[caption caption="Aksi buruh menolak PP JHT dan besaran iuran serta menfaat jaminan pensiun di Bundaran HI. Jumat, 2 Juli 2015 (Foto: Tim Media FSPMI)"][/caption]Apabila revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Jaminan Hari Tua  (PP JHT) hanya dilakukan dengan setengah hati dan asal-asalan, saya bisa memastikan buruh dan masyarakat Indonesia akan kembali turun ke jalan untuk melakukan penolakan.
Revisi yang hanya setengah hati itu, tercermin dari pernyataan Menteri Ketenagakerjaan dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan. Pada intinya, revisi terhadap PP JHT dilakukan hanya terkait dengan buruh yang ter-PHK dapat langsung mengambil dana jaminan hari tua. Sedangkan bagi buruh yang masih aktif bekerja, untuk bisa mengambil dana jaminan hari tua ketika sudah memenuhi masa kepesertaan 10 tahun. Itu pun, hanya 10% untuk persiapan hari tua dan 30% untuk perumahan. Sisanya, baru bisa diambil ketika sudah berusia 56 tahun. Jika revisi yang dilakukan hanya sebatas itu, tidak akan menyelesaikan tiga permasalahan yang mendasari penolakan terhadap PP JHT.
Jika buruh kembali melakukan penolakan, itu akan mempermalukan presiden Jokowi untuk yang kedua kalinya. Untuk pertamakalinya, Presiden dipermalukan dengan adanya gelombang aksi protes terhadap PP JHT yang baru berumur sehari dan belum diimplementasikan, tetapi sudah harus direvisi. Dan jika revisi yang dilakukan tidak sesuai dengan aspirasi kaum buruh, bukan tidak mungkin hal itu akan terulang untuk yang kedua kalinya. Jelas, ini buah dari kelalaian Menaker yang tidak memahami isu perburuhan.
Oleh karena itu, revisi PP JHT harus bisa menjawab tiga permasalah berikut:
Pertama, tentang pengambilan dana jaminan hari tua hanya bisa dilakukan jika sudah mencapai kepesertaan 10 tahun. Sudah begitu, seluruh dana jaminan hari tua baru bisa diambil setelah buruh berusia 56 tahun.
Waktu pengambilan yang terlalu lama, ditolak oleh buruh. Bagi buruh, jaminan hari tua sebagai tabungan yang bisa diambil ketika ada kebutuhan mendesak. Maka, revisi PP JHT harus dikembalikan pada aturan lama, yaitu dana jaminan hari tua dapat diambil setelah 5 tahun masa kepesertaan. Baik peserta aktif maupun yang sudah terPHK.
Kedua, tentang nilai dana jaminan haru tua yang bisa diambil hanya 10% dari total saldo dan 30% untuk perumahan. Sedangkan sisanya baru dapat diambil saat usia 56 th.
Itu juga ditolak oleh buruh, karena buruh menginginkan dana jaminan hari tua bisa diambil 100% sekaligus (lump sum). Apabila uang jaminan hari tua diambil secara bertahap, tidak banyak memberikan manfaat untuk buruh, misalnya ketika dijadikan sebagai modal usaha. Oleh karena itu, sekali lagi, dalam revisi harus ditegaskan bahwa dana jaminan hari tua dapat diambil sekaligus 100% (lump sum) setelah 5 tahun masa kepesertaan, baik bagi peserta aktif maupun buruh yang ter-PHK.
Tentang alasan jaminan hari tua sebagai tabungan hari tua, hal ini tidak relevan lagi. Sekarang sudah ada program jaminan pensiun yang berfungsi sebagai tabungan hari tua (dulu jaminan pensiun belum ada). Karena sudah ada jaminan pensiun, jaminan hari tua cukup menjadi tabungan jaring pengaman yang dapat diambil ketika buruh membutuhkan. Sedangkan jaminan pensiun diberikan secara anuitas/bertahap tiap bulan saat buruh memasuki usia pensiun, 56 tahun.
Ketiga, revisi jangan hanya tentang buruh yang terPHK saja yang bisa langsung mengambil dana jaminan hari tua. Karena, persis di titik inilah yang dipermasalahkan oleh masyarakat/buruh. Pertanyaannya, bagaimana dengan buruh yang mengundurkan diri? Bagaimana dengan 20 juta buruh kontrak/outsourcing di negeri ini yang habis masa kontraknya? Bagaimana dengan buruh yang dirumahkan berkepanjangan? Mereka semua juga ingin mengambil dana jaminan hari tua mereka, meskipun status mereka tidak ter-PHK). Oleh karena itu, dalam revisi harus jelas, bahwa yang bisa mengambil saldo JHT bukan hanya buruh yang sudah terPHK, tetapi juga bisa diambil oleh peserta aktif apabila sudah mencapai masa kepesertaan 5 tahun.
Kesimpulannya, jika Menteri Ketenagakerjaan merevisi PP JHT sekedar mengenai saldo jaminan hari tua hanya bisa diambil oleh buruh yang sudah terPHK saja dan peserta aktif tidak bisa mengambil karena harus mengikuti aturan yang baru tersebut, maka buruh Indonesia akan menolak revisi dengan mengajukan judicial review serta melakukan mogok nasional.
Pad intinya, revisi PP JHT harus memuat ha-hal sebagai berikut: (1) Dana JHT dapat diambil oleh buruh, baik peserta aktif maupun terPHK, (2) Dana JHT dapat diambil setelah masa kepesertaan 5 tahun, bukan 10 tahun dan bukan saat usia 56 th, (3) Dana JHT diambil secara lump sum/100% sekaligus, bukan 10% dari saldo dan sisanya bukan saat usia 56 tahun.
Dengan kata lain, ketentuan Pasal 37 ayat (3) UU No 40 Tahun 2004 harus ditunda dulu pemberlakuannya (misalnya 10 tahun lagi, kalau perlu pasal tersebut diamandemen), hingga kondisi masyarakat/buruh sudah siap dengan aturan baru tersebut. (*)
Â
Said Iqbal, Presiden FSPMI dan Presiden KSPIÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H