Dalam benak pecinta sastra, tentu kita tak akan asing dengan kata nyali. Sebuahu ngkapan yang merepresentasikan keberanian dan tekad seseorang. Nyali di dalam novelbertajuk "Nyali" pun tidaklah luput dari substansi cerita. Seorang tokoh yang mewakili judul sekaligus keseluruhan isi cerita. Putu Wijaya seolah menegaskan bahwa nyali merupakan penggambaran yang patut dijadikan sebuah kerangka acuan oleh para sastrawan.Â
Putu tidaks emata mengarang sebuah cerita maupun prosa dengan tidak mempertimbangkan maknawi tubuh novel saja, melainkan beliau sangatlah mempertimbangkan segi ekosistem kesusastraan yang ada di Indonesia.
Kita semua tahu bahwa hadirnya sastra populer dapat dikatakan sebagai momok yang menakutkan bagi sastra kanon. Putu Wijaya dalam novel di atas tergolong sastra kanon, hal tersebut berangkat dari tubuh novel yang menarik dan unik, baik dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Pada dasarnya, polemik sastra kanon dengan sastra populer seyogyanya tidaklah dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibahas.Â
Kenyataannya bahwa Putu mampu unjuk nyali akan ketabuan kedua kubu yang hingga saat ini berpolemik akut. Polemik sastra kanon dianggap sebagai sebuah hal yang terlalu seram bagi sastra populer. Hal tersebut senada karena memang depopulasi karya sastra populer semakin meningkat seiring berkembangnya sastra kanon yang mencuat di permukaan sastra Indonesia.
Depopulasi tersebut oleh masyarakat awam dianggap sebagai hal yang kejam atau bersifat penghakiman terhadap karya sastra abal-abal. Kenyataannya adalah bahwa depopulasi sastra populer merupakan hasil seleksi alam pada dunia sastra modern. Sepeninggalnya sang pencetus sastra dunia memang mengakibatkan disorientasi mengenai kondisi ekosistem sastra nasionalistik. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah menjadi sebuah persoalan unik yang menarik.
Putu Wijaya dalam novelnya tidak semata mengangkat karyanya tersebut ke arah langit dan berteriak bahwa sastra kanon miliknya lebih pantas dibandingkan sastra populer. Beliau diibaratkan seperti seseorang yang memposisikan badannya sebungkuk mungkin untuk bisa lewat diantara orang awam yang tak tahu apa-apa.
Putu Wijaya memiliki kemiripan dengan tajuk maupun esensi si tokoh, yakni nyali. Ia mensyaratkan bahwa dirinya mampumeminimalisir kesombongan atas pengakuan oleh sebagian masyarakat mengenai sastra kanon miliknya.
Pada novel tersebut, ungkapan nyali mewakili keseluruhan aspek tubuh novel. Si tokoh di dalam novel tersebut bernama Kropos, ia adalah seorang prajurit yang memiliki
nyali seribu. Ia digambarkan sebagai sosok prajurit yang berani dan kerap muncul dalam
adegan utama di dalam novel. Dia bernyali, sama halnya dengan si pengarangnya yakni Putu Wijaya.Â
Nyali yang digambarkan oleh Putu Wijaya melalui tokoh prajurit bernama Kropos nyatanya tidak semata bersifat fiksi atau rekaan semata, melainkan hal tersebut tergambarkan di dalam kehidupan yang nyata. Kropos memiliki watak keprajuritan yang senantiasa bercorak revolusioneristik.Â
Ia tidak termasuk di dalam ranah prajurit bercorak boneka pada umumnya, melainkan ia adalah seorang manusia sejati yang memiliki akal untuk berfikir serta nyali untuk menjadi manusia merdeka.Â
Beberapa adegan menakjubkan yang ditunjukkan oleh Kropos semata-mata untuk menegaskan bahwa esensi manusia dan prajurit adalah sama. Prajurit di dalam pasukan militer tidak dapat dikategorikan sebagai robot yang mudah tersistem oleh pembuat sistem tersebut.Â