Mohon tunggu...
Said Aqil Siroj
Said Aqil Siroj Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pemerintah, Terorisme, dan Radikalisme

16 April 2011   17:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:44 2065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penanganan radikalisme agama di Indonesia ialah Pemerintah Republik Indonesia. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya memegang peran strategis, namun juga tanggung jawab yang besar. Sebagai kepala pemerintahan yang dipilih secara sah oleh lebih dari separuh warga negara, Presiden SBY wajib melindungi dan menjamin hak hidup segenap penduduk Indonesia.

Radikalisme Agama ialah istilah generik yang bisa dipakai untuk menunjuk berbagai modus kekerasan agama baik di level doktrin ideologis, maupun di level tindakan kekerasan, hingga terorisme. Secara umum, jika dilihat melalui sejarah panjang NKRI hingga hari ini, radikalisme agama merupakan tantangan dan ancaman bagi keutuhan NKRI.

Sebagai sebuah kesatuan paham dan gerakan, radikalisme agama tidak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial. Dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implementasi yang komprehensif dan terpadu. Problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir. Di hulu masalah, ada potensi konflik dalam hubungan intra maupun antar agama. Dalam hal ini, Kementerian Agama yang berkewajiban menjadi departemen semua agama justru sering berada dalam posisi yang berat sebelah dan cenderung merugikan kaum minoritas. Kita tidak melihat ada kebijakan yang bersifat preventif dari Departemen Agama. Sebagian besar kebijakan masih bersifat reaksioner dan sekaligus jstru menyuburkan potensi kekerasan yang sudah ada. Peran intelijen dan kepolisian juga patut dipertanyakan. Kasus demi kasus terjadi dan segera menjadi kehebohan di media massa dan menjelma kecemasan bagi publik luas. Seolah-olah, Intelijen dan Kepolisian selalu kecolongan dan kebobolan.

Dari serangkaian kasus yang terus terjadi hingga hari ini muncul kesan pembiaran. Penanganan yang dilakukan aparatur pemerintah selama ini cenderung reaksioner. Dari hari ke hari kasus radikalisme terus menerus terjadi, tanpa diketahui ukuran keberhasilan penanganan yang dicapai. Hal itu memunculkan dugaan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani radikalisme agama secara sungguh-sungguh. Salah satu akibatnya, muncul pula kesan bahwa radikalisme agama justru menjadi komoditas politik yang berfungsi secara signifikan sebagai pengalih isu dan opini publik. Baru-baru ini, sebagai contoh, dua kasus yang menyentak perhatian publik yang terjadi di Banten dan Temanggung secara drastis meredam arus pemberitaan yang tengah gencar melancarkan kritik terhadap kinerja pemerintah. Hingga hari ini pengusutan dan penegakan hukum atas apa yang terjadi di Temanggung dan Banten tidak kunjung menunjukkan hasil yang bisa dibanggakan. Pengabaian semacam ini juga terjadi hampir di semua kasus yang bermotif radikalisme agama.

Jika pemerintah tidak menjalankan tanggung jawab melindungi hak hidup warga negara dan menjaga keutuhan NKRI dari ancaman radikalisme agama, ini artinya pemerintah sengaja membiarkan pelanggaran demi pelanggaran kemanusiaan terjadi. Pembiaran semacam ini dengan sendirinya merupakan pelanggaran hak secara pasif oleh pemerintah. Lebih jauh lagi, nalar publik akan bertanya, apakah radikalisme agama dengan sengaja justru dipelihara? Apakah radikalisme agama merupakan bagian dari sebuah desain besar untuk meraih dan sekaligus mengamankan kepentingan politik tertentu?

Dari sekian catatan buruk ini, tentunya Kepala Pemerintahan harus bisa mengambil langkah taktis, strategis, fundamental, dan tegas jika Presiden tidak ingin dianggap tidak serius dalam menangani deradikalisasi agama. Upaya untuk melakukan deradikalisasi agama tidak boleh sebatas menjadi simbol atau penghias media saja tanpa adanya "kerja nyata".

Selama ini, Nahdlatul Ulama dengan segala sumberdayanya sangat berkomitmen untuk membantu negara dalam melakukan deradikalisasi agama. Sejak Republik ini berdiri, pamrih NU tidak bersandar pada kepentingan politik yang parsial dan membela rezim tertentu. Pendek kata, Pamrih NU lebih terletak pada politik kebangsaan dan kerakyatan ketimbang sekadar politik kekuasaan. Ini bisa dengan jelas dilihat dalam kiprah NU mengawal sejarah panjang NKRI. Garis perjuangan NU ini terus tersambung hingga hari ini. Tanpa diminta sekalipun, NU akan memperjuangkan NKRI hingga titik darah penghabisan. Hanya saja, NU menyadari bahwa upaya deradikalisasi agama tidak mungkin dikerjakan sendirian. Radikalisme Agama adalah problem bersama yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun