Mohon tunggu...
Said Umar
Said Umar Mohon Tunggu... -

Confident, Open minded, en simple..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

I Will Move On ...

5 Maret 2012   06:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kenapa harus Papua, Al?” tanyaku resah.

“Karena kondisi guru di Papua masih memprihatinkan, sayang. Terutama di daerah  terpencil. Seperti Kabupaten Paniai, Dogiai, Intan Jaya, Mamberamo Raya, Puncak Jaya, Lani Jaya, Ndugga dan masih banyak lagi di Kabupaten lainnya.”

“Iya, aku tahu itu, Al. Tapi kenapa harus kamu? Biarkan orang lain saja yang berangkat. Lagi pula Indonesia ini kan luas, sayang, kamu bisa memilih pulau lain untuk mengabdi.” kataku lagi masih dengan resah yang berlipat-lipat.

“Karena hatiku mengatakan aku harus berangkat. Aku sudah membuat keputusan dan tidak mungkin ku ubah.”

Aku menekuk wajahku lebih rapat. Kecemasanku sudah mencapai stadium 4 dan benar-benar menggrogoti ketenanganku tak bersisa.

Oh Tuhan, Bagaimana bisa ia tenang dan sebahagia itu berangkat ke tempat yang penuh dengan konflik?

“… bisa berangkat ke sana adalah salah satu impianku, sayang,” katanya lagi seakan membaca pikiranku. “Aku tidak mungkin memberikan kesempatan emas ini kepada oranglain. Semua surat-surat tugas sudah selesai kuurus. Akhir minggu ini aku akan berangkat.”

Kutelan dalam-dalam air liur untuk membasahi lubang tenggorokanku yang mendadak mengering.

“Aku ingin mereka bisa belajar lebih baik lagi. Mereka mempunyai hak yang sama untuk bisa merasakan suasana belajar yang sama seperti yang lainnya. Aku tidak mau mereka menderita hanya karena tidak tahu tentang perkembangan dunia. Mereka sesungguhnya mampu jauh lebih pintar dan hebat daripada negara barat. Aku yakin itu,” ujarnya dengan semangat kepahlawanan.

“Tapi, Al, disana itu …”

“Aku sudah tidak bisa menunggu lagi, Ra. Menunggu pemerintah untuk bergerak itu susah. Lama sekali. Ngurus sekolah yang mau ambruk di kota-kota besar saja reaksinya lamanya bukan main, apalagi yang di daerah terpencil seperti disana. Jika bisa kutangani sendiri, mengapa harus menuggu tenaga bantuan mengajar dari pemerintah? Kasihan mereka sudah menunggu terlalu lama.”

Aku menghela nafas panjang. Mencoba memahami tiap kata yang ia ucapkan.

“Mengajar itu adalah kebaikan. Dan setiap orang, harus berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan itu. Kalau sekarang kesempatan untuk mendapatkan kebaikan itu datang, mengapa harus aku memberikannya kepada orang lain?”

“Tapi kan kamu tahu, kalau kondisi disana itu sedang tidak stabil. Banyak pembrontakan disana-sini.”

“Iya. Aku tahu itu. Dan aku harap kamu tidak perlu cemas ya.”

“Lho kok begitu? Nggak salah kan kalau aku mencemaskan pacarku sendiri?” ujarku sengit.

“Iya, sama sekali tidak salah, sayang, maafkan aku,” katanya lembut sambil membelai pipiku. “Tapi aku berharap kamu bisa memberikan porsi kecemasanmu dengan pas. Jangan sampai kecemasan itu yang membunuh dirimu sendiri, sayang, apalagi kamu kan sedang butuh konsentrasi untuk menyusun skripsi,” tuturnya lembut dan bijak. “Do’akan saja yang terbaik dan semoga tidak terjadi apa-apa ya.”

Kala itu aku langsung merengut setelah mendengar semua penjelasan darinya. Mau tidak mau, aku harus terima. Keras. Ya itulah wataknya jika sudah membuat keputusan. Tidak ada satu pun orang yang bisa mematahkannya, kecuali dirinya sendiri.

Aldi bukanlah lulusan sarjana pendidikan. Ia seorang arsitek muda yang baru saja lulus dengan nilai nyaris sempurna. Arsitek bukanlah mimpinya, itu hanyalah sekadar pemenuhan hasrat orangtuanya yang ingin agar nantinya tahta kepimpinan perusahaan property itu bisa dipimpin oleh putra sematawayangnya. Seorang arsitek muda yang cakep dan cakap dibidangnya.

Meskipun telah lulus sebagai seorang sarjana arsitektur, Aldi tidak mematikan keinginannya sejak kecil untuk menjadi seorang guru. Pernah sesekali aku bertanya mengapa ia sangat ingin menjadi seorang guru padahal menjadi arsitek jauh lebih menyenangkan apalagi orangtuanya sudah memiliki perusahaan besar di bidang yang sama. Tapi, tahu apa yang ia katakan?

“Menjadi arsitek memang enak. Tapi lebih enak lagi menjadi guru. Kamu tahu kenapa?”

Aku menggeleng pelan.

“Bagiku menjadi guru itu mengasyikan. Karena kita bisa berbagi ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak. Dan salah satu amal yang tidak akan terputus sampai hari kiamat adalah ilmu yang bermanfaat bukan?” terangnya dengan nada retoris. “Nah kalau sudah begitu, coba, hayoo kurang mengasyikan apa?”  tambahnya sambil menjawil daguku.

Aku tertawa renyah, “Ah, kamu bisa saja.”

“Lagi pula, aku ingin hidup bukan hasil dari keringat orangtuaku. Aku lelaki satu-satunya dan aku sudah dewasa. Jika aku ingin menjadi pengusaha sukses, ya bukan dari turunan, tetapi sukses hasil dari keringatku sendiri.”

Ya, itulah Aldi. Aku selalu terkagum-kagum dengan semangat dan pola pikirnya. Kalau ada yang bertanya siapa lelaki terindah yang pernah kutemukan dalam hidupku. Maka dengan lantang aku akan menyebutkan namanya.

Aldi bukan hanya sekedar cakep secara fisik, tetapi ia juga cakap dalam membuat mind mapping hidupnya.

Salah satu impian terbesar Aldi yang kutahu adalah ia ingin membangun sekolah gratis untuk para penyandang cacat dan anak-anak yang kurang mampu. Ia ingin semua orang bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

Keterbatasan fisik atau pun biaya seyogyanya tidak menjadi halangan untuk mereka mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka juga manusia sama seperti kita, yang telah Tuhan berikan modal yang juga sama, yaitu berupa otak. Sayang sekali jika tidak dimaksimalkan dengan baik. Begitulah yang Aldi pikirkan selama ini.

Aldi begitu mencintai anak-anak dan hal itu yang membuatku semakin memantapkan bayanganku, bahwa Aldi adalah sosok lelaki penuh kasih yang cocok untuk kujadikan seorang suami.

Tapi, Hmm…

DEG! Srrrrrr…

Ah, desiran halus itu datang lagi. DAMN! Kenapa aku harus memikirkan Aldi lagi?

Kami sudah putus. Entahlah karena alasan apa, aku juga tidak tahu. Yang jelas semenjak hari itu, ia berubah dan komunikasi diantara kami hanya berjalan satu arah. Dariku, dan dia tidak pernah membalasnya. Aku sudah lelah.

“Dia bukan lelaki yang baik, Ra, dengan menggantungkanmu tanpa kepastian seperti ini.”

Ya, aku nyaris gila menunggunya kabar darinya. Aku mencoba semua jalur komunikasi tapi tak ada yang berhasil untuk menyampaikan rasa rinduku padanya. Mungkin sampai, namun tak terbalaskan. Aku sempat berpikir demikian.

Byuuurr….

Tiba-tiba hujan turun dengan deras diluar sana. Padahal baru beberapa menit yang lalu cuaca begitu terik.

Hmm… sekarang cuaca begitu cepat berubah. Ya tidak jauh berbeda dengan keadaanku sekarang. Rasanya baru kemarin berkenalan dengannya, ia melakukan pendekatan, pacaran, eh nggak terasa sekarang sudah jadi mantan.

Mungkin ini yang sering orang-orang bilang, life is never flat, alias hidup tuh nggak datar. Pasti selalu berubah-ubah. Termasuk masalah percintaan.

Kaca jendela kamar mulai mengembun. Aku berjalan pelan menghampirinya sambil membawa secangkir kopi hitam dengan kepulan asap yang bergulung-gulung. Kopi hitam dengan sedikit gula-  minuman kesukaan Aldi dulu.

Aku sudah membuat keputusan bulat –kalau tidak mau disebut nekat.

Bibirku terus mencumbu pinggir cangkir putih. Menyesapi kopi hingga tandas. Aku sedang berupaya keras melepas semua cerita cinta aku dengannya disini. Namun apa yang kudapati? Ampas kerinduanku padanya ternyata masih membekas jelas. Lengkap dengan lengkungan senyumannya yang sempurna dan sorot matanya yang, Ah, selalu membuatku jatuh ke titik paling dalam di bawah alam sadarku.

Selama ini Aldi sudah mengajariku begitu banyak tentang berbagai macam hal. Tetapi, ada satu yang tidak ia ajarkan padaku, yaitu bagaimana caranya agar aku bisa melupakannya dengan cepat. Ia tidak mengajarkannya. Hm, mungkin ia lupa, atau mungkin juga ia memang sengaja tidak mengajarkannya supaya aku tersiksa. Hiks…

Please, jika ada tukang obat keliling yang menjual obat amnesia untuk melupakan sang mantan, berapa pun harganya, akan aku usahakan untuk membelinya.

Sungguh rasa seperti ini begitu menyiksa. Aku nyaris gila. Ah, tidaaaaak…

“Mungkin ada baiknya lu pindah, Ra,” ujar Sevilla.

“Iya. Lebih baik lu pindah daripada lu terperangkap kayak gini terus sama masa lalu. Ayo pilih mana?” kata Naya menambahi.

“Iya, Ra. Lu nggak bakal bisa maju kalau terus murung kayak gini. Lu harus move on!”

Apa yang mereka katakan benar. Aku memang harus move on. Nggak bisa mentok di kondisi seperti ini. Thanks, Ladies…

Dan di malam terakhir ini, aku ingin menghabiskannya bersama sahabat setiaku, Lappy –panggilan sayang untuk laptop jadulku. Sebelum besok aku pindah kos-kosan. Terlalu banyak kenangan manis yang menyiksa batin dikamar kosku ini. Aku harus mempunyai tempat tinggal yang baru dengan suasana yang baru. Supaya otakku lebih fresh, sehingga aku bisa menyelesaikan semua program kerjaku dengan baik.

Lappy sudah memanggil-manggilku manja. Aku pun mulai mengetik dengan syahdu,

And finally, yes! Akhirnya besok aku akan memulai hidupku yang baru, Ry… Ah, senangnya J

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun