Coba bayangkan. Wanita jadi kuli angkut barang di pelabuhan. Perempuan jadi sopir truk. Kaum hawa jadi pengemudi becak. Kaum feminin menjadi petinju, pegulat, karateka, atau olah raga keras lainnya.
Kemudian, kita pertanyakan di dalam lubuk yang terdalam. Pantaskah itu? Wajarkah seorang wanita melakukan pekerjaan kasar yang sangat jauh dari sifatnya yang lemah lembut? Tegakah kita menyaksikan semua aktivitas yang keras yang dilakukan oleh kaum hawa yang seharusnya feminin?
Tentu, kita sepakat bahwa tidak sepantasnya kaum wanita melakukan apa saja dengan alasan emansipasi. Kaum hawa tidak selayaknya menuntut kebebasan dalam segala hal dengan argumen emansipasi. Para feminis itu tidak seharusnya mengebiri kelemahlembutannya atas nama emansipasi.
Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Para aktivis perempuan gencar memperjuangkan persamaan gender. Mereka menuntut persamaan hak antara kaum wanita dengan pria dalam segala hal. Mereka sudah bisa disebut membabi buta dalam menyamaratakan antara wanita dan pria. Tak peduli lagi tentang karakteristik yang berbeda antara kedua jenis makhluk hidup.
Akibatnya, yang paling fatal adalah malah mengorbankan pihak perempuan itu sendiri. Salah satu contohnya, tuntutan kuota 30% perempuan di kursi DPR kandas oleh putusan Mahkamah Konstitusi karena sistemnya digantikan dengan suara terbanyak. Belum lagi maraknya wanita karir yang makin menjauhkannya dari sifat keibuan karena mereka lebih mementingkan karir daripada mengasuh anak dan urusan rumah tangga. Akibat kebebasan berkarir itu malah banyak kaum wanita yang menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerjanya. Dan sebagainya.
Wanita itu menurut kodratnya adalah manusia yang besorgen, suka merawat, mengasuh, memelihara, atau mendidik lingkungan rumah tangganya. Maka, seharusnya wanita itu memiliki peran yang sangat besar di dalam rumahnya. Bukan malah di luar rumahnya.
Mengapa demikian? Karena mereka tidak cukup kuat untuk menahan gempuran yang demikian hebat dalam interaksi dengan orang-orang dalam dunia kerja di luaran. Jika dalam posisi tertekan seperti itu, wanita umumnya hanya bisa mengelus dada, menangis, meratap, dan sifat cengeng lainnya yang sebenarnya malah meruwetkan masalah yang dihadapinya.
Ini berbeda dengan wanita yang menyadari tugas kerumahtanggannya. Dia akan memberikan pelayanannya yang terbaik untuk suami, anak, orang tua, dan rumahnya. Dengan keberadaan wanita yang demikian, maka terciptalah keseimbangan.
Artinya, wanita menjadi ratu di rumahnya yang memberikan manfaat dalam perawatan dan pengaturan rumah dan seisinya. Dan setiap wanita pasti mampu melaksanakannya karena dia memiliki sifat telaten dalam merawat sesuatu. Sedang suami, menjalankan tugasnya mencari nafkah di luar rumah yang lebih banyak menghadapi gesekan dan benturan dengan pihak di luar.
Sungguh jika ini tercipta, maka itu artinya wanita tahu mengaplikasikan emansipasi secara cerdas. Bukan emansipasi yang serba kamuflase, semu, bahkan salah makna, seperti yang selama ini terjadi. Banyak wanita keluyuran di luar rumah hanya untuk arisan, urusan PKK, organisasi soaial, dan kegiatan lain yang malah menjauhkan kepekaannya sebagai wanita, lebih-lebih sebagai ibu. Menurut mereka, urusan rumah sudah cukup diserahkan kepada pembantu rumah tangga.
Ini tentu sangat fatal akibatnya, yaitu semua urusan rumah tangganya merupakan ukiran dari buah tangan dan buah pikir pembantu rumah tangga tersebut.