Memang, sejak zaman Imam Bonjol sekalipun radikalisme agama sudah menjadi bagian dari kontestasi kebudayaan. Ia ada untuk mengacak-acak tradisi yg sudah mapan dengan isu puritanisme, pemurnian akidah, dan semacamnya. Â Hanya saja, mudah dikenali bahwa radikalisme Islam macam ini memilih jalur dakwah dengan perspektif kekerasan dan menghindari tegur-sapa yang hangat.
Pandangan radikal akan melihat Islam Nusantara sebagai Islam yang menyeleweng dari garis doktrinernya-sesuatu yang juga menghinggapi pandangan sebagian peneliti barat seperti Clifford Geertz. Â Saya menentang pandangan tersebut. Kematangan Islam Nusantara yang memungkinkannya menyumbang begitu banyak khazanah budaya, justru karena dilandasi keyakinan keagamaan yang utuh. Saya menyebutnya dengan semangat keragaman (ruh al-ta'addudiyyah), semangat keagamaan (ruh al-tadayyun), semangat nasionalisme (ruh al-wathaniyyah), dan semangat kemanusiaan (ruh al-insaniyyah). Inilah yang dalam sejarah panjang Nahdlatul Ulama menjadi semacam garis kesadaran sejarah. Ini bisa dengan jelas dilihat dalam kiprah NU mengawal sejarah panjang NKRI. Garis perjuangan NU ini terus tersambung hingga hari ini.
Maka, andai pemerintah tidak kunjung serius menganani radikalisme agama, Nahdlatul Ulama tidak akan bergeming sedikitpun. Dengan segala sumberdayanya, NU sangat berkomitmen berjihad membela keutuhan Republik ini dan kehidupan masyarakatnya. Hanya saja, NU menyadari bahwa upaya deradikalisasi agama tidak mungkin dikerjakan sendirian. Radikalisme Agama adalah problem bersama yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya. Pamrih NU tidak bersandar pada kepentingan politik yang parsial dan membela rezim tertentu. Pamrih NU lebih terletak pada politik kebangsaan dan kerakyatan ketimbang sekadar politik kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H