Selanjutnya berhubungan dengan nasib yang harus dirasakan oleh para pelaku terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukan sebelum adanya ketentuan aturan undang-undang tertulis. Keadaan tersebut menjadi tambah dilematis dengan situasi yang dirasakan para korban, mereka secara jelas menuntut adanya keadilan hukum kepada negara, sedangkan negara tidak memiliki produk hukum tertulis untuk dapat menjerat pelaku. Sistem hukum yang cenderung kaku dengan mendasarkan pada asas fundamental yaitu asas Legalitas sebagai pegangan utama untuk dapat merealisasikan sangsi hukuman kepada pelaku, berakibat pada kekosongan hukum ketika dihadapkan pada keadaan dimana perbuatan melanggar hukum tidak di iringi dengan adanya produk hukum, sehingga pelaku akan dapat dikenai aturan hukum atas perbuatannya ketika sudah ada ketentuan tertulis dalam undang-undang.
Asas legalitas merupakan bentuk dasar dari lahirnya sebuah sangsi hukum pidana, inipun sudah tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi "tidak ada suatu perbuatan dapat di Pidana kecuali atas ketentuan aturan Pidana dalam Perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan". Keadaan ini menjadi pemicu timbulnya kontradiksi antara asas Legalitas dengan asas Retroaktif, maka jika ditemukan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku sedang aturan sangsi terhadap perbuatan tersebut belum ada, maka memungkinkan pelaku tidak akan mendapatkan sangsi hukuman atas perbuatannya. Semua itu akan menjadi polemik yang berkepanjangan berkaitan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan terhadap salah satu fungsinya dalam menegakkan keadilan, yang justru memberikan keuntungan kepada pelaku, ataukah hukum harus tetap berdiri tegak sebagai jalan tengah dalam penegakan keadilan, dengan mengenyampingkan asas legalitas pada satu sisi dan mengedepankan asas retroaktif di sisi yang lain.
Kontradiksi semacam ini menjadi sangat dilematis dalam pembangunan sistem hukum dari banyak sisi Pertama; pelaku seharusnya mendapatkan sangsi hukuman atas perbuatanya, Kedua; Para korban dan atau keluarganya menuntut adanya keadilan, Ketiga; tidak ada aturan baku dalam perundang-undangan yang menjelaskan tentang sangsi hukuman atas perbuatan yang dilakukan pelaku (Kekosongan hukum). Lahirnya asas legalitas pertama kali dikemukakan oleh  Anselm Von Feurebah dan Samuel Von Pufendorf keduanya menekankan asas legalitas tersebut pada tiga unsur mendasar yaitu; Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tampa ketentuan undang-undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tampa kejahatan), Nulla crimine sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tampa pidana menurut undang-undang), Tiga unsur tersebut sebagai acuan mutlak lahirnya asas legalitas, sehingga kecenderungan asas legalitas ini yang terkesan sangat kaku menjadikan sistem hukum tidak dapat hidup dan berkembang siring dengan dinamika kehidupan masyarakat umum.
Maka kumudian asas retroaktif merupakan langkah yang cukup efektif untuk dapat memberikan alternatif atau jalan tengah dalam sisitem dan pembangunan hukum, asas ini tidak terlalu menekankan terhadap ada atau tidaknya aturan hukum secara tertulis, sehingga siapapun pelaku kejahatan akan mendapatkan sangsi hukuman sekalipun belum ada aturan yang mendasarinya. Berbanding terbalik dengan asas legalitas yang titik tekannya berada pada aturan perundang-perundangan tertulis sebelum perbuatan tersebut dilakukan (Lex temporis delicti). Apabila dikaji secara historis implementasi dalam pelaksanaan hukum Pidana memposisikan asas retroaktif sebagai salah satu asas yang mendasari lahirnya produk hukum, artinya asa retrosktif masih eksis sekalipun hanya terbatas pada pidana hukum tertentu. Ini menjadi bukti bahwa dasar pemikiran dari larangan terhadap pemberlakuann asas retroaktif masih mempunyai ruang yang luas, relatif dan terbuka untuk didiskusikan. Terlebih jika dihadapkan dengan perkembangan peradaban manusia yang sangat kompleks mengharuskan peranan hukum, terlebih hukum pidana semakin diperluas.
Pada prinsipnya peranan dari asas legalitas tidak hanya terpaku pada ada atau tidaknya undang-undang yang mengatur terhadap perbuatan tersebut, karena secara materill segala bentuk aktivitas perbuatan hukum sudah ada aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat, yaitu aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan dalam pelaksanaan asas retroaktif lebih menekankan terhadap pemberlakukan hukum tidak tertulis, ini berlaku pada perbuatan atau pelanggaran hukum yang terjadi ketika ketentuan hukumnya belum ada (tidak tertulis). Namun demikian apabila di kaji lebih mendalam sebenarnya asas legalitas materiil dan retroaktif ini bisa menjadi sama, yaitu suatu perbuatan yang diatur dalam hukum tidak tertulis bisa menjadi produk hukum tertulis kemudian setelah adanya kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H