Dulu, untuk mem-profiling seseorang calon keluarga besar tidak punya cukup informasi layaknya seperti zaman sekarang yang bisa dilakukan melalui tracing melalui google, memantau sosial media seperti Instagram, facebook, thread. Walaupun tidak pernah ketemu dengan calon menantu sebelumnya, pihak calon istri bisa memantau dari rumah "reputasi" dan latar belakang seseorang. Karena keterbatasan sumber informasi, maka untuk melihat kepribadian, sopan santun, keroyalan, gaya bicara dan kegigihan seseorang adalah melalui kegiatan malandu. Apakah calon mertua mempunyai parameter yang baku dan sahih? Jawabanya ada. Walaupun tidak bisa disamakan antara calon mertua satu dengan yang lainnya, tetapi secara kaidah umum form penilaian sama. Untuk mengukur tingkat kemapanan dan keroyalan dilihat dari apa yang dibawa ketika datang, berapa porsinya dan seberapa sering (disclaimer: ini tidak berlaku 100 persen).
Walaupun tidak ada satupun regulasi khusus yang mengharuskan untuk membawa sesuatu tetapi sekali lagi itu peraturan yang tidak tertulis. Mereka yang pandai "mengambil hati" calon mertua akan melakukan survey makanan kesukaan dari para tetangga atau tanya-tanya sama pihak keluarga jauh untuk mendapatkan info yang valid. Pertama, kalau yang dibawa yang "itu-itu saja" secara tidak langsung menunjukan kurang "effort" dari sang lelaki, misal  tiap kali datang hanya membawa pisang goreng saja. Selain itu, ini juga mengindikasikan tidak adanya inovasi yang ditawarkan oleh calon menantu yang tentunya berimplikasi pada penerawangan jauh kedepan dalam pikiran pihak perempuan. Kedua, bervariasi saja tidak cukup tanpa melihat porsi. Percuma saja membawa makanan yang variatif setiap kali datang tetapi porsinya hanya bisa untuk 2 orang saja. Anda akan "dilabeli" pelit atau perhitungan (dalam hati calon mertua). Karena dulu dalam satu rumah ada keluarga besar, paling tidak ada dua kepala keluarga yang rerata terdiri dari 4 orang dalam satu keluarga. Sudah pastinya kita sudah bisa melakukan kalkulasi berapa jumlah porsi yang akan dibawa untuk disantap bersama. Paling tidak sekali dalam kurun waktu tertentu.  Â
Pada saat itu ada istilah "basita" makan bersama dengan pihak keluarga, kawan-kawan, dan tentunya sang pujaan hati. Makan bersama dalam konteks ini tidak melulu makan berat, tetapi lebih kepada yang simpel saja misal masak mie bersama, makan durian bersama, atau juga makan kue bersama. Biasanya bahan mentah dibawa dari sang cowok yang kemudian diserahkan kepada pihak perempuan untuk dimasak. Kalaupun tidak dibawa secara langsung oleh pihak yang datang, pihak laki-laki bisa menyuruh seseorang untuk membelikan. Intinya yang mengeluarkan uang sang cowok. Â Mungkin terkesan remeh, tapi hal sederhana ini memberikan nilai tersendiri bagi pihak perempuan untuk melakukan eliminasi. Entah belajar psikologi darimana, emak-emak pada saat itu bisa memberikan evaluasi walaupun tidak semuanya akurat, ini pelit nanti susah hidup mu, yang ini agak royal, dan yang satu ini tidak pelit dan sayang keluarga. Â
Kini, malandu hanya tinggal cerita. Kawula muda lebih memilih bertemu dengan pujaan hati di kafe atau tempat nongkrong daripada datang ke rumah calon mertua. Pola komunikasi juga telah berubah. Jika dulu setiap tuturan disaring dan dijaga agar tidak menyinggung perasaan, sekarang digantikan oleh gelak tawa yang lebih bebas dan santai. Peran orang tua, khususnya ayah, yang dulu menjadi garda depan dalam berbincang dengan sang cowok, kini semakin pudar. Penjagaan dan pengawasan terhadap hubungan anak-anak mereka kian memudar, seiring dengan perubahan zaman. Sepengamatan penulis, hanya segelintir keluarga yang masih mempertahankan cara tradisional ini itupun sudah hybrid. Sebagian besar lainnya memilih mengikuti gaya hidup modern yang lebih terbuka, mirip dengan kehidupan di kota metropolitan. Menganggap tradisi malandu ketinggalan zaman. Momen-momen istimewa seperti mengobrol berdua di bawah cahaya lampu strongkeng atau teplok kini telah tergantikan oleh panggilan video setiap malam atau suasana berkerlip lampu di kafe. Kegiatan belajar "sarambak" untuk melatih tutur kata dan menyampaikan maksud dengan halus pun perlahan punah. Sebagai gantinya, gaya bicara zaman sekarang cenderung langsung ke inti pembicaraan (straight to the point), yang kadang sering nir-etika dan kurang memperhatikan pilihan kata. Beberapa tahun akan datang kosa kata malandu "dimuseumkan" oleh masyarakat Pekal berganti dengan istilah yang kekinian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H