Minggu lalu saya menjumpai keponakan saya sedang mewarnai gambar jagung di rumahnya, ponakan saya mewarnai bersama ibunya (kakak saya).Â
Saat mewarnai ada hal nyleneh yang dilakukan keponakan saya, dimana jagung yang diwarnainya berwarna hijau, hitam, merah dan kuning. Akhirnya terjadilah sebuah percakapan yang begitu menarik:
Ibu: "Loh nak, jagungnya kok warna-warni gini, kan ibu sudah bilang biji jagungnya warna kuning dan daunnya warna hijau".
Doi: "Ini kan jagungnya ibu yang busuk kemarin, biji bagian atas warna kuning, bagian tengah hitam dan bagian bawah merah, terus daunnya juga bukan hijau tapi kuning kering".
Kalau dibayangin pasti lucu, dimana si doi bisa membantah argument seorang ibunya dengan fakta yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.Â
Memang sebelum doi mewarnai gambar jagung, ia pernah menjumpai jagung hasil panen dari sawah, dan kebetulan jagungnya jamuran atau bisa dikatakan jagungnya tidak tumbuh dengan sempurna, sebagaimana yang diucapka si doi kalau jagungnya busuk, haha.
Lalu apakah ponakan saya tadi salah? Pastinya tidak, karena sebelum ia melakukan keanehan tadi dia melihat terlebih dahulu dan si ibu lupa tidak memberi stimulus yang seharusya di berikan; memberi tahu seharusnya jagung yang sempurna atau yang bagus dan layak itu seperti apa, sedangkan kodrat seorang anak apa yang ia lihat itulah yang akan ia lakukan.
Kalau berbicara mengenai kreativitas apakah yang dilakukan keponakan saya merupakan bagian dari kreativitas? Jawabannya, ya benar. Apa yang dilakukan si doi merupkan bagian dari kreativitas. Mengapa? Karena si doi termasuk golongan anak usia dini.
Fantasi atau imajinasi yang berkembang pada masa pra-operasional terlihat dari berbagai bentuk aktivitas anak, seperti pada waktu bermain, berbicara, maupun melakukan suatu kegiatan lain. Semua hal tersebut merupakan refleksi dari kreativitas anak.
Secara tidak langsung keponakan saya tadi bukan melakukan kesalahan melainkan berkarya melalui imajinasinya. Seharusnya doi tahu kalau warna yang diterapkan kurang benar, hanya saja ia ingin memberikan kesan yang berbeda dari yang lainnya.
Dalam dunia kreativitas juga terdapat dua cara berpikir yaitu divergen dan konvergen. Divergen adalah cara berfikir berbeda dari orang lain. (Guiford,1986) menekankan perbedaan berfikir divergen yang disebut juga berpikir kreatif.Â
Berpikir divergen merupakan bentuk pemikiran terbuka yang menjajaki macam-macam kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan/ masalah.
Sedangkan konvergen adalah cara berpikir yang hanya fokus pada pencapaian suatu jawaban yang paling tepat terhadap suatu persoalan atau masalah. Biasanya cara berpikir seperti ini ditekankan pada dunia pendidikan.Â
Bagaimana tidak, kita bisa lihat saat proses pembelajaran anak ditekankan untuk hafal materi yang diberikan, sehingga saat ulangan anak harus bisa menjawab dengan jawaban yang harus sesuai dengan apa yang pernah dipelajari dan dihafalkan.Â
Berpikir seperti ini menjadikan anak terpacu pada satu titik, sehingga anak kurang bisa untuk menghargai cara berpikir nalar kreatif dari lawannya, karena tidak sesuai dengan apa yang ia lihat/ ia baca.
Ketika kakak saya lebih mengedepankan egonya untuk menuruti apa maunya; apa yang ia katakana harus dituruti oleh keponakan saya bahwa semua jagung harus berwarna kuning maka keponakan saya akan mengalami proses berpikir konvergen.Â
Berhubung kakak saya lebih menghargai pendapat dari anaknya maka keponakan saya mengalami proses berpikir divergen, dimana ponakan saya mampu berpikir secara luas, juga mampu menciptakan gagasan baru.
Sehingga mewujudkan perbedaan pada umumnya, di mana jagung yang lazimnya berwarna kuning namun keponakan saya memberi warna baru baru jagung tersebut, dan ia mampu menamai jagug tersebut bahwa jagung ia warnai adalah jagung yang busuk.
Disaat kita berada di posisi sebagai pengasuh; orangtua ataupun pendidik, yang menjumpai kejadian yang kurang lebih seperti yang saya alami maka alangkah baiknya kita dengarkan dulu pendapat dari anak, apa maunya si anak dan alasan apa yang akan diutaraka oleh si anak.Â
Apa yang dilakukan anak pasti ada sebab dan akibat, tidaklah ngawur. Jika yang dilakukan anak merupakan kesalahan yang tidak bisa diterima oleh akal baru tunjukkan yang sebenarnya, bukan menghakinya.
Setelah membaca tulisan saya, sebagai calon dan/atau pengasuh ataupun pendidik, kalian menginginkan anak berkreasi yang seperti apa? Apakah berpatokan pada kemauan kalian ataukah membiarkan anak berkarya dengan cara anak sendiri? Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H