahagia. Sebab jujur kukatakan padamu. Aku berubah saat ini karena aku sudah menemukan orang yang betul klop denganku. Dia adalah orang yang telah merubah aku seperti ini. Tapi aku senang. Karena dalam penampilan dan gayaku sekarang, aku merasa manusia yang betul-betul menikmati kehidupan. Aku betul-betul manusia yang mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan yang tiada terkirakan. Vir, maafkanku. Hubungan cinta kita berakhir cukup sampai di sini.”

“Semudah itukah kamu melupakanku. Orang yang banyak menorehkan kenangan manis padamu. Orang yang banyak membantumu hingga dapat menikmati manisnya kehidupan, dulunya.”

“Ya. Sebab aku sudah tak punya cinta lagi dengamu. Mengapa musti aku paksakan. Dulu memang cinta itu terus tumbuh dalam hatiku. Tapi sekarang cinta itu bukannya tumbuh malahan semakin mekar dalam diriku. Tapi cinta itu bukan untukmu, melainkan untuk orang yang kucintai saat ini. Yang muncul saat subuh menjelang. Aku doakan kamu mendapatkan orang yang lebih baik dariku,” kata Tirta melangkah menjauh dari Virna. Langkahnya dimulai dari santai kemudian melaju. Virna berusaha mencegat langkah itu.

“Tirta……..”

“Maaf Vir, aku harus pergi…” Makin laju dia meninggalkan Virna.

“Tirta, kamu kejam. Munafik. Bangsat. Aku tak menyangka kamu bisa berbuat sekejam ini padaku,” Virna mengguguk. Hujan badai dari matanya mulai menjelas membentuk butiran bening yang tumpah ruah. Membanjiri halaman tempat dia terguguk dan terduduk lemas.

Dia tak menyangka begini akhir percintaannya dengan Tirta. Tirta yang dulunya dikenal santun. Selalu dikhayalkannya. Menjadi penjaga hatinya. Pemberi cahaya penerangan dalam kegelapannya. Tapi ternyata… semuanya amblas dimakan waktu. Keropos.

***

“Bapak-bapak lepaskanlah aku. Izinkanlah aku menemuinya. Perkenankanlah aku untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang kulakukan padanya. Agar dia tak berpikiran yang bukan-bukan terhadapku dan akan berimbas kepada kalian. Perkenankanlah aku menemuinya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku yang telah menghamilinya.”

“Tidak bisa. Kamu harus dihukum pasung. Karena kamu telah melanggar pantangan desa.”

“Jangan bapak-bapak. Aku jangan dipasung. Bu, tolonglah anakmu ini. Berikanlah pengertian pada mereka bahwa perbuatan yang mereka lakukan padaku adalah salah. Bu, bantulah aku dengan sekuat tenaga dan daya upayamu,” pinta Tirta pada ibunya.

Ibunya yang selalu bijak dalam menangani segala persoalan. Bisakah saat ini ibunya masih bertindak bijak? Setelah mengetahui anaknya telah melakukan perbuatan besar yang telah mendatangkan bencana atau malapetaka bagi seluruh masyarakat desa juga termasuk dirinya.

Tirta kelihatannya meronta-ronta. Dia berusaha melepaskan cekalan warga desa yang akan memasungnya. Ibunya tak bergeming sedikit pun. Seakan ibunya sangat marah padanya. Sesekali kening ibunya berkerenyat-kerenyit. Sepertinya dia melawan amarahnya. Akhirnya pertimbangan bijaknya kabur berganti kemarahannya yang mencapai puncaknya.

“Anak keparat! Sialan! Mengapa kamu selalu tak mengindahkan nasihat ibu. Bahwa ibu sudah melarangmu jangan melihat lautan di saat subuh hari. Itu adalah pantangan desa. Sampai sekarang tidak ada yang melanggarnya. Kamu saja yang keras kepala. Karena kalau dilanggar maka akan datang malapetaka dari laut yang akan menimpa seluruh penduduk desa. Gara-gara perbuatanmu seluruh masyarakat desa mendapatkan imbasnya. Perbuatanmu dinilai sudah kelewat batas dan terlalu besar untuk dimaafkan. Untuk itu, ibu tak bisa memaafkan kesalahanmu. Mulai detik ini juga ibu berkata bahwa kamu bukan anakku lagi. Kamu adalah anak pembawa sial. Pembuat malapetaka. Pasunglah dia. Buatlah dia menderita untuk penebus kesalahannya. Bawalah dia menjauh dariku. Aku tak sudi lagi melihat wajahnya,” perintah ibuku.

“Ibu….. Ibu …...” gapai tanganku memanggil ibuku dari gelandangan penduduk desa menuju pemasungan.

***

“Tolong…. Tolong…… Ada Tsunami,” pekik penduduk Desa Laut yang berusaha menyelamatkan diri ke Desa Darat. Dari anak kecil sampai yang tua meneriakkan kata-kata itu. Mereka terus berlari mencari tempat selamat dari amukan Tsunami. Tsunami tak peduli dengan semua itu. Tujuannya hanyalah ingin menemukan Tirta. Tirta yang telah mengkhianati cintanya. Tirta yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah menghamilinya. Tsunami terus berteriak marah.

“Mana Tirta? Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”

Penduduk Desa Laut mana ada yang bisa memahami apa yang diucapkannya. Terdengar oleh mereka, hanyalah dengusan suara hidungnya yang bergemuruh garang. Penduduk Desa Laut terus menjerit histeris. Kegaduhan menjadi-jadi dan ramai. Jeritan dan tangisan kecil maupun besar bercampur aduk ketika tubuh mereka ditinju dan diterjang oleh Tsunami. Terlempar jauh. Bahkan ada yang mati seketika. Karena tenaga yang digunakan Tsunami melebihi dari yang standar. Tenaga yang dikeluarkan Tsunami, yaitu 79,4 skala richter. Suatu nilai kekuatan tenaga tubuh yang begitu besar.

Pekikan penduduk Desa Laut tak henti-hentinya. Kebisingan menderu-deru. Berbunyi nyaring senyaring drum kosong yang dipukul dengan besi. Jalanan membanjir.

Tsunami terus menghajar siapa saja yang berani menghalangi langkahnya. Tsunami tak peduli. Beribu-ribu bahkan berjutaan penduduk desa terkapar karena ulahnya. Dia terus saja berjalan gagahnya menuju Desa Darat. Dia harus cepat menemukan Tirta. Biar cepat dia membuat perhitungan dengan Tirta.

Walau melakukan perjalanan yang cukup jauh. Berkilo-kilo meter bahkan beratus-ratus kilometer, dia tak peduli. Dia tak merasa letih. Terpenting dia harus dapat menemukan Tirta. Harus.

Sebelum Tsunami datang, penduduk Desa Darat yang memasung Tirta telah kabur duluan. Mereka takut dilibas tak berdaya oleh Tsunami. Tsunami pun menemukan Tirta yang dipasung oleh warga Desa Darat. Dia berhenti sejenak menatap Tirta.

“Tsunami, aku senang kamu yang datang,” kata Tirta gembira. Tirta menemukan lagi keceriaannya yang hampir punah. Tirta telah berjumpa lagi dengan kekasihnya. Tirta berharap kekasihnya Tsunami bisa melepaskannya dari pasungan. Tsunami belum bergeming sedikit pun. Tirta mulai menegur kekasihnya.

“Tsunami, lepaskanlah kekasihmu dari pasungan ini. Lepaskanlah kekasihmu dari derita ini. Tsunami, aku merindukanmu. Aku akan bertanggung jawab atas kehamilan itu. Aku akan mengawinimu. Tapi lepaskanlah aku dulu!”

Tsunami masih belum beranjak. Dia masih berpikir.

“Tsunami kekasihku, cepatlah! Aku sudah tak tahan lagi menangung derita pasungan ini. Lepaskanlah secepatnya aku dari derita ini.”

Tsunami mulai mengambil keputusan. Matanya garang menatap Tirta. Giginya bergemeletukan. Rahangnya mengembung. Kepalanya berasap putih yang keluar menuju langit putih di atas sana. Dia pun berkata dengan lantangnya.

“Baiklah, Tirta. Aku akan melepaskan deritamu untuk selama-lamanya. Karena kamu tak pantas lagi menjadi kekasihku. Aku sudah kepalang tanggung terluka olehmu. Lukanya sangat pedih. Biarlah benih hasil cinta dan kasih sayang kita, aku yang menjaganya. Tirta keparat, bersiaplah kamu kulepaskan dari derita ini untuk selama-lamanya.”

Tersentak Tirta mendengar suara Tsunami yang lantang dan garang. Karena belum pernah dia melihat Tsunami semarah ini, sebelum-sebelumnya.

Apakah tadi aku telah berbicara yang salah pada Tsunami? Memintanya dengan tak sabaran agar melepaskanku dari pasungan? Benarkah hanya alasan itu. Tapi apa maksud Tsunami akan melepaskanku selama-lamanya dari derita pasungan ini.

Belum lagi aku memahami ucapan Tsunami. Tsunami telah menghajarku. Menamparku. Meninjuku. Menendangku. Memukulku. Hingga aku mengaduh kesakitan.

Pontianak, 1 Juli 2006

~&&&~

[dipublikasikan di Fordisastra.com, 18 September 2007]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun