Salah satu dampak terbesar dari isu COVID-19 adalah melemahnya ekonomi suatu bangsa. Lemahnya ekonomi tersebut tidak hanya akan membuat industri lesu, anggaran negara yang defisit, tapi juga banyak pekerja formal yang beralih menjadi pekerja rentan, sedangkan pekerja rentan kehilangan pekerjaan mereka. Perempuan  tak lepas dari problem ekonomi tersebut selama Covid-19. Rata-rata perempuan berada pada posisi pekerja rentan yang kehilangan pekerjaan.. Pandemi memaksa 14.2% perempuan di Indonesia merasakan getirnya Pemutusan Hubungan Kerja (LIPI, 2020).
Problema tersebut menjadi persoalan ketika perempuan tersebut menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Artinya perempuan memperoleh beban tambahan yaitu menjadi kepala keluarga. Konflik peran ganda ini tak elak menjadi konflik yang polemik. Berdasar pada data BPS (2018) perempuan yang menjadi kepala keluarga sebesar 15,17% dan 14,48% berdomisili di desa serta 50% dari angka tersebut di bawah garis kemiskinan.
Mirisnya, perempuan yang telah mengalami PHK akan kesulitan dalam mencari pekerjaan kembali. Tingkat pendidikan perempuan  kepala keluarga menjadi akar masalahnya. BPS (2018) menunjukkan 32,08% tingkat pendidikan perempuan kepala keluarga tamatan SD ke bawah, 24,74% tamatan SD, dan 13% tamatan SMP. Tawaran pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang tersedia hanyalah di industri jasa. Namun sektor jasa mengalami kelesuan sejak Covid-19. Pelik!. Relasi kuasa terus menerus menjadi akar sehingga perempuan kepala keluarga semakin tertindas. Bantuan Langung Tunai juga tidak ramah dengan perempuan kepala keluarga karena definisi sempit tentang kepala keluarga. Sudah jatuh tertimpa tangga lagi pula. Miris!!
Moderasi Beragama dan Keberpihakan Islam
Perempuan kepala keluarga yang mengalami PHK akhirnya dihadapkan pada rentannya ekonomi keluarga. Lemahnya ekonomi keluarga tersebut dapat menjadikan intoleransi terjadi di masyarakat desa. Film Tilik yang terkenal melalui karakter Bu Tejo sangatlah identik dengan masyarakat desa yang rentan intoleransi. Intoleransi tersebut disebabkan oleh faktor ekonomi yang dikiaskan dengan faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan perpecahan. Wahid (2018) menemukan bahwa ada korelasi antara kemiskinan dengan ketegangan yang terjadi di masyarakat. Lemahnya kondisi ekonomi perempuan janganlah sampai memunculkan keekstriman di masyarakat desa. Intoleransi dapat diminimalisir dengan menyelesaikan akar permasalahannya, yaitu faktor ekonomi. Moderasi beragama dipandang dapat menjadi penengah dalam konflik ini.
Islam itu berpihak kepada nilai-nilai keadilan (al-'adalah), kemaslahatan (al-masalahat), kerahmatan (ar-rahmat), kebijaksanaan (al-hikmah), dan kesetaraan (al-ihsan). Menjadi bagian dari kelompok rentan, perempuan kepala keluarga harus dibela oleh Islam dan dibebaskan dari keterbelangguan dan ketertindasan ekonomi sehingga kehidupannya adil, setara, dan maslahat. Zakat menjadi jalan keluar moderasi beragama untuk menyelesaikan faktor ekonomi keluarga. Zakat dalam agama Islam merupakan Regulasi Allah dalam membatasi keserakahan dan ketamakan orang-orang kaya sehingga terjadi pemerataan distribusi kekayaan sebagai bukti bahwa Islam berpihak kepada mustadl'afin dan madlumin.
Inovasi zakat
Sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar dan tergolong dalam 10 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi zakat yang cukup besar. Total potensi tersebut merupakan akumulasi dari zakat perusahaan, zakat penghasilan, zakat pertanian, zakat peternakan, dan zakat uang sebesar 233.84 triliun. Jumlah penerimaan dana zakat Baznas tahun 2020 yaitu sebesar Rp. 248.342.677.327 dan penyaluran dana zakat sebesar Rp. 225.702.309.429.
Potensi zakat yang sangat besar ini dapat menjadi instrumen moderasi beragama untuk membela perempuan kepala keluarga dari jurang kemiskinan dan memperoleh kesetaraan gender dalam ekonomi. Moderasi beragama diyakini dapat meningkatkan ekonomi keluarga yang muaranya pada penghindaran intoleransi bagi perempuan kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan. Salah satu moderasi beragama yang dapat dilakukan dengan instrument zakat yaitu zakat produktif.
Undang-Undang No 23 tahun 2011 menyebutkan bahwa penyaluran zakat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu karitatif dan produktif. Zakat produktif mengedepankan penyelesaian masalah kemiskinan dan ketahahan ekonomi perempuan kepala keluarga melalui pendayagunaan zakat. Penyaluran zakat dengan cara ini sangatlah humanis karena bertujuan membuat perempuan kepala keluarga yang awalnya mustahik menjadi muzakki sehingga dapat membantu mustahik lainnya. Selain itu target dari zakat produktif tidak hanya pada mengentaskan perempuan kepala keluarga dari kemiskinan material akan tetapi juga dengan aspek-aspek lainnya. Namun target penyaluran zakat produktif memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga  membutuhkan proses pendampingan, pemantauan, dan evaluasi yang diperlukan untuk memastikan program produktif berjalan dengan baik. Baznas tentu membutuhkan andil stakeholders untuk membantu terwujudnya cita-cita mulia tersebut, salah satunya akademisi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Kerja keras baznas sebagai kepanjangan tangan pemerintah bersama stakeholders menjadi kunci untuk membebaskan perempuan kepala keluarga dari kemiskinan.
Advokasi PTKI