Mohon tunggu...
Saidiman Ahmad
Saidiman Ahmad Mohon Tunggu... -

Madridista. Libertarian. Member of Liberal Islam Network. Co-founder of Journalist Association for Diversity (SEJUK)

Selanjutnya

Tutup

Money

Mari Bertani di Kota

21 November 2013   10:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:52 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ini, Indonesia mengalami krisis bawang putih. Harga bumbu dengan aroma menyengat ini meroket menembus angka 8.000 hingga 10.000 rupiah per kilogram. Sebelumnya, Indonesia juga mengalami krisis bawang merah, tempe, cabe, beras, bahkan garam. Penyebab utama krisis ini tentu saja karena jumlah pasokan tidak memenuhi jumlah permintaan. Terlalu banyak orang ingin makan dengan bumbu-bumbu itu, tapi tidak cukup banyak yang menyediakannya. Harganya kemudian melambung melampaui kemampuan belanja penduduk. Tulisan ini hendak menawarkan solusi dalam bentuk kegiatan pertanian untuk meningkatkan produksi bahan makanan. Karena wilayah yang paling rawan terkena krisis bumbu dan makanan adalah kota, maka kegiatan pertanian seharusnya dilakukan di kota. Kota paling rawan terkena krisis karena permintaan makanan begitu tinggi, tetapi kota sejauh ini tidak memproduksinya. Cabe, bawang, dan bumbu lainnya itu diimpor dari luar kota bahkan luar negeri. Setiap kilo meter ongkos perjalanan bumbu tersebut harus dibayar mahal oleh konsumen dengan harga yang tinggi. Rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan 50,66 persen penghasilan hariannya untuk kebutuhan makanan (BPS 2013). Bahan makanan yang melewati perjalanan jauh itu kemungkinan besar butuh pengawet agar mereka sampai ke kota dalam keadaan seolah-olah segar. Dengan begitu, para konsumen mempertaruhkan kesehatannya dengan mengkonsumsi makanan berpengawet tersebut. Barangkali itu salah satu penjelas kenapa rumah sakit menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi oleh penduduk kota, selain mal. Bertani di kota bukan barang baru. Di banyak negara berkembang, kegiatan ini sudah lama dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan mengatasi kelangkaan bahan makanan di pasar. Bahkan pertanian di kota dari hari ke hari menjadi salah satu industri yang besar dan diperhitungkan dalam rangka meningkatkan pendapatan, kesehatan, dan mengatasi kesenjangan penduduk kota (Smith & Nars 1992, h. 142). Dawson & Canet (1991, h. 135) mempridiksi 50 persen penduduk dunia akan tinggal di kota yang artinya kelangkaan bahan makanan akan semakin menjadi problema utama penduduk dunia. Untuk mengatasi persoalan ini, 200 juta penduduk dunia sudah bergerak terlibat dalam kegiatan pertanian di kota untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 800 juta penduduk kota (UNDP 1996 dikutip Zezza & Tasciotti 2010, h. 256). Data yang dihimpun Ruel dkk. pada 1998 menunjukkan bahwa 50 persen penduduk pelbagai kota di Afrika dan 40 persen di Amerika Latin sudah terlibat kegiatan pertanian di kota (dikutip Zezza & Tasciotti 2012, h. 265). Dalam hal ini, kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta, tertinggal jauh dari negara-negara di kedua wilayah itu. Hanya sekitar 11 persen penduduk kota di Indonesia terlibat dalam kegiatan pertanian, bandingkan, misalnya, dengan Vietnam (69 persen) atau Nikaragua (68 persen) (Zezza & Tasciotti, h. 268). Kreatifitas di ruang sempit Kota memang memiliki lahan yang sangat terbatas untuk bertani. Tapi pikiran dan kreatifitas terlalu sulit dicari batasnya. Pelbagai metode telah dilakukan para petani kota. Mereka menggunakan taman, garasi, atap, ruang tamu, dapur, dinding, bahkan bagasi mobil untuk bertani. Pada gedung bertingkat, ada yang menggunakan satu atau dua lantai atau, yang paling populer, menggunakan atap gedung khusus untuk menanam sayur. Metode yang digunakan bisa bermacam-macam, mulai dari menanam langsung di tanah, menggunakan pot, hydroponik, aquaponik, kebun vertikal atau menara kebun dengan menggunakan jaringan pipa. Sebagian besar teknik pertanian kota itu tidak menggunakan tanah, melainkan air, pipa, dan lampu. Teknik hydroponik atau aquaponik itu bahkan bisa dikombinasikan dengan peternakan ikan, di mana ikan dan tanaman sayur bisa saling bertukar nutrisi. Hasilnya, penduduk kota bisa memenuhi sendiri sebagian kebutuhan makanannya. Hal ini juga bisa berkontribusi pada perbaikan kesehatan penduduk. Bukankah makanan yang paling sehat adalah makanan yang diproduksi sendiri? 50 persen lebih pengeluaran pada makanan ditambah biaya sakit akan bisa ditekan seminimal mungkin dan penghasilan dialihkan untuk kebutuhan lain, misalnya pendidikan. Adalah tugas pemerintah untuk menyiasati penyelesaian krisis bumbu dan bahan makanan. Tetapi dengan bertani sendiri, penduduk kota tidak harus menunggu pemerintah membuka kran impor untuk mengatasi kelangkaan. Memasak makanan dengan memetik bumbu dari sudut garasi atau memetik sayuran dari atap rumah, tidakkah menyenangkan? Selamat mencoba! Dipublish Deutsche Welle (Jerman), 19 November 2013 Saidiman Ahmad, Mahasiswa Pasca Sarjana Crawford School of Public Policy, Australian National University.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun