Mohon tunggu...
sahrum
sahrum Mohon Tunggu... Guru - Pengajar SMPN 1 Kauman

Saya suka membaca fiksi, esai, artikel, dan berita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anjing Penyerbu Darah

14 Februari 2019   09:03 Diperbarui: 14 Februari 2019   09:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nafasku naik turun seperti akan lepas dari dada. Tercium aroma anyir darah yang langsung menusuk hidungku. Di jalan berlumpur ini, aku merasakan badangku bergetar dahsyat. Ku rasakan darah mulai menetes, pikiranku buyar. Panik. Apakah ini tanda bahwa aku akan melahirkan anak pertama? Batinku gelisah.

Belum pernah aku mengalami hal semacam ini. Soal kelahiran aku hanya mendengar dari ibu waktu aku belum menikah. "Saat nanti hamil pertama, jika sudah akan melahirkan tubuh terasa lemas. Seakan nyawa kita ikut terperas bersama keluarnya anak kamu. Jadi wanita harus kuat." Pesan ibu masih aku ingat jelas.

Andaikan suamiku berada di samping aku sekarang. Mungkin aku tak mengalami kekhawatiran semacam ini. Dulu, setiap ada keperluan suamiku selalu membantu dan berupaya melindungi. Tapi setelah menikah, kepribadannya perlahan berubah. Dia sering pergi keluar malam dan pulang pagi.

"Kenapa mas tidak merasa nyaman di rumah ini?" Aku menanyakan dan ingin mengetahui perubahannya selama ini.

"Ada suatu hal yang harus aku selesaikan." Katanya ketus, sambil menghabiskan sisa kopi.

Aku tidak berani menanyakan lagi, wanita seperti aku akan dianggap lancang bila menyangkal perkataan suami. Sehingga aku hanya bisa merasakan ucapan pahit sisa kopinya. Apakah nasehatku demi keharmonisan keluarga kami masih dianggap sebelah mata selama ini? Entahlah.

Awalnya, bayanganku pernikahan itu begitu indah. Setiap melihat pasangan suami istri keluar rumah yang bersama. Suami selalu memperhatikan keselamatan dan memberikan kasih sayang lebih.

Dulu saya masih ingat suara tetanggaku, dan entah kenapa saya mempercayainya. "Kalau sudah menikah rezeki pasti akan datang sendiri, apalagi ketika sudah mempunyai anak suami pasti akan tambah menyayangi kamu, Sur."

Ketika saya lulus SMA, bapak membujukku untuk segera menikah, karena apabila tidak cepat menikah diusiaku yang hampir dua puluh tahun, bapak merasa aku tidak mendengarkan nasehatnya.

Saat itu aku bimbang untuk memilih melanjutkan sekolah atau memilih menikah. Setiap malam aku berpikir bagaimana cara melanjutkan sekolah lagi. Sedangkan keluarga kami adalah keluarga sederhana. Terletak di pinggiran desa. Guruku, Ibu Lasmi, memberikan motivasi supaya aku tetap melanjutkan. Karena menurutnya aku adalah wanita yang dibilang berbakat dan cerdas.

"Suatu saat nanti kamu pasti menjadi wanita  hebat Surti, kamu yang akan merubah masa depan desa kamu. Karena selama ini, aku melihat pendidikan wanita di desa ini masih tergolong rendah." Jelas Ibu Lasmi, ketika saya memenangkan lomba cerdas cermat di Kecamatan.

"Bagaimana aku akan melanjutkan sekolah lagi Ibu, bapak bilang hanya mampu menyekolahkan saya sampai lulus SMA. Keluarga saya hanyalah keluarga sederhana. Tidak mempunyai apa-apa. Sedangkan adik saya masih dua, mereka juga sekolah di SD dan SMP." Aku berusaha menjelaskan keadaan kehidupan keluarga kami. Ibu Lasmi tersenyum. Kulihat matanya yang teduh menandakan bahwa beliau adalah Ibu Guru yang tangguh dan tidak pernah menyerah dengan keadaan pahit atau getir.

"Suatu masalah itu pasti akan ada jalan keluarnya, Sur. Asalkan kamu punya keyakinan kuat. Tuhan akan merubah nasib seseorang, tapi kitalah yang harus bekerja dan berusaha secara sungguh-sungguh. Aku akan membantu mengusulkan kamu. Supaya mendapatkan beasiswa yang pantas. Sebelum itu kamu harus minta restu kepada kedua orangtua."

"Saya akan meminta ijin kepada kedua orangtua saya, ibu." Aku mengucapkan terimakasih, kurasakan guratan tangannya yang keras. Bagiku beliaulah yang menguatkan aku ketika menerima cobaan hidup. Beliau serupa akar, selalu mengokohkan.

Namun, Bapak memarahiku, ketika aku memohon restu ingin melanjutkan kuliah. Beliau menganggap sekolah tinggi tidak ada gunannya "Wanita pekerjaannya mengurus dapur, aku tidak mengizinkan kamu sekolah lagi. Kalau kamu tidak mendengarkanku kau boleh pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi."

Saat itulah aku tidak berani mengatakan ingin melanjutkan sekolah lagi, semua impian yang pernah aku bayangkan terpendam bagai air mendidih menguap begitu saja.

Suatu malam, ibu membisikkan di dekat telingaku.

"Kemarin sore ada orang melamarmu, Sur. Dia bernama Arpan, bapak kamu sudah mengenalnya lama. Dia merupakan anak dari sahabat bapak kamu ketika bekerja di Sumatra dulu. Dia termasuk orang terhormat di desannya, selain mempunyai kebun sawit, bapaknya juga mempunyai kebun karet luas di Sumatra. Jangan sampai kamu membuat bapak kamu malu, dan marah." Ibu berusaha membujukku agar aku menerima lamarannya.

Setiap malam sebelum mataku terpejam aku membayangkan kehidupan menikah, pikiranku masih bimbang antara menerima dan tidak. Bagimana nanti kalau aku menolah pasti bapak akan memarahiku dan tidak ada kata ampun.

Meskipun bapak sudah mengenal keluarga Arpan tapi aku masih perlu mengenalnya jauh. Bukankah rasa suka itu tumbuh karena saling mengenal? Bagaimana aku harus menerimannya padahal kami belum pernah saling mengetahuinya. Apakah setiap wanita itu harus menerima nasib seperti ini?

***

Hatiku perih serupa akar yang di gerogoti organisme. Lidahku terasa kelu. Senyap.

Suatu pagi, ketika aku masak di dapur terdengar seorang perempuan mengetuk pintu. Aku segera membuka pintu. Aku belum pernah mengenalnya sama sekali. Dan dia juga baru pertama datang kerumah kami.

Dari raut wajahnya, aku dapat mengerti. Dia bukanlah wanita yang berkerja sebagai ibu rumah tangga seperti aku. Tangannya terawat. Putih. Tidak ada benjolan kapalan seperti aku. Kulihat matanya masuk mencari suamiku. Tiba-tiba aku merasa mencurigainya.

"Mas Rohman ada?" Tanyanya dengan wajah datar.

"Tidak ada, Anda siapa? Ada keperluan apa dengan Suamiku?" Terbersit rasa penasaran ingin mengetahui perihal kedatangannya yang tiba-tiba itu.

"Kau istrinya, laki-laki bangsat. Katanya tidak punya istri, dia harus bertanggung jawab karena aku tengah mengandung anaknya." Jelasnya dengan nada kasar, mendengar penjelasannya itu seakan rumahku ini mau roboh. Angin yang membelai lembut berubah menjadi pengap. Air mataku mengambang.

Saat kedatangan wanita itu aku mencari tahu keberadaan suamiku, tapi semua kerabat dan teman kerjanya tidak ada yang mengetahuinya. Suamiku seperti di telan bumi.

Aku mendengar suamiku sering bermain judi di warung pojok di pinggir hutan itu, setelah aku sampai di tempat itu ternyata tidak ada. "Kau mencari Rohman, dia sudah lama tidak kesini lagi. Di warung ini, dia meninggalkan hutang. Belum dibayar. Kemarin juga ada wanita mencari Rohman kesini." Ungkapan pemilik warung itu menambah sayatan di jiwaku.

Aku diam dan segera pergi pulang.

Senja sudah mulai meloros, menyisakan kilauan keemasan.

***

Aku hanya mampu tersimpuh di bawah pohon mahoni, di pinggir belantara hutan seperti ini, sementara itu, perjalanan pulang masih jauh. Kudengar suara geretak daun kering terinjak di belakangku, hatiku was-was, karena senja semakin merangkah, meninggalkan kegelapan. Ternyata suara dibelakangku itu adalah anjing yang menyorotkan mata tajam, sambil menjulurkan lidahnya ke arahku. Sorot matanya seperti ingin melukaiku.

Suaraku tidak bisa lantang lagi, aku masih ingat bahwa usia kandunganku selama ini sudah mencapai umur sembilan bulan. Seharusnya aku tetap di rumah tidak mencari suamiku sampai sejauh ini. Seharusnya aku lebih memperhitungkan keselamatan anankku ini, tapi wanita mana yang kuat ditinggal suaminya? Wanita mana yang hidup nyaman dan mengurus dapur dengan sabar di rumah sedangkan suaminya tidak pernah memberikan kabar sedikitpun?

"Aku pergi tidak lama, sebelum kau melahirkan aku akan kembali. Bilang kepada orang yang mencariku aku pergi." Mas Rohman meninggalkan pesan itu sebelum dia pergi. Dia tidak mendengarkan aku yang bertannya membuntutinya di belakangnya. Aku berhenti menatapnya hingga hilang di tikungan jalan.

"Katanya kamu akan datang setelah aku akan melahirkan, aku sudah tidak kuat lagi mas." Kataku dalam hati. Merasakan getaran hebat seluruh tubuhku. Dan keringat dingin tiba-tiba keluar dari pori-pori.

Aku menarik nafas sekuat tenaga yang masih bisa aku lakukan. Tiba-tiba terdengar tangisan bayi yang panjang membelah kesunyian di pinggir hutan ini. Aku sudah melahirkan anak pertamaku, tapi aku tidak bisa mendekapnya. Tubuhku lemah.

Suara anjing menggonggong sayup-sayup masuk ke dalam telingaku. Mataku sudah tidak bisa lagi untuk aku buka. Terasa lengket.

Suara tangis anakku semakin pecah, ketika terdengar anjing yang menggonggong tadi mendekat. Tiba-tiba kepalaku pening, aku buka mata sekuat tenaga pandanganku hanya semburat kuning, lalu memburam, dan kulihat hanya ada taburan kunang-kunang yang berjumlah jutaan mengitari kepalaku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun