Iseng-iseng saya mengukur ketebalan uang kertas pecahan Rp 100.000 sebanyak 100 lembar. Ternyata tebalnya sekitar 1 cm. Demikian pula untuk pecahan uang kertas Rp 50.000,00, Rp 20.000,00, dan Rp 10.000,00. Kemudian, saya ukur pula panjang satu lembarnya. Angka di penggaris menunjukkan 15 cm lebih sedikit. Bulatkan saja 15 cm.
Nah, ukuran uang di atas kemudian saya aplikasikan pengukurannya pada uang sebesar Rp 90.000.000.000,00 (sembilan puluh miliar rupiah) itu. Tujuannya, ya, cuma iseng saja untuk mengetahui seberapa sih tinggi dan panjangnya uang itu kok sampai merebut hati media massa selama ini.
Kembali ke masalah ukur-mengukur tebal dan panjangnya uang tadi. Ternyata, uang dengan angka nol 10 buah "dipimpin" sebuah angka 9 itu, bila berbentuk uang kertas Rp 100.000,00 jumlahnya mencapai 900.000 lembar. Lembaran sebanyak itu, bila disusun secara vertikal (ditumpuk) tingginya mencapai 9.000 cm (900.000 : 100 x 1 cm) sesuai pengukuran di atas. Itu berarti 90 meter!
Kalau berbentuk uang pecahan Rp 50.000,00 yang ketebalannya relatif sama dengan pecahan kertas Rp 100.000,00, maka akan menjadi 180 meter (90 meter x 100.000 : 50.000). Bayangkan kalau menggunakan uang kertas Rp 20 ribu. Pasti tingginya mencapai 450 meter atau lima kali lipat. Bagaimana kalau menggunakan uang kertas Rp 10 ribu? Tentu saja menjadi 10 kalinya atau 900 meter! Ternyata, tinggi uang Rp 90 miliar itu benar-benar fantastis! Bisa mengalahkan tinggi Tugu Pahlawan di Surabaya yang cuma 40 meter, menundukkan Tugu Monas di Jakarta yang juga hanya puluhan meter.
Belum lagi kalau uang itu disusun horisontal menurut panjang selembar uang kertas. Bila uang kertasnya berupa pecahan Rp 100.000,00, maka sesuai dengan ukuran awal di alinea satu di atas, total panjangnya 15 cm x 900.000 = 13.500.000 cm = 135.000 m = 135 km!
Kalau diukur dengan uang kertas Rp 50.000,00 pasti menjadi 270 km (135 km x Rp 100.000 : Rp 50.000). Kalau berupa pecahan kertas Rp 20.000,00, jaraknya mencapai 135 km x 5 = 675 km. Apalagi kalau berbentuk uang kertas pecahan Rp 10.000,00 akan menjadi 10 kali lipat atau 1.350 km! Wow, itu bisa melampaui panjang Pulau Jawa yang hanya sekitar 1.000 km.
Hukuman
Kalau kasus penyuapan dan terbongkar pula kasus korupsinya, pasti jaksa penuntut umum memilih menuntut kasus korupsinya karena sanksinya lebih berat. Kasus penyuapan ancaman hukuman maksimalnya 2 tahun 8 bulan penjara (baca: Pasal 209 ayat (1) KUHP). Sedangkan, kasus korupsi ancaman pidananya maksimalnya bisa berupa pidana mati.
Tuntutan jaksa penuntut umum itu biasanya hanya dikabulkan sebagian oleh hakim. Misalkan, koruptornya dijatuhi hukuman penjara maksimal 20 tahun tanpa disertai denda atau mengganti uang negara yang dikorupsi. Maka, tiap tahun terpidana itu mengganti uang korupsi dengan mendekam di penjara sebesar Rp 90.000.000.000 : 20 = Rp 4.500.000.000. Kalau dihitung per bulan, sama dengan Rp 375.000.000. Kalau dirinci lagi per hari, maka menjadi Rp 12.500.000.
Itu berarti terpidana selama 20 tahun penuh berada di dalam penjara dengan mengantongi uang jarahannya lewat tindak pidana korupsi sebesar Rp 12,5 juta per hari. Tentu saja, jika dalam masa hukumannya, terpidana tidak memperoleh remisi (pengurangan masa hukuman) sama sekali. Rasanya tidak mungkin karena hampir setiap terpidana memperoleh remisi setiap tanggal 17 Agustus sesuai dengan nilai perilakunya di penjara. Jika memang demikian, tentu terpidana makin lebih banyak lagi mengantongi uang hasil kejahatan korupsinya setiap hari karena hukumannya tidak utuh 20 tahun.
Adilkah putusan yang demikian meski itu merupakan hukuman penjara yang maksimal? Saya yakin 100% pembaca menyatakan dengan tegas, "Tidak adil!" Bagaimana bisa orang yang korupsi malah enak-enakan mendekam di penjara dengan penghasilan Rp 12,5 juta per hari. Lamanya 20 tahun lagi!
Jika demikian, maka benar kata orang-orang awam di jalanan, "Kalau mau korupsi, jangan tanggung-tanggung!" Putusan hakim memang sering kali menyakitkan dan dirasakan tidak adil sama sekali di hati orang awam. Salah satu contoh ekstrimnya adalah pencuri seekor ayam dipenjara selama 3 bulan. Demikian pula hukuman bagi para koruptor, tak jauh terpaut dari kisaran waktu itu. Padahal, secara kuantitatif harga seekor ayam jauh lebih kecil dibanding kerugian negara yang diakibatkan korupsi.
Melihat fenomena semacam itu, rasanya lebih adil dan paling pas jika hakim memberikan saja putusan hukuman mati terhadap koruptor. Dan pidana mati itu harus segera dilaksanakan begitu putusannya telah memenuhi kekuatan hukum yang tetap. Jangan berlarut-larut seperti saat ini sehingga terpidana mati merasa seolah-olah berada di dua alam sekaligus. Kakinya memang masih menjejak di bumi, tapi hati dan jiwanya sudah berada di alam baka.
Dalam hal ini, Indonesia harus banyak belajar dari penegakan hukum Cina yang sangat tegas terhadap koruptor. Selain dihukum mati, terpidana koruptor dan ahli warisnya masih dibebani mengembalikan kerugian negara yang belum impas dengan jumlah uang yang dikorupsi. Bahkan, almarhum koruptor itu juga masih mungkin digali lagi untuk mengambil barang-barang berharga milik almarhum yang mungkin ikut dikuburkan di dalam peti mati. Cina memang patut diacungi jempol oleh masyarakat internasional karena sudah berani menerapkan penegakan hukum dengan moto, "Memberantas korupsi hingga liang mati" tersebut. Hasilnya memang ampuh. Cina dalam beberapa tahun terakhir ini boleh dibilang sepi dari korupsi.
Beranikah Indonesia mencontoh Cina yang sangat keras menindak koruptor? Untuk itu, kita harus bersabar menunggu "sembuhnya" DPR sebagai lembaga legislatif untuk mengubah perundang-undangan antikorupsi menjadi seperti di Negeri Tirai Bambu itu. Atau kita tunggu sampai ada "Pengadilan Rakyat" yang menghukum koruptor itu berjalan sejauh 1.350 km dan memanjat hingga ketinggian 900 meter sesuai dengan panjang dan tebal uang Rp 90 miliar yang dikorupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H