Mohon tunggu...
Saifana Iluj D.H
Saifana Iluj D.H Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Geografi, Universitas Negeri Malang

2019-Sekarang : Mahasiswa Geografi 2020 :HMJ Geografi Volcano 2020-Sekarang : IPRI UM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendidikan Rendah, Ya Sudah Menikah Saja

2 April 2021   21:06 Diperbarui: 2 April 2021   21:08 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prajekan Kidul, Bondowoso- Sebagai salah satu desa yang terbilang cukup maju di Kabupaten Bondowoso dibuktikan dari heterogenitas penduduknya yang bukan hanya penduduk asli Desa Prajekan Kidul namun juga banyak pendatang dari luar kota seperti Madiu, Solo, dan Yogyakarta. Hal ini karena Desa Prajekan Kidul memiliki salah satu Pabrik Gula terbesar di Jawa Timur dan satu-satunya Pabrik Gula di Kabupaten Bondowoso. Meskipun penguasaan teknologi masih kurang, namun desa Prajekan Kidul sudah dimasuki oleh internet sejak beberapa tahun lalu dan sebagian besar masyarakatnya sudah memiliki dan mampu menggunakan handphone pintar atau smartphone dengan cukup baik.

Akan tetapi, disamping perkembangan yang ada ditengah masyarakat Desa Prajekan Kidul, ternyata sampai saat ini masih ditemukan permasalahan sosial yang sejak lama sudah ada ditengah-tengah masyarakat yaitu pendidikan rendah dan pernikahan dini. Salah satu warga desa Prajekan Kidul yang termasuk dalam daftar masyarakat berpendidikan rendah dan memutuskan untuk menikah dini adalah bapak Muhammad Kodratus Sholeh dan istrinya ibu Nanik Sugiarti. Mereka memutuskan untuk menikah pada saat usia mereka 16 tahun. Pernikahan yang terhitung masih sangat muda ini dipillih karena memang keduanya putus sekolah dah hanya berijazah SMP. "Ya saya berhenti sekolah pas sudah lulus SMP. Sudah itu kerja, terus menikah", penjelasan bapak Muhammad Kodratus Sholeh atau yang akrab disapa bapak Kokok pada saat diwawancarai pagi, 2 April 2021 dikediamannya. Beliau mengaku selepas SMP bekerja serabutan, seperti mencari pasir disungai, menjadi kuli bangunan, hingga saat ini mantap memutuskan untuk menjadi sopir pick-up. "Ya dulu, waktu awal-awal nikah ya susah. Mau cari kerja susah, kan ijazah cuma SMP. Jadi ya jadi kuli, nyari pasir, sopir, semua dikerjakan, dik.. hehe", jelasnya.  

Bapak Kokok dan istrinya memutuskan menikah pada tahun 2010 dan saat ini telah dikaruniai dua anak yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar dan balita. "Kalou mas sekarang Alhamdulillah enak. Sudah bisa jadi sopir. Dulu ya susah, buat sehari-hari masih minta orang tua." Tambah ibu Nanik saat ditanya perihal suaminya.

Seiring berjalannya waktu terutama sejak sekitar tahun 2019-sekarang, kepala desa Prajekan Kidul tengah gencar-gencarnya mensosialisasikan terkait pernikahan dini. Selain itu juga diadakan program kejar paket bagi masyarakat yang masih berpendidikan rendah. "Ya saya ikut, paket. Ya sekolah, malam tapi, pulang kerja-sekolah. Biar dapat ijazah" tambah bapak Kokok. Menurutnya, sekolah adalah hal yang penting, karena dengan bersekolah kita akan menambah ilmu, pertemanan, pengalaman, dan tentunya ijazah untuk bekerja. "Saya sekarang kerja keras biar anak-anak saya bisa sekolah, ndak kayak bapak ibunya". Pungkasnya.

Berdasarkan hasil wawancara bersama bapak Kokok dan ibu Nanik, memberikan pembelajaran besar terkait pentingnya pendidikan. Selain itu, dari salah satu contoh permasalahan sosial tersebut mampu membuka mata kita bahwa pada lingkungan sekitar kita ternyata masih ditemukan orang-orang yang berpendidikan rendah dan memutuskan untuk menikah karena keterbatasan perekonomian untuk bersekolah dan tuntutan keadaan untuk dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itulah, sebagai mahasiswa yang hidup ditengah kemajemukan masyarakat termasuk beragam permasalahan sosial yang ada, sudah sepatutnya dapat memberikan tauladan, edukasi, pemahaman, atau paling tidak memiliki kepekaan terhadap permasalahan sosial ditengah masyarakat. Hal ini karena, mahasiswa dianggap orang yang berpendidikan, yang dengannya diharapkan mampu menjadi jembatan dari keberagaman permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Ditulis oleh :

Saifana Iluj' Dhia .H

SI Geografi, Universitas Negeri Malang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun