SEBAGAI wartawan yang bertugas di perbatasan, saya mencatat satu poin penting dari Gubernur Kepri H.M. Sani. Yaitu, concen pada strategi pembangunan ekonomi wilayah perbatasan.
Ya, Pak Sani sesungguhnya bukan hanya sekadar seorang gubernur. Tapi juga sedang memainkan peran penting sebagai “penjaga beranda terdepan” Republik Indonesia. Provinsi Kepri adalah salah satu provinsi kepulauan di wilayah perbatasan strategis di Indonesia.
Maka, memimpin wilayah dengan 19 pulau yang berbatasan langsung dengan tiga negara, Malaysia, Singapura dan Vietnam, harus memiliki prioritas. Dan saya melihat, salah satu prioritas Pak Sani adalah membangun ekonomi wilayah perbatasan. Untuk membuktikan kebenaran pengamatan saya itu, mari kita simak sejumlah langkah Pak Sani yang akan menjelaskan betapa dia concern.
Pak Sani rupanya galau juga melihat sejumlah pulau terluar yang sudah berpenduduk di Provinsi Kepri, tapi masih miskin sarana dan infrastruktur. Karena itulah, maka dalam rapat pleno BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) yang dipimpin Kepala BNPP yang juga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dengan 12 gubernur yang wilayahnya berperbatasan dengan negara tetangga serta menteri terkait, di Jakarta, Senin 13 Desember 2012 lalu, Pak Sani mendesak pemerintah pusat segera membangun sarana dan prasana di pulau-pulau terluar yang berpenduduk di Provinsi Kepri. Sumber anggarannya diambilkan dari APBN.
Dalam rapat itu, Pak Sani menyampaikan, ada alasan strategis mengapa dirinya sebagai “penjaga beranda terdepan’ mendesak agar 4 pulau terluar di Provinsi Kepri segera dibangun sarana dan infrastruktur. Yaitu, karena keempat pulau itu secara geografis lebih dekat dengan negara tetangga. Secara kultur dan budaya, penduduknya juga sudah akrab dengan budaya maupun kultur negara tetangga. Bahkan, mereka pun sudah terbiasa mengkonsumsi produk-produk makanan atau pun minuman dari negara tetangga itu.
Contohnya, Pulau Sekatung atau Pulau Laut. Jarak Pulau Sekatung dengan Vietnam hanya dipisah laut sejauh 40 mil. Sementara jarak laut dengan Natuna jauhnya 60 mil. Padahal, Pulau Sekatung mengandung cadangan sumber gas alam yang sangat melimpah. Bayangkan, apakah dua fakta itu, pada satu waktu tidak mengundang “air liur” negara tetangga. Apalagi, jika fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa penduduk Pulau Sekatung itu lebih “happy” dengan pemerintah Vietnam daripada pemerintah Indonesia? Apakah tidak mungkin pada satu waktu kelak, penduduk Pulau Sekatung ingin memutuskan dan menentukan nasibnya sendiri?
Saya melihat, desakan Pak Sani kepada Jakarta itu memiliki dua poin penting. Pertama, membangun sarana dan infrastruktur di pulau terluar adalah strategi pengamanan paling efektif dan taktis. Sebab, dengan begitu, penduduk di pulau tersebut akan dengan sendirinya menjadi garda terdepan dalam menghadapi setiap ancaman dari luar.
Meskipun penempatan personil dan peralatan militer di pulau-pulau tersebut mutlak diperlukan. Terutama, penempatan kapal-kapal patroli cepat bahkan KRI (Kapal Republik Indonesia) yang dilengkapi dengan rudal. Syukur-syukur jika Provinsi Kepri sendiri yang mengusahakan kapal tersebut lalu pengoperasioannya diserahkan kepada TNI AL. Karena merebut hati masyarakat pulau terdepan tak dapat dipandang sebelah mata lagi. Jangan sampai networking dari negara tetangga yang ”menggarap” mereka. Sementara kita baru tersadar ketika semuanya sudah kasip.
Kedua, pembangunan sarana dan infrastruktur di pulau terdepan itu akan berdampak langsung pada pembangunan ekonomi. Secara otomatis, nilai tanah masyarakat di pulau tersebut akan naik. Kemudian, akan menambah poin positif bagi investor untuk menanamkan modalnya di sana. Dengan begitu, Pak Sani dapat melakukan penggalian potensi-potensi ekonomi lainnya untuk dikembangkan. Soal potensi ekonomi, tak usah dibahas lagi, perut bumi dan laut Provinsi Kepri sangat kaya dengan potensi sumber daya alam. Tinggal mengolahnya saja, semuanya akan menjadi berkah yang – mudah-mudahan – menyejahterakan masyarakat sekitarnya.
Itu baru satu bukti Pak Sani memang concern pada pembangunan ekonomi wilayah perbatasan. Masih mau bukti lain? Berikut bukti lainnya.
Pak Sani juga kerap kali meminta kepada pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan batas wilayah dengan negara tetangga. Bahkan, Pak Sani sampai mendesak agar masalah batas wilayah ini menjadi prioritas pemerintah pusat. Dan dalam setiap pembahasan G to G (Government to Government) dengan Malaysia, Vietnam dan Cina agar segera diselesaikan. Mengapa masalah ini merisaukan Pak Sani? Sebab, di mata Pak Sani, persoalan batas wilayah adalah masalah sensitif dan berdampak langsung pada ekonomi maritim kita.
Dampak lainnya adalah kerap kali nelayan asal Kepri yang ditangkap oleh polisi negara tetangga. Padahal, sesungguhnya mereka masih berada di wilayah perairan Republik Indonesia. Tapi karen tidak jelas batas wilayahnya, jusrtu nelayan yang jadi korban. Ditambah lagi, ketika itu, tidak ada kapal patroli milik TNI Angkatan Laut atau Polisi Air (Polair) Indonesia. Sebab, jika ada aparat kita di laut, polisi negara tetangga akan segan menangkap nelayan kita di perairan yang masih diperdebatkan batasnya itu.
Penangkapan nelayan Kepri oleh polisi negara tetangga adalah pukulan. Bukan hanya pukulan bagi nelayan, tapi juga pukulan bagi harga diri bangsa, kedaulatan dan martabat pemerintah. Termasuk, pemerintah Provinsi Kepri. Dan persoalan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus berlalut-larut.
Sebab, secara teroritis, jika kekuatan militer dan ekonomi negara tetangga semakin kuat, jauh meninggalkan kekuatan militer dan ekonomi kita, bukan tidak mungkin, akan lebih banyak daerah-daerah yang batas wilayanya tidak jelas, akan mereka caplok. Apalagi, daerah yang memiliki kandungan sumber daya alam melimpah. Inilah yang merisaukan Pak Sani. Visinya melesat jauh ke depan melampaui kegalauan pemerintah pusat yang terkesan adem ayem saja soal batas wilayah itu. Sebab, Pak Sani lah yang sehari-hari menjaga ”berada terdepan” republik ini.
Bukti lain sikap Pak Sani yang concern dengan pembangunan ekonomi perbatasan adalah desakannya pada Jakarta agar segera membangun instrastruktur kelautan. Kongkritnya, menambah jumlah kapal-kapal besar antar pulau. Permintaan Pak Sani itu sangatlah wajar. Sebab, 96% wilayah Provinsi Kepri adalah laut. Bahkan, sebagian wilayah lautnya berhadapan langsung dengan laut Cina Selatan yang ombak dan gelombangnya, pada bulan-bulan tertentu, bagai monster bagi para nelayan.
Saat ini, kapal yang melayani masyarakat ke Natuna cuma 2 kapal perintis. Itu pun campur, manusia satu kapal dengan kambing, kerbau, sapi dan kebutuhan bahan pokok lainnya. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Kondisi ini tidak boleh dipandang sebagai keadaan normal. Jakarta harus melihat ini sebagai kondisi darurat. Karena itul, janganlah darurat ini menjadi darurat menahun. Tak selesai selesai! Makanya, Pak Sani terus mendesak Jakarta agar memikirkan hal ini. Bukalah infrastruktur jalur laut Provinsi Kepri.
Selain itu. Pak Sani juga mengusulkan kepada pemerintah pusat agar mengalokasikan dana lebih besar lagi untuk membangun 4 bandara baru di Provinsi Kepri. Yaitu di Ranai, Palmatak, Tambelan dan Jemaja. Semuanya berada di wilayah Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas Provinsi Kepri. Sebab, medan laut dan pulau yang tersebar berjauhan di Kabupaten Natuna itu, tak bisa diatasi kecuali dengan membangun bandara baru. Jika tidak, pembangunan infrastruktur di pulau-pulau di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas akan berjalan lamban.
Target lain dari pembangunan 4 bandara itu adalah merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat di perbatasan. Juga, untuk menarik minat investor untuk mengembangkan peluang-peluang bisnis yang belum tergarap di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas. Padahal, di dalam perut bumi dan lautnya mengandung sumber daya alam yang sangat sangat melimpah.
Itulah sedikit catatan saya yang menegaskan Pak Sani memang concern pada pembangunan ekonomi perbatasan di Provinsi Kepri. Bukan hanya itu, Pak Sani juga masih kuat menembus ombak dan melawan gelombang, untuk melihat langsung kehidupan masyarakat di pulau-pulau.
Sedadar sedikit bernostalgia, saya pernah masuk dalam satu rombongan Pak Sani ke Pulau Berhala. Ketika itu, Pulau Berhala masih belum secara sah menjadi milik Provinsi Kepri. Sebab, Provinsi Jambi masih mengklaim Pulau Berhala adalah miliknya. Kami berangkat dari Tanjungpinang terus memecah ombak sampai di pelantar Pulau Dabo Singkep, berhenti sebentar.
Sebelum akhirnya, kapal speed boat kami meneruskan perjalanan menuju Pulau Berhala. Begitu tambat di Pulau Berhala, Pak Sani turun dan melihat langsung kehidupan masyarakat di sana. Berbicara, menyerap aspirasi mereka, menyelami harapan dan impian mereka....
Itulah Pak Sani, Gubernur Provinsi Kepri, sang penjaga beranda terdepan republik!
(Terbit dalam buku : "Membaca Sani" diterbitkan oleh PWI Kepri-Akar Indonesia, Yogyakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H