Mohon tunggu...
Said Welikin
Said Welikin Mohon Tunggu... lainnya -

Saya seorang wartawan di Makassar. Prinsip hidup, berusaha memberikan yang terbaik. Email: saidwelikin@ymail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Astagfirullah, Semoga Ketololan Tak Beranak Pinak

30 Oktober 2013   21:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:48 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Garam diimpor, Alquran diembat

ASTAGFIRULLAH, SEMOGA KETOLOLAN TAK BERANAK PINAK

Puisi Negeri Para Bedebah

Karya:Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Senin, hari ke dua Juli 2012,  kira-kira jam sepuluh, ketika  melintas di jalan Nuri Makasaar depan warkop Joni, saya dipanggil seorang teman yang bernama Safar untuk singgah. Safar memesan secangkir kopi, mempersilakan saya untuk menikmati. Rupanya saat itu Safar lagi mendengar lagu Langit Tak Mendengar (Piterpen) dari sebuah Stasion radio swasta lewat hapenya yang diletakan diatas meja.

Begitu berakhir lagu, ada suara penyiar perempuan yang menyebut nomor telpon dan mempersilakan pendengar, sumbang saran atau komentar tentang upaya yang dilakukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dalam menangani kasus yang sangat tidak diterimah nalar, insan yang mengaku beriman  yaitu dugaan Korupsi pengadaan Alquran yang diduga intelektual dader salah seorang mahluk terhormat di Negeri ini yang jadi Wakil Rakyat, dan berkantor di Senayan sana.

Sontak Safar berdiri, terlihat raut muka berubah dengan suara yang agak gemetar mengatakan " Cocok’mi, (cocok sekali), langit memang tak mendengar bahkan mungkin tertutup karena Negeri ini dihuni para Bedebah."

"Puisi yang dibuat dan dibacakan mantan juru bicara Presiden keempat Abdurahman Wahid Adhie Massardi sangat relevan saat ini, dan boleh jadi puluhan tahun kedepan," bak seorang orator, Safar pun dengan lancar melafaskan puisi Negeri Bedebah.

Batinku bertanya, kira-kira ada berapa persen, di Negeri yang berpenghuni lebih dari 200 juta orang ini, berkarakter seperti Safar.

Kesadaran social Safar sangat perlu ditebarkan, mengingat banyak sekali di Negeri ini, yang keseharian mereka  dipilin rasa lapar dan kepapaan sepanjang hayatnya.

Setelah kembali duduk, Safar melanjutkan orasinya, "Pencurian dan perampokan terjadi semua tingkatan, kalau kelas ruang ber- Ac diperhalus dengan kata korupsi, sementara kelas jalanan tetap terpakai kata pencurian".

"Dalam dunia angkutan, ada istilah muatan kencing, mobil tangki biasanya mengeluarkan solar atau minyak tanah, satu atau dua drem sebelum sampai kepada langganan".

"Botol gas yang dipesan langganan kadang sudah tidak cukup ukuran karena telah kentut dijalan".

"Begitu juga muatan berak, sebelum sampai ditempat tujuan biasanya muatan gula pasir atau beras dikeluarkan sedikit setiap karungnya".

Pun  dengar semua ceritera Safar, dan melihat gerak tubuh serta ekspresi wajahnya namun pikiranku berada lain tempat, ingatanku reques kepada diolaog tentang garam di TV RI, yang dipandu Soegeng Sarjadi dipenghujung tahun lalu saat  SBY hendak meresafel Kabinetnya.

Pada dialog itu, ada tiga orang narasumber, dua diantaranya yaitu M.Sobary dan Fadel Muhammad yang ketika itu masih menjabat Mentri Kelautan.

Pada dialog itu mereka berempat sepakat Negara tidak mampu memanfaatkan nikmat yang begitu banyak, yang dititip Tuhan kepada Negeri ini.

Salah satu nikmat Tuhan yaitu negeri ini memiliki garis pantai terpanjang ke empat di dunia.

Menurut koreksi PBB tahun 2008, setelah Amerika Serikat, Canada, dan Rusia. dan Indonesia tercatat dengan panjang garis pantai 95.181 Km.

Selain itu negeri ini pun memiliki begitu banyak  pulau sesuai data Depertemen dalam negeri Jumlah keseluruhan 17.504 buah, 7.870 telah memiliki nama sedangkan 9.634 buah yang belum memiliki nama.

Dengan kondisi geografi seperti ini, maka sangat pantas menjadi Negara Maratim, dan seharusnya menjadi pengekspor garam, sayangnya fakta menunjukan, kita miskin garam sehingga pemerintah sejak tahun 2004 mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Menurut data Depertemen Dalam Negeri kebutuhan garam setiap tahun 3.000 ton, terdiri dari 1,400 Ton untuk komsumsi rumah tangga, dan 1.600 untuk industry.

Garam sekilau asin, sekontener manis rasanya

Terungkap pula tata niaga garam, dikuasai pemodal besar, karena keuntungan sangat menggiurkan, selisih harga terpaut sangat jauh, 1 kg  garam di India hanya Rp 500,  kalau garam di supermarket harganya kisaran Rp800.

Fakta seperti Iini, sehingga ada istilah dikalangan wartawan sekilau garam asin, tetapi kalau sekontener manis rasanya.

Dengan kondisi keutungan seperti ini, sudah pasti mereka yang menikmati, berusaha agar impor garam tetap harus ada bahkan selamanya.

Sebagai bangsa harusnya kita tidak perlu malu untuk belajar pada Negara India, bagaimana mereka sejak merdeka mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negerinya, bahkan mengekspor.

Pun setiap saat ruang public dijejali dengan diskusi tentang permasalahan politik, mengapa tidak isi dengan  pembahasan garam.

Pada saat Soegeng memintah semua Narasumber untuk Stetmen penutup, Fadel mengatakan "harus ada gerakan nyata semua pihak menyelamatkan infrastruktur produksi garam sebelum terjadi penyesalan seumur hidup".

Sementara itu mantan Kepala Kantor Berita Antara Jaman Presiden Gusdur M. Sobary mengatakan "Telah terjadi ketolalan Nasional yang cukup lama, olehnya itu harus diakhiri".

Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mengatasi permasalahan bangsa, yang multi complex saat ini. Perlu lebih banyak lagi empaty social yang berkarakter teman saya Safar, yang polos, lugu, dan rendah hati, seraya istigfar mohon ampun kepada, Sang Pemberi nikmat, semoga ketololan nasional tidak beranak pinak.(Makassar, Selasa 3 Juli 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun