***
Tak seperti pagi pagi biasanya, hari ini Hari begitu tegang. Wajahnya sangat jauh dari tarikan urat di bibir. Ia seperti menahan beban hidup yang berat. Entah apa beban itu. Hari tak mau membuka tabir rahasianya kepada Maman. Maka lelaki tua ini pun hanya bisa memandangi saja dari samping mobil Kijang Unser milik keluarga Hari itu.
Maman sudah siap mengantarkan ke mana Hari pergi. Begitu hari-hari yang dijalani Maman sejak Hari baru saja meminang Rina, anak seorang pegawai negeri sipil di kantor kecamatan Batu Ampar Batam. Dan sejak itu, Maman menjadi diary hidup yang merekam perjalanan kehidupan rumah tangga Hari dengan Rina di benaknya. Sampai lahirlah Dodi melalui operasi bedah caecar di rumah sakit Elisabeth Singapura.
“Hari ini kita ke Jembatan Barelang saja Pak Man.”
Karuan saja, ajakan Hari ini mengagetkan Maman. Sebab titik pertama yang selalu dituju Maman setelah meninggalkan rumah Hari adalah Nagoya, kantor Hari. Tapi kali ini mengapa Hari mengajaknya ke Jembatan Barelang.
“Ke jembatan Barelang Pak ?” Maman mengulang ajakan Hari.
“Iya Pak Man.”
Maman tak mau memuaskan hasrat ingin tahunya dengan bertanya lagi. Ia sudah terbiasa membunuh hasrat yang menggedor dari dalam dirinya sendiri. Lelaki tua ini sudah terbiasa hidup dengan menekan dirinya sendiri. Ya menekan hasrat dan keinginan apa saja yang tak sesuai dengan jalan hidup yang harus dilaluinya. Termasuk, keinginan bertanya untuk apa Hari mengajaknya ke jembatan yang kerap jadi tempat manusia sampah mencabut nyawanya sendiri itu.
Mobil Kijang Unser plat nomor seri X buangan orang kaya Singapura itu dipacunya dengan kecepatan sedang. Maman sengaja ingin menciptakan suasana enak bagi Hari untuk berpikir. Sebab sejak meninggalkan rumah tadi, wajahnya terus ditekuk kaku.
“Pasti ada masalah besar yang dihadapi Hari.” Maman hanya membatin saja.
Belum sampai satu jam, Maman sudah berhasil membawa Hari ke tengah jembatan karya BJ. Habibie itu. Ia tak menghentikan laju mobilnya, hanya mengurangi lajunya saja.
“Jangan berhenti Pak Man, jalan saja pelan-pelan.”
“Baik Pak.” Sikap santun yang tak pernah tanggal dari seorang Maman itulah yang membuat Hari dan istrinya seperti menemukan keagungan bumi. Sedangkan ia sendiri baru bisa melihat seperti langit. Ia juga ingin bersetubuh dengan lelaki pilihan, seperti bumi.
Jembatan dua telah dilewati, kini Kijang Unser yang disopiri Maman sudah masuk Pulau Setokok.
“Kita belok kanan Pak Man ya.”