Mohon tunggu...
Saiful Effendi
Saiful Effendi Mohon Tunggu... -

Anak rantau yang mencari jalan menuju pulang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tafakkur Ujung Tahun (Refleksi 7 Tahun Tsunami)

26 Desember 2011   02:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Samudera bergolak saat kedua lempeng bertubrukan. Bumi pun tiba-tiba bergetar hebat, bagaikan ingin merekah. Tak lama, debur air yang senantiasa mesra mencium bibir pantai, kini bagaikan mengamuk membabi-buta. Bergulung-gulung melibas yang menghadang lajunya. Memaksa pepohonan dan bangunan untuk tunduk sujud kepada-Nya. Membuat kecut banyak hati yang selama ini mungkin lalai menyembah. Sementara jiwa yang bersih semakin tunduk akan kebesaran Allah 'Azza wa Jalla. Beribu tangan berusaha menggapai apa saja. Beribu kaki pula mencoba berlari sekuat tenaga. Namun apalah daya, gelombang maha dahsyat merampasnya dengan paksa. Lalu, direnggutnya orang-orang tercinta dari sisi mereka yang hanya mampu menatap pasrah. Sekejap, Serambi Mekah porak-poranda. Suasana pagi yang biasanya ceria, kini berganti mencekam. Panik! Di sana-sini hanya terdengar erangan, rintihan dan ratapan. Jutaan do'a seketika menghambur ke angkasa, suaranya bergemuruh membahana. Meremukkan ruang batin bagi setiap jiwa yang mendengarnya. Saat itu, sangkakala bagaikan telah ditiupkan. Gaungnya menyampaikan kabar tentang duka nestapa dan juga kematian. Lantas... Terpampanglah pemandangan yang kembali menyentak kesadaran. Ribuan mayat bergelimpangan dengan tubuh membengkak. Tergeletak di trotoar jalan, mengapung di pinggir sungai atau tersangkut di pepohonan. Ada pula yang tersembul dari setiap sudut rumah, terjepit di reruntuhan, bahkan terkubur dalam tumpukan sampah. Bau tak sedap kemudian menyengat dari segala penjuru arah. Aromanya mengundang lalat berdansa suka cita. Banyak di antaranya adalah anak-anak tanpa dosa. Wajah polosnya terlihat tersenyum bahagia, menanti saat harus dikebumikan dalam lubang-lubang besar. Secarik kain usang cukuplah sebagai pengganti kafan. Sementara yang masih hidup diam termangu. Lantas sambil berurai air mata tertatih-tatih melangkah kecil mencari ayah dan bunda. Tak tahu, entah di mana orang tua tercinta berada. Pun, tak tahu pula dengan masa depannya karena hidup kini sebatang kara. Tampak juga di sebuah sisi jalan, beberapa orang dewasa bahkan terlihat telah terguncang jiwanya. Sementara beribu wajah lainnya pias, didera ketakutan. Mata kuyu, dan tubuh pun gemetar karena rasa lapar yang teramat sangat. Air bening tak usai beruah di wajah mereka, ditingkahi teriakan histeris menyayat hati siapapun yang mendengar. Jutaan butir air mata itu seakan tak mampu menghapus rasa duka yang begitu mendalam. Bahkan, tetesannya tak akan dapat membersihkan lumpur kental di jalanan. Mungkin butuh banyak waktu untuk melihat Serambi Mekah pulih seperti sedia kala. Pun, entah kapan bisa terukir senyum di wajah mereka, karena hari-hari yang nanti dilalui pasti semakin hening dan sepi. Tak akan ada lagi senandung buaian cinta yang dilantunkan ibunda untuk menghantar lelap buah hatinya. Keajaiban pula untuk mendengar kembali canda mesra istri-istri dan para suaminya. Mereka telah tiada, pergi untuk selama-lamanya. Rasanya hanya helaan nafas berat yang terdengar atau bunyi tetesan butir air mata yang jatuh membasahi tanah. Selamat jalan abang, kakak dan adik tercinta. Tak usah semaikan lara di hati, karena memang dirimu tak akan pernah sendiri. Lihatlah, bahkan di langit malaikat pun terpekur muram dengan wajah sedih. Sepasang matanya yang teduh turut menangisi isi bumi. Bernyanyi dan menarilah dengan riang gembira di alam sana. Ajak ananda tercinta bermain air di sungai-sungai kecil dan tenang. Biarkan tangan mungil mereka asyik menangkap ikan-ikan, karena tak akan ada Tsunami yang mengancam. Bacakan pula dongeng dan kisah kepahlawanan pejuang Aceh di bawah pohon-pohon rindang. Jangan khawatir, takut dan resah, bukankah di sana tak akan ada lagi pembunuhan, pemerkosaan atau letusan senapan. Suasana pun pasti menyenangkan seperti yang selama ini engkau impikan.. ********** Musibah demi musibah Allah timpakan silih berganti namun manusia durhaka tetap saja tak mau sadar. Bahkan dengan kepongahannya, mereka mengemas setiap kemaksiyatan sedemikian rapih, sehingga tidak terasa lagi kalau perbuatan tersebut adalah mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta'ala.. saat tsunami menghantam, MESJID TIDAK ROBOH...!! Ia memberikan pesan: bangunlah Aceh, makmurkan Aceh -- negeri para syuhada -- dari masjid.. Masjid menjadi titik awal, titik nol, untuk kemudian bergerak membentuk lingkaran puluhan, ribuan, jutaan kilometer menyebarkan kebajikan, keindahan, perlindungan, keteduhan, amar makruf nahi mungkar..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun