cerpen-anak oleh: Saiful Asyhad
Seperti hari raya sebelumnya, Soni sekeluarga beranjang sana ke kerabat ayah-ibunya yang lebih tua di desa. Seperti lazimnya pula, mereka disuguhi aneka jajanan dan minuman khas desa yang menggugah selera. Kalau sudah begini, Soni langsung asyik mencicipi semuanya satu per satu. Sementara itu, ayah-ibunya juga tak kalah asyik mengobrol dengan teman-teman sebayanya semasa kecil dulu di tanah kelahirannya.
Ada satu hidangan yang sangat unik di salah satu meja makan. Hidangannya berupa buah nangka yang dibelah jadi empat bagian dan disajikan masih lengkap dengan kulitnya. Di sisi kiri, ada pisau dan serbet. Di sisi kanannya, tersedia selepek minyak goreng. Soni ingin sekali menyantap sajian buah nangka itu walau agak bingung dengan minyak goreng itu.
"Apa hubungan makan nangka dengan minyak?" pikir Soni. Sebenarnya, dia mau menanyakan keanehan itu, tapi malu. Apalagi, obrolan para orang tua semakin seru dan berkali-kali terdengar selingan suara tawa. Dia nggak enak rasanya memotong perbincangan orang-orang yang dia hormati itu.
Jadilah Soni makan sajian buah nangka yang "aneh" itu. Dia iris sebuah. Lalu, dia belah dagingnya. Dia keluarkan isinya. Terus dia celupkan ke minyak goreng. Terakhir, dia masukkan ke mulut. Rasanya manis, sedikit asin, dan agak licin saat dikunyah. Meski rasanya asing sekali untuk lidahnya, dia terus menyantapnya. Tak terasa Soni sudah makan lima buah dengan cara seperti itu. Walau memang aneh sekali rasanya, namun dia anggap begitulah adat penduduk desa dalam memakan nangka. "Pasti ini yang bisa membuat badannya sehat seperti tubuh orang-orang di desa sini," gumamnya penuh percaya diri.
Namun, beberapa saat kemudian, Soni merasa ada yang menyiksa di kerongkongannya. Rasanya panas dan kering sehingga Soni minum, minum, dan minum lagi untuk mengusir rasa panas yang kian menyiksa itu. Melihat Soni terus-menerus meneguk air sampai tiga gelas, ibunya menegur, "Ih, malu ah, Son! Masak minummu kayak orang yang baru bepergian dari padang pasir. Mengapa, Son?"
"Nggak tahu, bu. Di dalam sini, rasanya panas dan kering," kata Soni sambil menunjuk ke leher depan bagian tengah.
"Memangnya, kenapa?" tanya ibunya makin keheranan.
"Tadi, Soni habis makan lima buah nangka dengan minyak goreng di lepek itu," jelasnya apa adanya.
"Hah! Kamu makan nangka dengan dicelupkan ke minyak goreng?!" Ibunya terperanjat. Para tamu yang lain juga terkejut. Mereka seketika berhenti berbicara. Pandangan mereka semua tertuju kepada Soni dengan penuh rasa heran bercampur iba.
"Oalah, Cah Gantheng, kasihan kamu!" kata Bude Aminah, kakak kandung ibu Soni, sambil mendekap keponakannya itu penuh kasih sayang, "Maafkan bude ya, Le. Bude tidak memberitahu kamu bagaimana tata cara makan nangka di desa sini," lanjutnya.
Kemudian, Bude Minah memeragakan cara makan yang benar. "Begini caranya, Son. Buah nangka diiris dengan pisau. Dibelah dagingnya. Dikeluarkan isinya. Baru dimakan."
"Lalu, minyak goreng yang di lepek itu untuk apa, bude?" tanya Soni masih penasaran.
"Minyak goreng itu digunakan setelah selesai makan. Gunanya untuk membersihkan getah nangka yang mungkin melekat di tangan ketika mengiris nangka tadi. Baru dilap dengan serbet."
"Wah, kalau begitu, Soni tadi salah makan, ya," kata Soni tersipu malu setelah menyadari kesalahannya.
"Bagaimana ini, mbakyu, cara mengatasi rasa panas di kerongkongan Soni?" tanya ibu Soni cemas karena Soni masih mengeluh kepanasan dan ingin minum terus.
"Oh, itu mudah kok, dik. Soni cukup makan roti tawar basah beberapa potong tanpa minum. Nanti, minyaknya tergelontor sendiri dari kerongkongannya. Jangan cemas," jelas bibi Aminah sambil berdiri menuju pintu depan, "Tunggu sebentar, ya. Akan kusuruh Ardi membelikannya."
"Ardi, tolong belikan roti tawar untuk Adik Soni. Ini uangnya. Cepat ya?" perintah Bude Minah kepada anak semata wayangnya itu.
"Ya, bu," jawab Ardi sambil memegang uang yang diberikan ibunya. Siswa kelas V SD itu pun berlari ke toko pracangan Laris Manis milik Bu Romlah. Letaknya hanya beberapa meter di sebelah kiri rumahnya.
Roti tawar itu segera diberikan ke Soni untuk terapi salah makan nangka dan minyak goreng tadi. Soni pun segera memakan roti tawar itu sesuai anjuran Bude Minah. Seiris demi seiris roti tawar dimakannya tanpa minum. Sudah lima iris roti tawar yang dimakannya atau nyaris ditelannya mentah-mentah demi kesehatan kerongkongannya dari kehausan. Meski rasanya hambar dan amat menyiksa di kerongkongannya, terapi tradisional itu selesai dia jalani.
Semua yang ada di ruang tamu menyaksikan dengan saksama. Mereka berharap-harap cemas atas kesembuhan Soni dari kehausan. Ternyata benar juga resep bibi Aminah. Setelah makan roti tawar lima lapis tanpa minum, kerongkongannya tidak panas lagi. Soni baru diperboleh minum lagi beberapa menit kemudian. Ayah dan ibu Soni serta para tamu lega melihat keadaan Soni sudah pulih lagi.
"Alhamdulilah. Makanya, Son, kalau belum tahu sesuatu di desa ini, tanya dulu kepada bude, ya. Kan ada pepatah yang diajarkan gurumu di kelas IV SD, 'Malu bertanya sesat di jalan?" nasihat budenya.
Soni hanya bisa mengangguk malu. Soni benar-benar terperangkap minyak goreng dan nangka di hari Raya Idul Fitri tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H