Setiap pagi warga Singapura berangkat kerja. Sama seperti kita. Bedanya, mayoritas kita menaiki kendaraan pribadi baik motor atau mobil. Mereka berjalan menelusuri trotoar. Tujuannya adalah halte bus dan statsiun kereta. Di depan pintu mereka berbaris. Tidak ada gerombolan penutup jalan. Saat pintu bus atau kereta terbuka calon penumpang tetap tenang. Dalam barisan menyerupai hurup A yang ujungnya terbuka, mereka mempersilahkan penumpang yang turun. Setelah penumpang turun, satu persatu masuk dengan tenang.
Berkali-kali saya naik taksi. Sopir taksi seperti biasanya adalah para pengejar setoran. Dari enam orang sopir yang pernah mengantarkan saya ke tujuan, tidak satu pun yang kebut-kebutan. Saat lampu merah hendak menyala, sopir perlahan menginjak rem. Suatu yang tidak biasa. Karena pengalaman saya naik taksi di Jakarta, saat melihat lampu kuning, insting pembalap yang keluar. Bukan rem yang diinjak, tapi gas yang ditekan. Menaiki taksi di Singapura tidak beda dengan naik mobil pribadi. Ketenangan, kenyamanan dan keamanan ada di dalamnya.
Di Singapura sulit mendapat masjid. Suara azan tidak pernah saya dengar. Bahkan mencari makanan halal pun harus dengan perjuangan. Mayoritas mereka etnis China. Muslim adalah umat minoritas. Itu berarti kebanyakan warga Singapura tidak pernah diajari membuat barisan sebelum shalat. Mereka tidak pernah tahu bahwa barisan terdepan saat sholat memberi kelebihan bagi orang yang menempatinya. Bagaikan antrian masuk sorga, orang yang berada di shaf pertama memiliki jatah masuk terlebih dahulu. Mereka tidak tahu itu.
Mereka hanya tahu bahwa mengantri adalah kewajiban warga sesuai aturan hukum negara. Mereka tahu bahwa sebagai warga negara yang baik harus mengikuti peraturan. Oleh karena itu mereka melaksanakan peraturan.
Satu lagi catatan menarik. Selama bepergian di Singapura, tidak satu polisi pun yang saya lihat. Apakah saya yang kurang perhatian. Apakah polisinya yang tidak mau kelihatan. Saya tidak tahu persis. Di perempatan jalan, di sepanjang lampu merah, di belokan-belokan tidak nampak seorang polisi pun.
Sebagai penutup catatan ini, saya copy paste kan tulisan yang dishare di group WhatsApp keluarga besar istri.
Guru di Indonesia panik ketika muridnya tidak pandai Matematika, tapi tenang saja saat muridnya tidak bisa antri (saya kira bukan hanya guru, kebanyakan orang tua pun demikian). Sebaliknya seorang guru di negara tetangga pernah berkata, "Kami tidak terlalu jika anak-anak Sekolah Dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai Mengantri". Saat ditanya mengapa, inilah jawabannya.
1. Hanya perlu waktu 3 bulan secara intensif untuk melatih anak pandai Matematika. Sementara perlu waktu 12 tahun atau lebih untuk melatih anak agar bisa mengantri dengan baik dan benar.
2. Tidak semua anak kelak berprofesi menggunakan ilmu Matematika, kecuali tambah, kali, kurang dan bagi. Sebaliknya semua murid dalam satu kelas pasti akan membutuhkan etika moral dan pelajaran berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka.
Apa pelajaran berharga yang didapat dari mengantri?
1. Anak belajar manajemen waktu. Jika ingin mengantri paling depan, harus datang dari awal. Dan itu perlu persiapan lebih awal.