[caption id="attachment_180409" align="alignleft" width="212" caption="Sumber Foto: http://bit.ly/K1FZiD"][/caption] Irshad Manji menolak berdiri di podium. Ia ingin bicara sambil duduk. Ia tidak mau acara itu menjadi acara pidato. Dia ingin berdiskusi dan bertukar gagasan. Setiap orang boleh mengemukakan pendapat, bertanya, atau berkomentar apapun. Acara malam 4 Mei 2012 itu cukup meriah. 150 orang hadir. Mereka mendaftar. Dua hari sebelum acara, panitia sudah mengumumkan bahwa seluruh kursi sudah penuh. Mereka yang datang di hari H terpaksa masuk dalam daftar tunggu. Kebanyakan yang hadir malam itu adalah anak-anak muda. Buku Irshad Manji edisi bahasa Indonesia, “Allah, Liberty and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan” menjadi pintu masuk diskusi. Salihara, sang empunya tempat, memberi judul acara itu “Iman, Cinta, dan Kebebasan.” 4 tahun lalu, buku Irshad Manji “The Trouble with Islam Today” diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Beriman tanpa Rasa Takut.” Buku ini diterjemahkan ke dalam 30 bahasa. Manji bercerita bahwa penerbitan buku itu menuai respon luar biasa dari seluruh penjuru dunia. Ia menerima macam-macam komentar. Ada banyak komentar bernada teror dan mengumbar kebencian. Tidak sedikit yang langsung mengancam jiwanya. Ia bahkan pernah menyewa pengawal untuk mengantisipasi teror-teror itu. Selain surat bernada kebencian, ia juga menerima begitu banyak surat dukungan dan membesarkan harapan. Beberapa di antaranya mengejutkan. Salah satu surat dikirim oleh Ayesha yang mengaku berasal dari Solo. Ayesha menulis: “Di luar sana ada jutaan orang yang berpikir seperti anda. Tapi mereka takut menyuarakan kebenaran. Mereka takut terhadap hukuman.” Inilah persoalan yang hendak digarisbawahi Manji. Banyak sekali orang yang berpikiran maju, tapi mereka enggan angkat bicara. “Kita harus melangkah melampaui ketakutan itu, go beyond the fear,” kata Manji. Persoalannya bukan kenapa ketakutan itu muncul. Tapi bagaimana kita mampu melewati dan mengabaikannya. Irshad Manji sama sekali tidak sedang bergurau dengan kata-katanya itu. Ketika diskusi mulai diganggu seorang polisi berpakaian non-dinas, Manji tetap di tempat. “I am still here,” tegasnya. Diskusi harus tetap jalan. Manji seolah sedang memberi energy keberanian terhadap peserta diskusi yang diteror massa dengan teriakan-teriakan di sudut ruang diskusi. Para peserta bergeming. Manji dan peserta seperti sedang berbagi energi keberanian. Gangguan diabaikan. Acara dilanjutkan. Manji memuji sikap peserta diskusi yang tak gentar. “You give me hope,” kata Manji disambut tepuk tangan peserta. Para peserta bahkan mulai meng”huu” polisi yang hendak membubarkan diskusi. Manji mengulangi bahwa persoalan umat sekarang ini justru terletak pada kelompok moderat. Kelompok fundamentalis arogan tidak dia jadikan target dakwah. Para fundamentalis arogan itu sudah terlalu susah untuk berubah. Yang butuh disadarkan dan diberi kekuatan justru adalah masyarakat moderat. Masyarakat Muslim sekarang ini sudah terjangkiti krisis keberanian moral. Atas dasar itu, moderatisme harus ditinggal. Umat harus mulai meninggalkan sikap moderat dan beralih menjadi reformis. Masyarakat yang cenderung mendiamkan suatu persoalan adalah masalah besar. Sikap diam sama sekali tidak menolong dan menyelesaikan apa-apa. Kelompok moderat harus melangkah maju menjadi reformis, pembaru yang aktif. Manji menegaskan bahwa yang sedang dia perjuangkan bukan sekedar peace, tapi cinta. Sikap pro-perdamaian acapkali tidak bermakna apa-apa. Dengan alasan menjaga kedamaian orang sering enggan mengemukakan kebenaran. Manji sebut model peace semacam ini sebagai negative peace. Kedamaian yang harus diperjuangkan adalah positive peace,suatu sikap aktif menyuarakan kebenaran. Kebenaran tidak boleh didiamkan. “Speak the truth,” kata Manji. Terhadap stigma, Manji tidak peduli. Dia tidak takut terhadap stigma. Itu adalah resiko yang harus dihadapi. “Mereka bisa menyebut saya ekstrimis, tapi yang pasti saya bukan destruktivis,” tegasnya. Dibubarkan paksa oleh polisi, Manji dan peserta bergeming. Ancaman polisi dan teriakan peserta tak diundang dari luar justru menambah semangat diskusi. Para peserta mendekatkan diri ke Manji. Terjadilah diskusi informal. Manji berdiri di tengah massa peserta diskusi yang mengerubutinya. Itu momen yang tak akan mudah dilupakan. Seorang peserta bertanya: “Barangkali kita bisa melawan serangan atau stigma dari luar. Tapi bagaimana menghadapi penolakan dari keluarga?” Manji sejenak tertegun. Lalu ia balik bertanya: “Apakah kita benar-benar mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang tua dan keluarga kita? Jangan-jangan kita salah persepsi tentang mereka.” Manji lalu bercerita tentang Martin Luther King Jr. yang terus berjuang mesti ayahnya melarang dan menyuruh ia pulang mengurus gereja. Manji kemudian menceritakan kisah hidupnya sendiri. Belum sempat bercerita, ia sudah berurai air mata. Kisah itu adalah tentang pengakuannya kepada ibunya. Ketika ia menceritakan rencana coming out kepada teman-teman aktivisnya, mereka menyarankan agar Manji membatalkan rencana menceritakan semuanya kepada ibunya. Mereka khawatir ibunya akan membenci dan menolaknya. Yang hendak Manji ceritakan kepada ibunya itu adalah perihal orientasi seksualnya sebagai seorang lesbian. Dengan tekanan yang sedemikian rupa, Manji toh tetap nekad menemui ibunya. Ia beberkan semuanya. Sudah bulat tekadnya untuk menerima respon apapun, sesakit apapun. Manji terbata-bata menyebutkan kembali jawaban ibunya ketika itu. “You are my daughter.” Kamu anakku. Manji menutup mulutnya. Air matanya tumpah. “Jangan underestimate ibu bapak kalian. Kalian adalah anak-anak mereka. Dan mereka sangat mencintai kalian.” Haru. Satu persatu peserta memberi tepuk tangan. Manji melanjutkan “Barangkali mereka akan menolak pendapat kalian. Tapi tidak apa-apa. Tidak semua pendapat kita harus disetujui orang tua. Perbedaan adalah sesuatu yang lumrah.” Sekali lagi peserta bertepuk tangan. “Perbedaan di antara kita adalah biasa. Karena yang diciptakan Tuhan bukanlah robot, tapi kita, manusia yang masing-masing memiliki keunikan,” sambung Manji. Massa perusuh kembali mendekat. Mereka berteriak-teriak “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Polisi bergerak semakin cepat. Peserta diskusi dipaksa bubar. Manji dibawa ke suatu ruangan. Dia masih ingin bersama peserta. Dia menolak dievakuasi. Dia solider dengan peserta yang juga solider kepadanya. Ketika polisi benar-benar berhasil membawanya keluar, para peserta yang menungguinya mengerubuti. Ia masih sempat menyampaikan pidato singkat. “Jangan takut! Jangan menyerah!.” Puluhan peserta meneriakkan namanya. Ada pula yang menyanyi. Mereka mengepalkan tinju ke atas. Perlawanan tidak pernah surut. Kami bersamamu, Manji![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H