PERNAHKAH ada survey, seberapa besar kepercayaan umat Islam pada pengelolaan keuangan masjid di Indonesia? Tulisan ini bukan bermaksud untuk memantik curiga pada manajemen keuangan masjid di Indonesia. Tapi, sekadar catatan perjalanan wartawan BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani dari Singapura.
Sepekan menjelang datangnya bulan suci Ramadhan lalu, saya berkesempatan menunaikan sholat dzuhur di Masjid Al Taqua yang berlokasi di Jalan Bilal, Singapura. Selain terkagum menyaksikan bagaimana antusiasme umat Islam di Singapura menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Ternyata, masih ada hal lain yang juga tak kalah mengagumkan saya. Yaitu, manajemen pengelolaan keuangan masjid.
Di masjid yang luasnya tidak terlalu luas, jika dibandingkan dengan masjid di Indonesia, hanya sekitar 30 x 500 meter. Namun, masjid ini tidak hanya difungsikan sebagai tempat sholat semata. Tapi juga, menjadi tempat pendidikan dan pelatihan serta untuk kegiatan ijab kabul berikut resepsi pernikahan.
Untuk menggelar ijab kabul, tidak dipungut biaya. Tapi untuk resepsi, dipatok biaya sewa tempat dan kebersihan sebesar 310 dolar Singapura atau sekitar Rp3.038.000,-. Sedangkan untuk jamuan makan bagi para tamu undangan resepsi pernikahan, dipatok biaya 10 dolar per orang, atau sekitar Rp98.000,-.
Menunya makanan khas Melayu. Seperti ayam opor, ayam goreng, ayam sambal, rendang, ikan goreng, sambal kentang, kerupuk dan sebagainya. "Menu di sini hampir sama dengan makanan di Indonesia, karena mempelai pesan makanan khas Melayu," ujar Nuraida, seorang tamu undangan resepsi pernikahan di Masjid Taqua menjawab BATAMTODAY.COM.
Kapasitas tempat duduk bagi para tamu di halaman masjid tersebut bisa menampung hingga 100 orang dalam satu waktu bersamaan. Tapi karena tamu undangan itu datang dan pergi, sehingga mempelai pun bisa mengundang hingga 1000 tamu.
Dari semua pemasukan dari kegiatan tersebut, semuanya masuk ke satu pintu. Yaitu, bagian administrasi masjid. Menariknya, lalu lintas uang semuanya tercatat dan bankable. Termasuk, uang sumbangan jamaah sholat setiap harinya.
"Rata-rata, setiap sehabis sholat Jumat, uang tabung yang terkumpul dari jamaah, sekitar tujuh sampai sepuluh ribu," ungkap seorang jamaah Masjid Al Taqua, Ahmad.
Setelah itu, semua transaksi keuangan masjid diaudit oleh auditor independen. Lalu, hasil audit itu diumumkan di papan pengumuman masjid yang terdiri dari papan manual dan pengumuman digital.
Mengapa semua transaksi masjid di Singapura, yang kalau di Indonesia itu masuk katagori nir laba itu, harus diaudit?
Seorang pegawai pemerintah Singapura mengungkapkan, tidak hanya masjid yang diaudit oleh auditor independen. Semua rumah ibadah di Singapura, harus diaudit oleh auditor independen. Karena ternyata, semua umat Islam di Singapura dipungut uang iuran bulanan untuk pembangunan masjid. Besarnya sekitar 10 dolar Singapura per orang. "Uang pungutan masjid itu masuk ke dalam iuran rutin bulanan, CBF," ungkapnya.
Jadi, mengapa para pengurus masjid di Indonesia tidak tertarik menggunakan jasa auditor independen? Entahlah.
(Terbit di : http://batamtoday.com/berita72942-Belajar-dari-Manajemen-Keuangan-Masjid-di-Singapura.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H