Mohon tunggu...
Saiful Falah
Saiful Falah Mohon Tunggu... -

Mencari berkah di pesantren

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Penjaga Tradisi Akademik

25 November 2014   12:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:55 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata guru berasal dari Bahasa Sansekerta yang secara harfiah artinya adalah berat.[1] Dalam kamus Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya atau profesinya mengajar[2]. Dalam Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebut definisi guru pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1, poin pertama. Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3]

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia berdasarkan acuan tekstual maupun rasional. Diantara dalil tekstualnya adalah sabda Nabi Muhammad saw yang artinya “Saya ini sesungguhnya diutus sebagai seorang guru”. Jadi profesi guru merupakan warisan dari misi kerasulan. Adapun dalil rasional yang dikemukakan Al-Ghazali, bahwa kemulaian profesi itu antara lain dapat dilihat dari tempat dimana profesi itu dilaksanakan, seperti keunggulan profesi tukang emas lebih tinggi dari tukang kulit, karena tempat kerja dan barang yang dikerjakan berbeda derajatnya. Kemudian Al-Ghazali berkata: “Barang yang wujud di permukaan bumi ini yang paling mulia adalah manusia, dan bagian yang paling mulia dari manusia adalah jiwanya, sedangkan tugas seorang guru adalah mengembangkan/menyempurnakan, menghiasi, mensucikan dan membimbingnya untuk dapat mendekat kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia.”[4]

Guru adalah pengajar sekaligus pendidik. Sebagai pengajar guru berperan sebagai agent of knowledge. Guru mengetahui dan memahami sebuah ilmu kemudian melakukan sebuah usaha yang disebut pengajaran untuk menjadikan muridnya tahu dan mengerti ilmu yang dia sampaikan. Guru sebagai pendidik berperan sebagai agent of value. Di sini tugas guru teramat berat. Guru dituntut untuk menanamkan segala nilai kebaikan kepada anak murid. Pendidikan yang dilakukan oleh guru harus menyentuh sisi rohani disamping jasmani dan akal.

Sebagai agent of knowledge dan sekaligus agent of value guru harus memiliki bekal cukup. Seorang guru sebagaimana pepatah lama menyebutnya yang digugu dan ditiru, dituntut menjadi sosok teladan dari segala aspek. Guru harus menjadi teladan di bidang ilmu pengetahuan. Juga menjadi teladan di bidang keterampilan, sikap dan budi pekerti. Seorang guru akan menjadi gambaran terbaik bagi muridnya. Murid selalu menjadikan guru sebagai rujukan. Guru yang baik menginspirasi muridnya menjadi lebih baik. Demikian juga guru yang buruk menjadikan muridnya lebih buruk. Pepatah lama mengatakan, ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.

Guru Sebagai Penjaga Tradisi Akademik

Kata akademik berasal dari bahasa Yunani yakni academos yang berarti sebuah taman umum (plasa) di sebelah barat laut kota Athena. Academos adalah nama seorang pahlawan yang terbunuh pada saat perang legendaris Troya. Pada plasa inilah filsuf Socrates berpidato dan membuka arena perdebatan tentang berbagai hal. Tempat ini juga menjadi tempat Plato melakukan dialog dan mengajarkan pikiran-pikiran filosofisnya kepada orang-orang yang datang. Sesudah itu, kata acadomos berubah menjadi akademik, yaitu semacam tempat perguruan. Para pengikut perguruan tersebut disebut academist, sedangkan perguruan semacam itu disebut academia (Fajar, 2002)[5]

Akademi dalam Bahasa Indonesia diartikan lembaga perguruan tinggi.[6] Sedangkan kata akademisi diartikan orang yang berpendidikan tinggi.[7] Dapat disimpulkan bahwa akademik segala hal yang terkait dengan pendidikan, dari mulai lembaga, manusia, system dan prosesnya. Ketika merujuk ke sejarah penamaan akademi yang berasal dari academos, akademik bisa dipahami sebagai segala hal atau usaha yang terkait dengan kegiatan mencari, memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Budaya Akademik adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya:

1.Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif;

2.Pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral;

3.Kebiasaan membaca;

4.Penambahan ilmu dan wawasan;

5.Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat;

6.Penulisan artikel, makalah, buku;

7.Diskusi ilmiah;

8.Proses belajar-mengajar, dan

9.Manajemen perguruan tinggi yang baik.[8]

Peran guru sebagai agent of knowledge tidak sekedar seorang pemilik ilmu yang memberikan ilmu kepada murid. Guru harus menjadi figur ilmu yang segala tindak tanduknya berlandaskan ilmu. Guru berbicara berlandaskan ilmu. Guru bertindak pun berlandaskan ilmu. Sehingga sosok guru sangat identik dengan sosok ilmuwan.

Mengembangkan budaya akademik menjadi bagian dari peran guru sebagai seorang ilmuwan. Tidak perlu terlalu risau dengan tugas sebagai penjaga budaya akademik. Guru tidak diharuskan meneliti setiap waktu. Sebagai penjaga budaya akademik setidaknya guru memperlihatkan sifat seorang akademisi. Bagaimana sifat seorang akademisi bisa ditampakkan dalam keseharian guru? Dengan membaca guru telah menjaga budaya akademik.

Membaca adalah salah satu ciri masyarakat akademis. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang memiliki muatan ilmiah, baik itu rasional atau supra rasional mulai diturunkan dengan kalimat ‘bacalah’. Ini menjadi pertanda bahwa Allah mencintai para ilmuan. Allah sangat suka kepada orang-orang yang suka membaca. Mengapa demikian? Karena membaca adalah jendela ilmu pengetahuan. Dengan membaca sesuatu yang tidak diketahui bisa diketahui, sesuatu yang tidak dipahami bisa dipahami. Bahkan dengan membaca seseorang bisa mendapatkan kebenaran.

Surat Al-Alaq ayat 1-5 yang menjadi pembuka wahyu menyuguhkan sebuah kebenaran yang hak. Dengan membaca, manusia bisa mengetahui bahwa dia diciptakan. Pengetahuan tersebut membimbing manusia kepada Sang Pencipta. Manusia pun sadar bahwa mereka berasal dari tanah. Mereka bisa bertahan hidup di atas tanah karena diberi pengetahuan. Sang Pencipta mengajari manusia dengan pelantara al-qolam.

Kebenaran yang terkandung dalam Al-Alaq 1-5 merupakan bentuk dari kebenaran yang berkaitan. Filsuf bisa menyebut kebenaran korespondensi. Fakta manusia diciptakan mengarahkan manusia kepada Sang Pencipta karena tidak mungkin ada sebuah ciptaan tanpa yang menciptakan. Sang Pencipta tidak begitu saja menciptakan kemudian meninggalkan tanpa bekal. Tuhan mengajari ilmu agar manusia bisa eksis di muka bumi. Ini menjadi pembenaran yang absolut dan eternal. Ilmu yang benar pasti akan mengarahkan manusia kepada Tuhan.

Kebenaran bahwa Tuhan menciptakan manusia bukan kebenaran pragmatis. Meskipun anak dihasilkan dari hubungan biologis antara ayah dan ibu, sari patinya tetap buatan Tuhan. Maka segala asusmsi yang mengatakan bahwa manusia berasal dari proses evolusi primata terbukti dusta. Kera dari zaman dahulu sampai sekarang tetap kera. Apabila kera berevolusi menjadi manusia, logikanya setelah manusia menyebar maka kera binasa. Pada kenyataanya di seluruh penjuru dunia masih terdapat banyak kera dengan berbagai jenis pula.

Al-Alaq 1-5 juga bisa menjadi jembatan manusia berpikir filosofis. Sebagaimana diketahui bahwa filsafat adalah pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan.[9] Manusia adalah sebuah kenyataan. Manusia disebut mahluk sempurna karena memiliki akal. Dengan akal manusia bisa menaklukkan dunia dan segala isinya. Daratan, lautan dan udara ditaklukkan menjadi jalan raya yang menghubungkan pulau, negara bahkan benua. Flora dan fauna dibudidaya sehingga dapat mencukupi kebutuhan manusia.

Akal bisa menjelma sebagai instrument sakti tidak terjadi sendiri. Sang Pencipta mengajari ilmu kepada manusia sehingga akalnya dapat merespon segala pengetahuan. Peristiwa pengajaran yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia asal muasal ilmu pengetahuan. Di sini dapat dipahami bahwa pada hakekatnya ilmu adalah pemberian Tuhan. Ini merupakan kajian ontologi. Tuhan mengajarkan manusia dengan pelantara al-qolam merupakan bentuk cara mendapatkan ilmu. Epistemologi terdapat di sini. Kemudian ada pertanya kenapa Tuhan mengajarkan ilmu? Apa kegunaan ilmu bagi manusia? Ini merupakan ranah aksiologi.

Membaca selalu menjadi titik start kegiatan ilmiah. Dimulai dengan membaca, otak kemudian berpikir tentang data dan informasi yang didapat. Respon tersebut berlanjut kepada hipotesis. Dan hebatnya lagi sebuah hipotesis akan mengarah kepada hipotesis yang lain. Sehingga dengan membaca akan muncul banyak hipotesis. Biasanya hipotesis yang diperoleh dari satu bahan bacaan akan dibuktikan kebenarannya dengan mencari bahan bacaan lain. Dari sana kemudian muncul dua kemungkinan; keraguan atau keyakinan.Keraguan mengarah kepada bertanya dan berdiskusi dengan ahli sedangkan keyakinan bermuara pada kesimpulan yang bisa menjadi sebuah karya tulis ilmiah.

Dengan membaca saja seorang guru sudah bisa mengggabungkan banyak elemen budaya akademik. Karena membaca merupakan titik start kegiatan ilmiah. Maka membaca harus menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari sosok seorang guru. Guru harus identik dengan membaca. Karena tanpa membaca seorang guru sudah kehilangan satu mahkota paling berharga.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Guru

[2] http://kamusbahasaindonesia.org/guru

[3] http://uniks.ac.id/berita/undang-undang-nomor-14-tahun-2005-tentang-guru-dan-dosen.html

[4] Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, hal. 125.

[5] http://anshar-mtk.blogspot.com/2013/02/perkembangan-budaya-akademik-di.html

[6] http://kamusbahasaindonesia.org/akademi

[7] Ibid

[8] http://anshar-mtk.blogspot.com/2013/02/perkembangan-budaya-akademik-di.html

[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Rosdakarya, Bandung: 2009, hal. 68.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun