PROVINSI Kepri, Kepulauan Riau, dianugerahi Allah 19 pulau terluar. Itu artinya, ada 19 etalase Indonesia yang berada di wilayah Kepri. Lalu, apa yang sudah kita lakukan dengan 19 etalase itu?
Wajar jika ada provinsi di Indonesia yang iri. Bagaimana tidak, Provinsi Kepri “terlalu” banyak dianugerahi Allah. Mulai dari berada di Selat Malaka, selat yang lalu lintas lautnya tersibuk di dunia. Sampai dengan memiliki 19 pulau terluar yang stigmanya sudah bergeser, dari pulau terluar menjadi beranda terdepan Indonesia.
Ke-19 pulau terluar itu tersebar, 2 diantaranya berada di Kabupaten Karimun, 4 di Kota Batam, 1 di Kabupaten Bintan, 5 di Kabupaten Kepulauan Anambas dan 7 di Kabupaten Natuna. Pulau yang paling jauh adalah Pulau Sekatung di Kabupaten Natuna. Pulau ini berbatasan lengsung dengan negara Vietnam.
Semua anugerah geografis itu sudah saatnya diberdayakan agar berkahnya lebih terasa dan dapat dinikmati oleh masyarakat yang hidup dan mencari penghidupan di sekitarnya. Pertanyaannya adalah, apakah berkah tersebut sudah dinikmati, minimal dirasakan, oleh mereka yang hidup di perbatasan?
Persoalannya, diperlukan “umpan” untuk memancing ikan yang berkelas ‘big fish”. Ikan besar hanya makan umpan yang seukuran mulutnya, bukan? Untuk itulah, maka pemerintah pusat telah menyediakan anggaran Rp152 miliar untuk pembangunan infrastruktur di pulau Pulau Sekatung di Kabupaten Natuna. Dalam kalkulasi di benak pemerintah, jika proyek pembangunan infrastruktur dilaksanakan, maka dampak ikutan langsung dapat dirasakan olah masyarakat sekitar. Mulai dari penyerapan tenaga kerja lokal sampai dengan menghidupan ekonomi lokal.
Dan, jika insfrastruktur telah terbangun, maka itu seolah “karpet merah” bagi investasi lokal maupun asing. Tinggal Gubernur Provinsi Kepri, sebagai wali tertinggi di negeri ini untuk menentukan, sektor apa yang akan ditonjolkan di setiap pulaunya. Bayangkan, jika 19 pulau terluar di Kepri itu bagaikan 19 etalase dengan spesifikasinya masing-masing. Maka, akan semakin terasalah berkah itu bagi kita semua. Bukan hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pulau itu. Tapi juga warga lain yang tinggal nun jauh dari pulau itu.
Ada catatan khusus yang disampaikan oleh Gubernur Kepulauan Riau (kepri) H. Muhamad Sani pada Rapat Koordinasi Terbatas Satuan Tugas I Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Kota Batam, Kepri, Kamis, 10 Februari 2011 lalu. Yaitu, masalah sistem keamanan 19 etalase tersebut. Kata Gubernur, sistem keamanan laut di 19 pulau terluar wilayah Provinsi Kepulauan Riau perlu ditingkatkan. Pasalnya, sebagian dari pulau-pulau tersebut tak berpenghuni sehingga rawan terjadi pelanggaran kedaulatan, mengingat semuanya berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga.
Sebab, “19 etalase” Kepri itu rata-rata hanya berpenduduk lima sampai sepuluh orang. Satu-satunya pulau yang penduduknya lebih dari sepuluh orang hanya Pulau Sumbi. Beberapa pulau bahkan sama sekali tak berpenghuni. Kondisi tersebut, berpotensi menimbulkan masalah. Mengingat luasnya wilayah laut Kepri dengan berbagai kerawanan seperti penyelundupan dan pencurian ikan yang masih marak terjadi.
Mudah-mudahan, catatan Gubernur Sani itu juga menjadi concern dari semua instansi vertikal. Sebab, catatan itu disampaikan di hadapan perwakilan dari TNI AL, Bea Cukai, Kejaksaan dan jajaran Kementerian Perhubungan Laut di daerah. Hadir pula perwakilan dari enam pemerintah provinsi meliputi Kepri, Riau, Aceh, Sumatera Utara, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat.
Untungnya, para pejabat Bakorkamla (Badan Koodinasi Keamanan Laut) sudah sejak lama sudah mengantisipasi potensi gangguan keamanan laut tersebut. Bagi Bakorkamla, pengamanan pulau terluar termasuk dalam sistem pengamanan laut secara keseluruhan. Hal itu dilakukan antara lain dengan kegiatan patroli laut secara berkala dan pembinaan masyarakat pesisir. Pembinaan masyarakat pesisir ini tentunya juga berorientasi ke peningkatan kesejahteraan mereka.
Dalam catatan Bakorkamla, telah terjadi peningkatan kualitas kejahatan dan pelanggaran hukum di laut dalam beberapa tahun terakhir. Terbanyak menyangkut kasus pencurian ikan. Hal itu didorong dengan adanya kebangkitan industri perikanan di negara-negara Asia.
Pada saat yang sama, cadangan sumber daya ikan di berbagai perairan menurun. Perairan Indonesia kemudian menjadi alternatif lokasi penangkapan ikan oleh kapal asing. Sementara pengamanan laut di dalam negeri masih belum memadahi. Ini disebabkan sarana pengamanan laut dan anggaran masih terbatas jika dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dipatroli. Di samping itu, koordinasi antar lembaga yang memiliki kewenangan di laut masih lemah.
Jadi, lagi-lagi, “hantu” yang harus segera dijadikan musuh bersama kita dalam hal pengamanan laut adalah “K-O-O-R-D-I-N-A-S-I”. Sebab, di Provinsi Kepri, setiap instansi masih mengedepankan ego sektoralnya masing-masing. Lengkap dengan payung hukumnya sendiri-sendiri.
So, siapa sih yang bisa membangun “koordinasi” yang “koordinatif” di negeri ini? Atau, jangan-jangan, ini bukan sungguh-sungguh masalah “koordinasi” tapi masalah periuk nasi?
(Terbit di buku : The Border Watchdog, diterbitkan PWI Pusat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H