Mohon tunggu...
Said Umar
Said Umar Mohon Tunggu... -

Confident, Open minded, en simple..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diary Biru: Secangkir Kerinduan

3 Februari 2012   10:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Diary… Entahlah bagaimana aku harus mengatakannya padamu lagi. Mungkin dirimu sudah jengah mendengar kalimatku yang satu ini, “Ry, aku merindukannya. Aku ingin dia pulang. Kembali lagi ke Jakarta.” Kamu tahu betul bagaimana aku sangat merindukannya kan? Tidak ada satupun rasa yang ku dustai darimu, Ry. Siang ini aku duduk sendiri disudut Mc.D Bintaro. Memilih kursi di pojok dekat Mc.Cafe. Disamping jendela besar, rinai hujan mulai tergambar dengan jelas. Ry, hujan semakin deras. Aku meringkuk sepi dalam secangkir kopi. Hatiku ngilu, Ry. Kala sejenak aku mengingat senyum manis dan tatapan matanya yang menghangatkan. Aku menginginkan moment itu kembali terulang. Saat aku berdua dengannya di Cafe Cangkir. Kamu ingat kan, Ry? Moment yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya dan itu benar-benar terjadi. Ah, indahnya… Saat itu ia datang dengan nafas tersengal karena belari menghindari hujan yang turun dengan deras. Meskipun sudah begitu, rambutnya tetap basah. Ah kaciaaaan… :’( Mataku yang begitu sensitif langsung menangkap kedatangannya. Aku memandangnya dari kejauhan dan ia membalasnya, Ry! WOW!  rasanya aku ingin melayang-layang jauh ke awan dan menarikan tarian hujan dengan begitu riang. Aku sangat bahagia. Apalagi saat melihat ia berjalan ke arahku. Aku terseret jauh ke bawah alam sadarku. Ia benar-benar nyata. Ia datang memenuhi janjinya untuk menemuiku. Spontan senyumku melebar beberapa senti dan aku menunduk malu. Kurasakan pipiku hangat, Ry. Mungkin saat itu pipiku merona merah jambu, biru, atau ungu. Ah aku tidak tahulah. Yang aku ingat betul adalah aku nyaris gila ketika dia berdiri didepan mejaku, duduk, lalu menyapaku, “Hai, sudah lama?” “Ya, lumayan. Tapi tidak masalah, aku rela menghabiskan waktuku untukmu,” sahutku dalam hati. Aku tidak kuat membuka bibirku, Ry. Semua kata-kata seakan terpenjara rantai besi dengan gembok berlapis. Kalau seandainya saja aku punya kuasa untuk memberhentikan waktu, maka akan ku lakukan itu. Aku ingin waktu saat itu tidak lagi berputar. Biarlah tetap dalam detik yang sama. Karena aku menginginkan waktu berdua hanya bersamanya, Ry. Baru kali itu aku bisa dengan puas merekam dirinya. Ia tidak hanya sekedar indah, Ry. Tapi lebih dari indah, ia nyaris sempurna (walau ku tahu, tidak ada manusia yang sempurna). Aku benar-benar mengangguminya sejak pertama bertemu. Kamu tahu itu kan, Ry? Pastilah ya…  Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Walau banyak dari teman-temanku yang tidak mempercayai, bahwa cinta pada pandangan pertama itu kata mereka tidak ada. Ah tapi biarlah, itu kan mereka. Boleh dong aku meyakini sesuatu yang kuyakini ada. Aku jatuh cinta padanya, Ry. Cinta pada pandangan pertama…

Aku sangat berterimakasih sekali pada-Nya yang telah menurunkan hujan. Karena hujan, aku dan dia bertemu, duduk berhadapan, hanya terhalang meja bundar, hiasan bunga seadanya, dan dua cangkir coffee mocha (yang ternyata selera kami sama). Karena hujan telah memberikan kesempatan pada langit untuk mempersiapkan diri menghadirkan senja yang indah selepasnya. Sore itu senja berkabut dan ia mengantarkanku pulang. Uuuoooh… betapa indahnya sore kala itu, Ry. Kamu tahu, rasanya aku ingin melukis namaku dan namanya dalam sulaman emas dilangit sana. Sesampainya di rumah, ia ikut turun dan mengantarku sampai depan pintu masuk (padahal aku sih inginya sampai depan pintu kamar, Ry). Hatiku berdebar kencang. Membayangkan ia mengecup keningku dan berkata, “Selamat istirahat sayang, sampai ketemu besok.” Tapi bukan itu yang ia katakan, Ry… hiks. Kamu tahu kan apa yang ia katakan pada waktu itu? hiks… Dia bilang, “Do’akan aku ya. Besok aku berangkat ke Papua.” Aku terkejut bukan main, ingin berteriak, “Hah? kenapaaaaaa?” tapi ku urungkan. “Dalam rangka apa?” “Aku diminta menggantikan Papa memantau pekerjaan disana. Ada usaha pertambangan milik keluarga.” “Skripsi kamu?” “Aku pending dulu.” “Berapa lama disana?” “Masih belum tahu, mungkin hanya enam bulan. Mungkin juga lebih.” “Oh…” Hanya ‘Oh’ yang terakhir keluar dari mulutku, Ry. Ah, aku menyesal mengapa hanya dua huruf itu yang keluar. “Aku pulang ya. Terimakasih, ternyata kamu orang yang menyenangkan. Lain waktu kita sambung pembicaraan kita tentang cinta, coffee, dan hujan.” Aku hanya tersenyum tipis. Dia membalikan badannya dan pulang, Ry. Hiks… Sampai detik ini yang sudah memasuki bulan ke delapan semenjak kepergiannya, ia belum juga kembali, Ry. Hiks…
Ku tatap lekat coffee yang tadi kupesan pada pelayan Mc.D. Coffeeku sudah dingin, Ry dan kulihat disana ada rindu yang menggenang. Auuuch, Ry… aku rindu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun