Pembagian dan pembakuan peran gender pada dasarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Dalam banyak kajian terbukti bahwa pembakuan peran dan pandangan yang bias gender yang bersumber dari budaya patriarkhi dan matriarkhi sangat berpotensi menimbulkan ketidakadilan baik pada perempuan maupun pada laki-laki.
Budaya patriarkhi cenderung mengutamakan laki-laki lebih dari perempuan. Sebaliknya, budaya matriarkhi lebih mengunggulkan perempuan daripada laki-laki. Aspek-aspek yang bias patriarkhi dan bias matriarkhi sudah semakin tidak relevan apabila dihadapkan dengan semangat zaman modern yang egaliter, demokratis dan berkeadilan. Budaya egaliter dan demokratis memberikan penghargaan kepada seseorang berdasarkan kemampuan dan jasanya (meritocracy) bukan berdasarkan jenis kelamin atau gender.
Manifestasi dari ketidakadilan gender yang bersumber dari budaya tersebut di atas adalah:
Stereotype
Pelabelan terhadap jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering menimbulkan masalah misalnya, perempuan lemah, penakut, cerewet, emosional, kurang bisa bertanggung jawab, dan sebagainya. Laki-laki dipandang kuat, keras, kasar, rasional, egois, dan pencemburu. Pelabelan atau penandaan yang terkait dengan perbedaan jenis kelamin tertentu dapat menimbulkan kesan yang negatif dan merugikan keduanya.
Subordinasi
Sebuah pandangan yang tidak adil terhadap salah satu jenis kelamin yang didasarkan pada stereotype gender, menyebabkan penempatan salah satu jenis kelamin pada status, peran, dan relasi yang tidak setara dan adil. Biasanya laki-laki lebih dipandang unggul berada pada supraordinat, sedangkan perempuan dianggap berada pada subordinat. Manifestasi dari subordinasi akan menghambat akses partisipasi, kontrol, terutama yang berhubungan dengan peran pengambilan keputusan.
Marginalisasi
Merupakan proses peminggiran sengaja atau tidak sengaja terhadap jenis kelamin tertentu dari jenis kelamin lainnya secara sistemik dari mendapatkan akses, dan manfaat dalam kehidupan akibat stereotype dan subordinasi. Dampaknya adalah salah satu jenis kelamin tertinggal dari jenis kelamin lainnya.
Beban Kerja yang tidak Proposional
Pemaksaan atau pengabaian salah satu jenis kelamin menanggung beban aktifitas berlebihan yang disebabkan pembakuan peran produktif-reproduktif untuk laki-laki dan perempuan, yang kemudian berdampak pada pola pembagian kerja yang tidak fleksibel. Pola kerja dikotomis atas dasar jenis kelamin demikian ini dapat memicu ketidakadilan salah satu jenis kelamin akibat beban kerja yang berlipat.
Kekerasan Berbasis Gender
Pandangan bias gender yang menempatkan salah satu jenis kelamin superior dan lebih berkuasa dan jenis kelamin lainnya adalah inferior, berdampak pada hubungan herarkhis bukan setara. Relasi yang timpang gender ini rentan menjadi kekerasan di mana pihak yang merasa lebih berkuasa melakukan kekerasan terhadap pihak yang dikuasai. Umumnya, kekerasan berbasis gender lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding dengan laki-laki. Hal tersebut didasarkan pada persepsi dominan bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan kurang memiliki kemandirian.
Sumber bacaan:
Ch, Mufidah. Psikologi Keluarga Islam "Berwawasan Gender". Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI