Mohon tunggu...
Saidah Chumairoh
Saidah Chumairoh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pikirkan, Rasakan, dan Menulislah ! Mahasiswi Prog Keahlian Komunikasi Diploma IPB

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badai

6 Desember 2011   12:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ya Allah, kenapa dikasih hujan sekarang?” gerutuku kesal. Aku bukan kesal kepada Allah, tetapi aku kesal karena hujan turun sebelum aku sampai di kelas. Langit Bogor yang saat aku berangkat tadi terang benderang, kini berubah menjadi hitam… dan guyuran hujan pun menyerbu tanah yang ku injak. Ternyata ini bukan hanya hujan, tetapi ditambah angin kencang… dan bisa disebut kalau ini BADAI.

Aku terdiam di warung pinggir jalan tempatku berteduh. “Ya Allah, plis 10 menit aja berhenti, aku mau masuk kelas dulu,” pintaku dalam hati. Hari ini aku ada ujian Public Relations dan sialnya aku, kini aku terjebak karena derasnya hujan yang menggelegar. Ya, mungkin seharusnya aku datang lebih awal. Tapi, kedatanganku pun tidak juga dikatakan terlambat. Aku datang 30 menit sebelum ujian dimulai. Dan seperti yang aku katakan tadi, sialnya langkahku harus terhenti karena badai itu, persis setelah aku turun dari angkutan umum. Ya, dengan baju yang tak lagi nyaman ku pakai, aku berteduh seorang diri di pinggir jalan dekat kampusku. “Semoga hujannya cepat mereda,” batinku.

Ku lihat penunjuk waktu di tanganku. Aku telah terlambat. Ujianku telah dimulai. Dan aku hanya dapat berharap dosen pengawas di kelasku memiliki nurani yang peka. Ya, peka dengan keadaanku. Semoga saja. Ku tengok kanan dan kiri jalan, berharap ada sebuah kendaraan yang aman ku gunakan agar aku bisa sampai kelas. Dan kendaraan itu tidak juga ku temui. Aku hampir putus asa. Ada niat di hatiku untuk pulang saja ke rumah. Namun, niat itu ku urungkan saat melihat sesuatu yang dapat menolongku. Dan ku dapatkan kendaraan itu. “Becak, Pak,” teriakku. Beruntung lelaki tua pengayuh kendaraan itu mendengarku dan ia pun menghampiriku. “Kampus ya, Pak,” ucapku. Dan aku bersyukur, kedatangan bapak pahlawan di tengah derasnya hujan.

Ku lihat jalan yang aku lalui. Banyak pohon tumbang dimana-mana. Kilat dan petir bersahut-sahutan seakan mengiringi kesialanku. Mungkin mereka mengejekku atau mungkin mereka memberiku semangat. Entahlah. Aku pun sampai di depan kelasku. Usai membayar tagihan kendaraan itu dan berterima kasih pada si empunya, aku pun melangkah ragu ke depan pintu kelas. Ku tengok lagi jam di tanganku, jarumnya menunjukan pukul 16.00 dan aku telambat setengah jam. “Semoga boleh,” batinku.

Ku buka pintu dengan perlahan, ku lihat dosen pengawas yang kaget melihat kedatanganku yang tampak tak bersalah. Aku ragu sebenarnya, tapi apa salahnya ku coba. Siapa yang akan tahu apakah dosen itu menerimaku atau justru menolak kehadiranku. “Boleh masuk gak pak?” tanyaku.

“Kamu mau ikut ujian? ia balik bertanya.

“Iya, Pak,” jawabku pelan.

“Tidak boleh,” jawabnya tegas.

JEGER JEGER JEGER. Aku baru saja merasakan petir itu menyambar hatiku. Ya, menyambar hatiku. Penolakan itu sangat membuatku merasa tak dihargai. Aku menutup pintu kelas dan duduk di bangku koridor. Aku terdiam. Ya, aku merasa malu dan juga sakit hati. Itu yang aku rasakan kini. Hujan sore itu juga membuat hujan di pipiku. Pengawas itu memintaku untuk masuk ke dalam kelas karena keadaan cuaca, bukan karena ia berubah pikiran. Dan aku menolaknya. Aku tidak mau menjadi tontonan teman-temanku. Mereka yang beruntung dapat mengerjakan soal ujian, sedangkan aku? Aku hanya akan diam mengamati mereka. Aku tidak mau. Aku menghindari pengawas itu. Aku lari menuju toilet. Dan disini aku menangis.

Aku menyalakan keran air. Membiarkan ember terisi penuh dan meluap. Ya, seperti itu perasaanku. Emosiku kini sedang meluap. Apa aku salah bersikap seperti ini? Apa aku salah merasakan sakit hati atas penolakan itu? Apa persepsiku salah tentang pengawas itu yang tidak menghargai kedatanganku? Seandainya saja dia tahu apa yang terjadi denganku. Mungkin penolakan itu tidak akan pernah dilontarkannya.

Keadaanku yang sudah kuyub memberanikan diriku untuk pulang ke rumah walau hujan masih enggan beranjak pergi. Ya, aku membiarkan air mataku terjatuh laksana hujan yang turun ke bumi. Ini perasaanku. Aku yang merasakannya. Bukan orang lain, bukan juga pengawas itu. Entah mengapa, sosok pengawas itu kini engan ku temui. Aku tidak membencinya, aku hanya tidak suka. Hanya itu. Ya, tidak suka karena dia baru saja menyakitiku. Andai dia merasakan hal yang sama.

Hujan masih menemani perjalannku. Ini bukan hal yang aneh terjadi di kota hujan ini. Tentu saja ini hal yang biasa. Sangat biasa. Namanya juga kota hujan. Hujan badai. Aku menggigil kedinginan karena hujan yang nakal membasahi pelindungku. Pakaianku sudah seperti cucian yang hendak dijemur, hanya saja ini belum dicuci. Masih bercampur keringatku.

*

Mama mengelus pundakku. Aku terisak. Drama melankolis yang baru saja terjadi padaku pemicunya. Aku menceritakan rangkaian kisah pendek itu pada Mama. Bukan mengadu, hanya bercerita. Orang tua perlu tahu apa yang terjadi pada anaknya. Mama terlihat geram dan mungkin juga kecewa. Mama menenangkanku. Ya, aku tenang dalam dekapannya.

Mungkin banyak orang men-judge bahwa aku adalah gadis manja. Apapun yang terjadi padaku pasti akan ku ceritakan pada orang tuaku. Seolah-olah aku mengadu. Seolah-olah aku tak mampu menyelesaikan masalahku. Dan seolah-olah aku tak dewasa. Ya, memang pemikiran dan judge mereka tidak semuanya salah. Tetapi, tidak juga benar.

Manja? Mungkin saja pernyataan itu benar. Ya, aku sangat senang bersama orang tuaku. Aku tidak bisa memisahkan diriku dengan mereka. Dan aku ketergantungan pada cinta dan perhatian mereka. Hal itu yang membuat aku bersikap manja. Hanya sikap! Dan itu pun hanya di depan orang tuaku. Di depan sahabatku. Bukan untuk konsumsi publik.

Ada hal lain yang tidak mereka tahu tentang aku. Aku yang di hadapan mereka tentu akan berbeda dengan aku yang dihadapan orang tuaku, sahabatku, dan juga pacarku. Bahkan saat aku sedang sendiri. Dalam ilmu psikolgi itu adalah hal lumrah yang terjadi pada setiap individu. Lumrah, hal biasa.

Oke. Kembali pada persoalan itu. Ya, pengawas itu kini aku hindari. Dosen muda itu menjadi sosok yang paling tidak ingin ku temui. Di kampus, setiap aku berpapasan dengannya, aku selalu mencari cara bagaimana agar perhatianku tidak tertuju padanya. Dalam hati, rasa sakit itu perlahan sirna. Dan terkadang aku menyesali perbuatanku yang saat itu sedang kalut. Tanpa memikirkan efek yang akan aku terima nantinya. Tapi tetap aku masih enggan dan enggan bertatapan lagi dengan dia. Aku berdoa, semoga tak ada lagi suratan yang akan mempertemukan aku dan dia. Semoga!

Maaf, sakit itu masih terasa. Hatiku sedang ku tata, agar aku bisa memaafkan dan bersikap seperti biasa.  Namun, itu butuh waktu. Aku tak dendam, hanya sedikit sakit atas jarum itu. Tapi lukanya nanti pasti hilang. Tetap butuh waktu!

*

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun