Mohon tunggu...
Saidatun Nia
Saidatun Nia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Islam Anak Usia Dini; UIN Malang

Bukan sekedar singgah, melainkan ada niat untuk sungguh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Aku Ingin Berkarya, Bukan Membuat Salah"

26 Oktober 2020   23:51 Diperbarui: 28 Oktober 2020   05:38 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak-anak yang bermain kotor-kotoran. (sumber: pixabay/qimono)

Dalam dunia kreativitas juga terdapat dua cara berpikir yaitu divergen dan konvergen. Divergen adalah cara berfikir berbeda dari orang lain. (Guiford,1986) menekankan perbedaan berfikir divergen yang disebut juga berpikir kreatif. 

Berpikir divergen merupakan bentuk pemikiran terbuka yang menjajaki macam-macam kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan/ masalah.

Sedangkan konvergen adalah cara berpikir yang hanya fokus pada pencapaian suatu jawaban yang paling tepat terhadap suatu persoalan atau masalah. Biasanya cara berpikir seperti ini ditekankan pada dunia pendidikan. 

Bagaimana tidak, kita bisa lihat saat proses pembelajaran anak ditekankan untuk hafal materi yang diberikan, sehingga saat ulangan anak harus bisa menjawab dengan jawaban yang harus sesuai dengan apa yang pernah dipelajari dan dihafalkan. 

Berpikir seperti ini menjadikan anak terpacu pada satu titik, sehingga anak kurang bisa untuk menghargai cara berpikir nalar kreatif dari lawannya, karena tidak sesuai dengan apa yang ia lihat/ ia baca.

Ketika kakak saya lebih mengedepankan egonya untuk menuruti apa maunya; apa yang ia katakana harus dituruti oleh keponakan saya bahwa semua jagung harus berwarna kuning maka keponakan saya akan mengalami proses berpikir konvergen. 

Berhubung kakak saya lebih menghargai pendapat dari anaknya maka keponakan saya mengalami proses berpikir divergen, dimana ponakan saya mampu berpikir secara luas, juga mampu menciptakan gagasan baru.

Sehingga mewujudkan perbedaan pada umumnya, di mana jagung yang lazimnya berwarna kuning namun keponakan saya memberi warna baru baru jagung tersebut, dan ia mampu menamai jagug tersebut bahwa jagung ia warnai adalah jagung yang busuk.

Disaat kita berada di posisi sebagai pengasuh; orangtua ataupun pendidik, yang menjumpai kejadian yang kurang lebih seperti yang saya alami maka alangkah baiknya kita dengarkan dulu pendapat dari anak, apa maunya si anak dan alasan apa yang akan diutaraka oleh si anak. 

Apa yang dilakukan anak pasti ada sebab dan akibat, tidaklah ngawur. Jika yang dilakukan anak merupakan kesalahan yang tidak bisa diterima oleh akal baru tunjukkan yang sebenarnya, bukan menghakinya.

Setelah membaca tulisan saya, sebagai calon dan/atau pengasuh ataupun pendidik, kalian menginginkan anak berkreasi yang seperti apa? Apakah berpatokan pada kemauan kalian ataukah membiarkan anak berkarya dengan cara anak sendiri? Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun