Saat ini, memasuki akhir ramadhan, muslim meningkatkan ibadah, untuk mendapatkan Lailatul Qodar; malam yang bermakna 1000 bulan.  Pada acara televisi; ceramah dengan thema Lailatul Qodar tersedia di banyak stasiun, untuk pemirsa nikmati.  Selama  sebulan penuh; muslim menikmati banyak ibadah; memperbaiki kualitas rohani dan jasmani serta melakukan pendakian spiritual.
Adalah menjadi harapan, setelah romadhon, sikap kebaikan yang ada menjadi sebuah kebiasaan yang dapat dilanjutkan. Â Sayangnya, kebanyakan dari kita (termasuk penulis), tidak mampu menjalankannya. Â Hal itu akan tampak; bahwa setelah romadhon, berbagai 'perilaku buruk' akan terulang lagi dan seperti tidak membekas. Â Mengapa hal ini terjadi?
Pertama; kita memaknai puasa sebagai kewajiban. Â Sesuatu yang wajib itu memberatkan dan 'menyakitkan'. Â Kata wajib adalah hukuman 'pertama' untuk para 'mbalelo' atau yang suka bandel. Â Kalau tidak diwajibkan maka tidak patuh. Â Jadi kepatuhan kita semu!. Â
Nah untuk itu perlu merubah 'makna' wajib menjadi hak atau lebih tinggi lagi sebagai kebutuhan. Dengan mengubah menjadi hak, kita menyadari puasa adalah 'hak tubuh' dan 'hak jiwa' untuk mendapatkan kebaikan dan itu menjadi kebutuhan. Â
Mendapatkan (membutuhkan) kebaikan itu, bukan hanya di bulan romadhon tetapi juga di bulan lainnya, sehingga sepanjang waktu kita harus 'merasa puasa' walau tidak harus selalu berpuasa.Â
Pemaknaan bahwasanya kita butuh berpuasa, menahan diri dalam berbagai hal (sederhana, rendah hati; tekun; hemat; bermanfaat, dll) demi kebaikan diri sendiri dan masyarakat; akan memudahkan puasa kita dan menaikkan level puasa itu dari seremonial menjadi lebih luas konteksnya. Â Tentu saja berdosa jika kita tidak berpuasa (di bulan romadhon). [bagaimana jika di bulan romadhon, ada muslim yang tidak 'berpuasa'?]
Kedua, fokus kepada 'hadiah'. Â Bulan puasa, amal sholeh dilipatgandakan sehingga banyak muslim termotivasi untuk melakukannya, tadarrus quran, sholat malam, sedekah; dan banyak lainnya. Â
Setelah itu maka hilang senyap. Â Tidak ada yang salah dengan kasih Alloh SWT untuk memberikan ganjaran amal; hanya saja salah fokusnya muslim hanya terbatas pada hadiah, bukan menjadikannya kebiasaan. Â Jika dimaknai dengan perlahan, maka amalan itu 'tidak perlu' dilipatgandakan namun yang perlu adalah 'dijaga menjadi kebiasaan'. Â Alloh lebih menyukai ibadah yang dilakukan sedikit namun kontinyu. Â
Mengapa? Karena hal itu menunjukkan kebiasaan, hal yang sulit, dan bersumber dari iman. Â Kita perlu merefleksikan romadhon lebih panjang dari bulan romadhon itu sendiri. Jadi jika rajin di bulan romadhon, hendaknya itu menjadi kebiasaan lainnya.
Ketiga, fisik dan jiwa merupakan komponen yang harus dipelihara. Â Kata nabi, banyak yang puasanya hanya dapat lapar dan haus (hilang amalnya). Â Kontrol jiwa ternyata kuncinya. Â Kontrol jiwa sepanjang waktu, bukanlah soal mudah; tetapi seorang muslim harusnya berterima kasih, karena diberi isyarat di bulan romadhon. Â Memanjangkan romadhon dengan mengkontrol/melatih 'jiwa' di bulan lainnya akan menjadikan romadhon bukan lagi sebagai kewajiban.Â
Keempat, kesadaran diri (inner beauty) adalah kunci dari melepaskan kewajiban. Â Seorang muslim, tidak mau makan/minum, mesti tidak ada yang melihat, namun yakin puasanya batal (Alloh SWT melihat). Â Jika berbagai hal positip, menjadi 'inner beauty' kita, maka romadhon kita sudah menjadi panjang dan bukan menjadi kewajiban
Hanya Alloh SWT yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H