Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Istilah ini sepertinya sudah mulai berkembang pada saat ini. Istilah ini menggambarkan betapa beratnya kehidupan orang miskin yang selalu merasakan susahnya menjalani hidup karena kebutuhan yang selalu mendesak setiap hari, baik kebutuhan diri sendiri maupun keluarga. Secara umum, kebutuhan manusia tidak hanya sebatas makan dan minum, namun kebutuhan sandang, papan pun juga demikian pentingnya. Karena ketiga kebutuhan ini memang wajib melekat pada diri manusia.
Saat ini, segala kebutuhan bisa dicapai dengan suatu usaha yang menghasilkan nilai, nilai yang oleh semua orang selalu dikaitkan dengan uang. Uang menjadi sangat penting untuk diperoleh guna memenuhi kebutuhan manusia setiap hari. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa
Secara umum uang diartikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima oleh setiap orang. Dalam ilmu ekonomi, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran hutang.
Karena peran uang yang begitu penting sebagai alat tukar menukar dengan barang yang berharga, maka tidak sedikit orang yang ingin memiliki dan menimbunnya, agar kebutuhannya dapat terpenuhi dengan baik.
Dalam islam, kebutuhan manusia bisa dipenuhi dengan berbagai cara, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan hutang piutang. Namun dari sekian banyak cara tersebut, ada hal yang harus dilakukan dan dijauhi. Seperti jual beli dan hutang piutang yang tidak diperbolehkan adanya riba didalamnya. Riba adalah pembayaran yang dikenakan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu berlaku, di mana modal pinjaman tersebut digunakan. (Rahman, 1996:85).
Ibn Hajar 'Askalani mengatakan bahwa, inti riba adalah kelebihan baik itu dalam bentuk barang maupun uang, seperti dua rupiah ditukar dengan sat rupiah. Menurut Allama Mahmud al-Hassan Taunki, riba berarti kelebihan atau pertambahan; dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang (pertukaran barang dengan barag), lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran satu barang yang sama, yang demikian itu disebut riba. (Rahman, 1996:83).
Riba pada dasarnya bisa terjadi pada akad jual beli dan hutang piutang. (Sarwat:24)(Subaily:36) Dalam akad hutang piutang, riba akad terlihat jelas ketika modal yang dipinjam harus dikembalikan dengan tambahan nilai yang lebih tinggi. Seperti contoh, Farhan meminjam uang karim sebesar Rp. 100.000,-. Pada saat jatuh tempo Farhan harus mengembalikan uang Karim sebesar Rp. 110.000,-. Nilai Rp. 10.000,- inilah yang yang dihukumi riba.
Sedangkan dalam jual beli, riba bisa terjadi karena adanya penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang ribawi lainnya. Riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. (www.syariahbank.com, 2015). Jika melihat penjelasan di atas, maka jual beli yang bisa mengandung unsur riba adalah jual beli barang ribawi yang penyerahannya ditangguhkan.
Namun demikian, banyak yang menganggap bahwa jual beli kredit adalah bagian dari riba. Karena, jika dilihat dari luar, antara harga tunai dengan harta kredit ada perbedaan nilai yang sangat jelas. Seperti contoh, sepeda motor dijual dengan harga 10 juta secara tunai, jika kredit maka menjadi 13 juta. Kelebihan yang 3 juta ini dianggap sebagai riba, karena adanya tambahan dari pembayaran tunai, padahal tidak demikian.
Kredit dibolehkan dalam hukum jual-beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah : bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan. Namun, transaksi ini harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
- Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan). (Sarwat, hlm:197-198).
Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan kedua contoh berikut ini:
- Saiful menawarkan sepeda kepada Budi seharga Rp. 12 juta. Karena Budi tidak mempunyai uang Rp. 12 juta, maka dia hendak membelinya dengan cara cicil (kredit).
- Namun, karena Budi meminta cicil, akhirnya Saiful menaikkan harga menjadi Rp. 15 juta dan dilunasi dalam waktu 1 tahun. Harga Rp. 15 juta ini tidak didasarkan pada bunga sekian persen tiap bulan, melainkan kesepakatan kedua belah pihak.
- Transaksi ini diperbolehkan dalam islam
- Joko menawarkan mobil senilai Rp. 50 juta kepada Parto. Karena Parto belum memiliki uang Rp. 50 juta, maka dia meminta untuk menyicil. Joko menerimanya asalkan Parto tiap bulan membayar 2 persen dari 50 juta tersebut selama 1 tahun. Transaksi ini termasuk riba, karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung besar bunga dan masa cicilan.
Kedua contoh di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa jual beli kredit berbeda dengan riba. Perbedaan yang dominan adalah jika kredit, tambahan harga sudah disepakati bersama dan jelas jumlahnya, namun jika riba, tambahan tersebut tidak jelas dan ditentukan oleh tempo waktu pembayaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H