Perbaikan apa yang diperintahkan oleh MK? Jawabannya adalah pembentuk UU harus terlebih dahulu memperbaiki UU PPP sebagai landasan hukum pembentukan omnibus law, baru setelah itu membentuk UUCK yang sesuai dengan tata cara yang diatur dalam revisi UU PPP. Hal itu dapat dilihat dari uraian butir 3.20.2, halaman 413 pertimbangan Putusan MK sebagai berikut: [3.20.2] Bahwa pilihan Mahkamah untuk menentukan UU 11/2020 dinyatakan secara inkonstitusional secara bersyarat tersebut, dikarenakan Mahkamah harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Di samping itu juga harus mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya UU a quo. Oleh karena itu, dalam memberlakukan UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU 11/2020 a quo, sehingga Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU 11/2020 berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan.
Pertanyaan berikutnya adalah: implikasi hukum apa yang terjadi sejak putusan MK dibacakan sampai dengan berakhirnya tenggang waktu 2 (dua) tahun yang diberikan oleh MK kepada Pembentuk UU? Jawabannya adalah selama kurun waktu itu, UUCK belum dibatalkan. Dia masih dinyatakan berlaku tetapi dengan pemberlakuan yang bersifat limitatif.
Parameter limitatif disini menyangkut 2 (dua) hal. Pertama, terkait dengan tempusnya. Dari sisi waktu UUCK berlaku maksimal 2 (dua) tahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut Pembentuk UU tidak melakukan perbaikan, maka sifat inkonstitusional bersyarat UUCK berubah menjadi inkonstitusional permanen. Sehingga, segala aturan yang diubah atau dicabut oleh UUCK harus diberlakukan kembali. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam amar ke-4, amar ke-5, dan amar ke-6 Putusan MK.
AMAR PUTUSAN
- Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
- Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
- Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
Parameter limitatif yang kedua adalah terkait dengan substansi dan implementasi UUCK berikut aturan turunannya. Terhadap hal ini dinyatakan MK pada amar putusan ke-7 yaitu sebagai berikut:
Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
Untuk memahami maksud dari amar putusan ke-7 itu dapat dilihat pertimbangan MK yang dinyatakan pada butir 3.20.5, halaman 414 yaitu sebagai berikut: [3.20.5] Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa maksud dari amar ke-7 Putusan MK adalah sebagaimana diuraikan dalam butir 3.20.5, halaman 414 yaitu MK tidak menginginkan berlakunya UUCK selama 2 (dua) tahun ke depan akan menimbulkan dampak yang lebih besar sehingga untuk menghindari munculnya masalah tersebut MK dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan UUCK yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu.
Pertanyaannya: Apa yang dimaksud oleh MK dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas? Bagi buruh, dimaksud dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas adalah segala pengaturan yang terkait dengan soal pengupahan, soal pekerja kontrak (PKWT), soal outsourching, soal pesangon, soal PHK, soal tenaga kerja asing, dan pengaturan mengenai hari kerja dan cuti.
Oleh sebab itu, dengan mendasari pada pertimbangan hukum MK sebagaimana dinyatakan pada angka 3.20.5 dan amar putusan yang dinyatakan pada butir ke-7, maka KSPI meminta agar seluruh pengaturan ketenagakerjaan yang diatur dalam UUCK berikut aturan turunannya harus ditunda atau ditangguhkan pelaksanaannya.
Dengan demikian, implikasi hukum atas penundaan atau pengangguhan aturan UUCK berikut aturan turunannya itu adalah pengaturan mengenai upah, pekerja kontrak, outsourching, pesangon, PHK, tenaga kerja asing, hari kerja, dan pengaturan soal cuti harus tetap merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya. Â Â