"Diki, udah daftar sekolah?' tanya ayahku, sedikit mengagetkan dengan suaranya yang agak keras pagi itu. Begitulah gaya ayahku bicara, suaranya keras seperti bicara di tengah keramaian yang memerlukan suara keras.
Pagi itu, ia menanyakan apakah aku sudah daftar sekolah. Aku baru saja lulus SMP dan harus daftar ke SLTA. Ayahku berpendidikan rendah tapi ia ingin anak-anaknya bersekolah tinggi. Urusan sekolah menajdi perhatian utamanya. Ia harus memantau anak-anaknya. Semua kakakku melanjutkan sekolah.
"Udah, Beh," jawabku dengan bangganya karena aku sudah mendaftarkan diri kemarin. Aku memanggil ayahku dengan sebutan "Babeh" mengikuti sebagaimana kakak-kakakku memanggilnya. Aku mendaftar sekolah ke SLTA tanpa memberitahukan ayahku sebelumnya, kupikir untuk membuatnya kejutan. Dalam benakku, ayahku pasti senang karena anaknya semangat melanjutkan sekolah. Betapa banyak anak-anak di sekitar rumah kami yang tidak mau melanjutkan sekolah bahkan beberapa dari mereka hanya lulusan SD.
"Daftar ke mana?" tanyanya lagi.
"Ke SMAN 9, Beh," jawabku dengan bangga. Nilaiku bagus, jadi aku yakin diterima di sekolah favorit itu di kotaku.
"Kenapa daftar ke SMA! Cabut berkasnya! Daftar ke SPG aja! Kamu bakalan jadi pengangguran kalau masuk SMA," gertak ayahku dengan nada yang sangat tinggi. Ia marah besar karena aku daftar ke SMAN. Ia ingin aku daftar ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Saat ini SPG sudah dihapuskan karena seorang harus memiliki latar belakang pendidikan minimal S-1.
"Diki mau lanjut ke Fakultas Kedokteran setelah lulus SMA. Diki mau jadi dokter," sanggahku dengan semangat meyakinkan ayahku.
"Pokoknya cabut berkasnya! Daftar ke SPG saja! Babeh nggak mau biayain kamu kalau sekolah ke SMA." Ayahku benar-benar pada keputusan finalnya. Ia langsung meninggalkanku.
Kulihat di kejauhan ibuku hanya diam membisu. Mengapa ia tidak membantu meyakinkan ayahku. Aku benci ibuku. Ia hanya membisu. Air mataku mengalir tak terbendung. Cita-citaku pupus untuk menjadi seorang dokter.
 Aku masuk ke dalam kamar. Aku hanya bisa meratapi nasib. Aku tak mampu mengelak dari keputusan ayahku.
"Maafkan Ibu, ya," suara ibuku begitu menyejukkan. Ia dapat membaca pikiranku. Seorang ibu sangat tahu apa yang sedang dialami anaknya. Beberapa waktu lalu, aku membencinya tapi sekarang aku merasakan kesejukkan dari suara dan kehadirannya di sampingku.
"Diki, apakah kamu masih ingat ketika masuk SMP, kamu berkata ingin menjadi guru? Ayahmu sudah menyiapkan dana sekolah untukmu agar kamu menjadi guru." Ibuku mencoba membuka memoriku. Aku masih ingat dulu bahwa aku ingin menjadi guru tapi cita-cita itu telah tergantikan. Aku ingin menjadi seorang dokter.
"Sekarang bulatkan tekadmu agar kamu menjadi guru. Jangan goyah apa yang kamu inginkan." Ibuku terus memotivasiku agar aku kembali kepada keinginan yang telah bulat.
Waktu terus berlalu. Aku pun sudah nyaman bersekolah di SPG. Bukan hal mudah masuk ke sekolah ini. Terdapat serangkaian tes baik teori, praktik, wawancara, dan fisik. Tinggi badanku diukur, begitu pula berat badan. Tes tertulis mata pelajaran, lari, dan wawancara tentang motivasi.
Sepanjang perjalan sekolah, aku menjadi bintang kelas bahkan mewakili sekolah mengikuti lomba mata pelajaran. Ibuku selalu menjadi temanku. Ayahku pun menyemangatiku agar fokus sekolah.
Kini aku menjadi seorang guru. Ibuku orang yang sangat berjasa menemaniku pada saat aku membutuhkan seseorang yang harus menyemangatiku. Ibuku banyak memberikan penjelasan, menasihati, memotivasi, memberi jalan keluar pada saat aku sangat membutuhkannya. Aku sayang ibuku. (Sam)***