Mohon tunggu...
Said Umar
Said Umar Mohon Tunggu... -

Confident, Open minded, en simple..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

DANAU UNGU: Aku Masih Menunggumu

10 Februari 2012   02:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rinai hujan turun ke bumi. Menari-nari diatas tanah yang sudah lama mengering.

Dibawah payung merah muda langkahku berjalan pelan menuju tepian kenangan. Sebuah danau ungu telah menungguku.

Aku berdiri terpaku ditepi dermaga buatan. Memandang jauh ke awan. Berharap cuaca cepat berubah sehingga saat langit mulai gelap aku tidak perlu lagi meringkuk ketakutan, kedinginan, dibunuh rasa sepi yang mengintai dari segala sisi.

“Aku menginginkanmu pulang,” bisik hatiku pelan.

Entahlah ini musim hujan yang keberapa ku lalui tanpamu.

Tanah basah. Hatiku pun demikian.

Setangkup penyesalan menyayat-nyayat perasaanku. Kehilanganmu adalah satu musibah besar dalam hidupku.

Andai saja rotasi bumi bisa ku hentikan dan ku putar mundur. Aku ingin berlari mengejarmu. Menghamburkan pelukan erat, melilitkan ciuman hangat, dan mencegahmu untuk tidak pergi dariku. Tapi itu hanya anganku saja.

13288411861750713028
13288411861750713028

Aku juga tidak tahu mengapa waktu itu aku begitu bodoh menamparmu dan menyuruhmu pergi dari kehidupanku dan jangan pernah kembali lagi. Kenapa aku harus melakukan itu?

Seharusnya aku diam saat dirimu mengatakan, “Sayang, aku harus berangkat ke Papua minggu depan.”

Seharusnya aku memahami kesibukanmu sebagai seorang kontraktor yang mempunyai kesibukan tinggi. Seharusnya aku bisa memahami itu, tapi mengapa yang ada malah sebaliknya. Aku menyuruhmu pergi dengan alasan sangat sepele sekali.

Seharusnya jika aku memang mencintaimu, aku rela menghabiskan waktuku untukmu. Menunggumu pulang dan kita lanjutkan merancang mimpi-mimpi kita di pinggiran danau ungu ini.

Ah, sekarang aku kesepian. Yang bisa ku lakukan hanya memutar slide-slide kenangan indah kita.

Dan saat kupejamkan mataku, semua semakin nampak lebih jelas.  Senyumanmu yang lembut nan menghangatkan, tatapan matamu yang tajam nan meneduhkan. Ah indah…

Hujan mulai turun dengan jeda. Angin pun berhembus pelan menghantarkan dengan lembut rekaman suaramu yang teratur dan berwibawa.

Ah, tidak! Cukup sampai disitu. Aku sudah tidak kuat lagi. Menanggung semua pedih ini sendirian.

Aku sudah tidak kuat lagi berlama-lama. Aku pun menjauh dari dermaga. Kuputuskan untuk pulang saja, karena aku sudah nyaris gila.

Mungkin aku akan kembali lagi dalam satu purnama dan kuharapkan cuacanya sudah berbeda. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun